[nasional_list] [ppiindia] Menggugat Hukuman Mati

  • From: "Ambon" <sea@xxxxxxxxxx>
  • To: <"Undisclosed-Recipient:;"@freelists.org>
  • Date: Wed, 6 Sep 2006 12:03:26 +0200

** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com 
**http://batampos.co.id/index.php?option=com_content&task=view&id=3746&Itemid=75


      Sabtu, 02 September 2006  


      Menggugat Hukuman Mati 

      Oleh: Robert Bala*

      Topik hukuman mati kembali dibicarakan. Hal itu bukan saja terkait 
'nasib' yang dialami Fabianus Tibo, Dominggus da Silva dan Marinus Riwu yang 
didakwa dengan hukuman eksekusi mati karena disinyalir sebagai 'dalang' dari 
Tragedi Poso. Lebih lagi, terkait argumen klasik yang selama ini digunakan 
sebagai justifikasi serta kesediaan untuk mengkajinya secara cermat. Hanya 
dengan demikian, dapat dibangun kesadaran yang lebih paripurna, tanpa perlu 
membiarkan eksekusi memperpanjang aksi kriminalitas. 


      Hukum Talion 
      Hukuman mati merupakan sebuah aplikasi konsep keadilan warisan hukum 
Talion Yahudi. Dalam hukum itu keadilan diartikan sebagai usaha membebankan 
kepada pelaku sepadang dengan apa yang dilakukannya. Kejahatan  menghabiskan 
nyawa orang perlu dibayar dengan nyawanya sendiri, atau sejalan dengan prinsip: 
mata ganti mata, gigi ganti gigi. 


      Sepintas, aplikasi konsep seperti ini kelihatan sah-sah saja. Keluarga 
korban sebagai pihak yang paling merasakan kehilangan, meminta sebuah balasan 
dendam yang sepadan. Dalam konteks ini, sebuah hukuman mati ternyata tidak 
dilaksanakan sebagai proses penyadaran terhadap pelaku, melainkan sebuah 
legalisasi terhadap balas dendam. Pelaku sendiri, sebagaimana ditulis Beccaria 
Cesare dalam "De la Pena de la Muerte", Revista Mexicana de Justicia: 1993, 
merupakan orang yang paling sedikit merasakan penderitaan itu. 


      Memang ada konflik dialami pelaku menjelang eksekusi. Tetapi setelah 
dentuman meriam yang mengakhiri hidupnya, proses penderitaan itu pun berakhir. 
Pada sisi lain, keluarganya yang ditinggalkanlah yang mengalami penderitaan 
itu. Jelas, hukuman mati, sebuah konsep kedilan yang salah sasaran. Ia 
menghukum orang tak bersalah, sambil tidak memberi kesempatan kepada terdakwa 
untuk mengalami penderitaan itu dalam proses yang lama. Inilah kontradiksi. 
Hukuman mati dinilai absurd karena merupakan ekspresi kehendak publik untuk 
menghukum pelaku kejahatan, tetapi pada saat yang bersamaan menjadiakan mereka 
sebagai pelaku kejahatan itu sendiri. 


      Kekeliruan Yudisial 
      Salah satu alasan penolakan terhadap hukuman mati, demikian informasi 
yang disajikan oleh Amnesti Internasional adalah fakta tentang terbuktinya 
tidak sedikit kasus yang setelah melewati proses waktu ternyata tidak sedikinya 
mendapatkan informasi yang meringankan, bahkan membebaskan. 
      Menurut data yang dipublikasikan oleh Inspite of Innocence yang 
diterbitkan oleh Northeastern University Press, Boston: 1992, semenjak tahun 
1900, terdapat sekitar 350 kasus yang setelah proses waktu, jeratan kepada 
terdakwa berhasil dilepaskan oleh penemuan novum yang meringankan, malah 
membebaskan mereka sama sekali. Sayangnya, dua puluhan orang tidak bisa 
mengalami iklim kebebasan karena sudah terlanjut dieksekusi. 


      Deretan kekeliruan ternyata masih bisa diperpanjang, ketika diperoleh 
indikasi aplikasi diskriminatif d dalam penerapan hukuman mati. Di AS, ternyata 
warga kulit hitam lebih banyak menderita. Dengan esensi kejahatan yang hampir 
sama bila dilakukan oleh warga kulit putih, tetapi bagi mereka tidak ada ampun. 
Apalagi kenyataan lain mengaitkan mereka dengan minimnya dana untuk dapat 
membayar advokat yang bisa memperjuangkan status ketidakbersalahan. 
      Memang ada kasus seperti yang dialami O.J. Simpson. Ia merupakan seorang 
pemain sepak bola (footbal dan bukan soccer). Meskipun dari ras negro tetapi 
karena memiliki latar belakang ekonomi yang cukup, dia dapat membayar 
pembela-pembela kawakan yang akhirnya melepaskan dirinya dari jeratan hukum. 


      Dalam kasus seperti ini, menurut Amnesti Internasional, latar belakang 
ras, asal etnis dan terutama alasan ekonomis merupakan faktor yang dengan mudah 
menjebloskan seseorang ke panjara, dan terutama menghantarnya ke kursi listrik 
yang mematikan. 


      Fakta seperti ini sudah disadari. Karena itu, saat Brian Baldwin digiring 
ke kursi listrik pada tahun 1999, tidak kurang dari 26 anggota dari Komisi 
Negro di Kongres Washington menyerukan agar dibatalkan hukuman itu. Namun, hal 
itu tidak digubris sama sekali oleh negara Paman Sam yang katanya sangat 
'concern' terhadap persoalan HAM internasional. Bahkan seruan Mahkama 
Internasional dari Belanda pun tidak pernah  didengarnya. Apa yang telah 
diputuskan oleh 'Bapa Maha Kuasa' dari Washington, tidak bisa ditawar-tawar. 


      Pelajaran? 
      Di tengah protes tanpa lelah dari Amnesti Internasional oleh semakin 
banyaknya tragedi hukuman mati, karena semenjak tahun 1976 hingga tahun 2000 
saja terdapat 683 terdakwa (85 kasus terdapat pada tahun 2000), namun China, 
AS, dan Kongo yang memiliki 85 persen dari total hukuman mati tidak pernah 
menggubrisnya. Bagi mereka, hukuman mati harus tetap dilaksanakan karena hal 
itu dapat membuat jerah para penjahat. Dengan itu pula, masyarakat luas dapat 
'disadarkan' untuk tidak melakukan kisah serupa. 


      Masalahnya, kejahatan yang dilakukan dalam masyarakat, tidak tumbuh 
secara terancana. Dengan demikian akar-akarnya dapat dicabut, saat sebuah kasus 
serupa terjadi. Kejahatan dalam bentuk apapun, terutama berkaitan dengan upaya 
menghabiskan nyawa orang lain merupakan produk momental, saat akal sehat tidak 
lagi mengendalikan emosi. Lebih lagi ketika sirkumstansi mendukung. Untuk itu, 
hukuman mati tidak akan mengurangi apalagi menghapus sama sekali kejahatan 
seperti itu. 


      Di New York, sebagaimana ditulis Jager Christian dalam La Pena de Muerte 
en el Sistem de los Fines de la Pena: Problemas Fundamentalis de la Politica 
Criminal y Derecho Penal: 2002, antara tahun 1903 sampai 1963 justru terjadi 
dua kasus kriminal serupa dalam sebulan, setelah sebuah eksekusi mati 
dilaksanakan. Sementara itu, menurut Barreda Solorsano. Dalam bukunya Sin Razon 
de la Pena de Muerte: 1992, semenjak Belanda menghapus hukuman mati pada tahun 
1879, tingkat kejahatan tidak mengalami grafik naik.  Yang pasti, pelaksanaan 
eksekusi mati, tanpa disadari telah menambah daftar panjang orang yang hidupnya 
diakhiri secara sangat sadis. 


      Beri Waktu 
      Mencermati refleksi ini, tidak ada kesimpulan yang lebih tepat selain 
memberi waktu. Hal itu dimaksud agar tindak kriminal itu dapat disadari oleh 
pelaku sebagai sebuah kejahatan. Sebaliknya mempercepat eksekusi, apalagi di 
tengah pengakuan terdakwa tentang ketidakterlibatannya, hanya akan menanamkan 
benih dendam dalam diri keluarga yang ditinggalkan. Dalam benak mereka selalu 
terngiang kekesalan tentang kerabat mereka yang hingga Guillotine mendekati 
lehernya, mereka secara sadar tidak mengakui keterlibatannya. 


      Pada sisi lain, apabila sebuah kejahatan yang secara kasat mata dilakukan 
(tetapi tidak diakui secara jujur) maka dengan memberi waktu, diharapkan dapat 
menumbuhkan kesadaran bersalah. Dan yang terpenting, kesadaran itu perlu 
diikuti oleh proses pembinaan untuk kembali memeluk nilai-nilai kemanusiaan 
yang nota bene sudah dilukainya. Tujuan penyadaran seperti inilah yang telah 
menjadi salah satu alasan mengapa 'penjara atau bui' telah diganti namanya 
menjadi "Lembaga Pemasyarakatan". Maksudnya, agar pribadi yang dulunya sangat 
antisosietas, dihantar untuk kembali menjadi warga masyarakat yang 
bertanggungjawab. 


      Untuk masyarakat, bahkan negara, ia pun diuntungkan oleh pemberian 
kesempatan dan waktu kepada terdakwa. Ia dapat memperoleh informasi sebanyak 
mungkin dan menggali sedalam mungkin akar penyebabnya. Kehadiran novum yang 
meringankan (apabila ada), dan terutama meneliti sambil merefleksi akar-akar 
kejahatan, merupakan hal yang paling mendasar bagi sebuah masyarakat. Di sana 
negara pun dapat mengambil langkah-langkah bijak untuk dapat mengurangi 
kejahatan lewat usaha menyempitkan peluang kejahatan. Sebaliknya, mempercepat 
hukuman mati, maka tanpa disadari, kita seakan hanya menggali dan menutup 
lubang kriminalitas, tanpa usaha mencari solusi yang lebih tepat.*** 


      *)Robert Bala, Pemerhati masalah sosial.
     


[Non-text portions of this message have been removed]



***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com **

Other related posts:

  • » [nasional_list] [ppiindia] Menggugat Hukuman Mati