** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List ** ** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: ** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ ** ** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral scholarship, kunjungi http://informasi-beasiswa.blogspot.com **SUARA KARYA Kebijakan Politik Tanpa Etika Oleh Yulianti Muthmainnah Senin, 9 Januari 2006 Dalam buku bertajuk Pyramids of Sacrifice, Peter L Berger ' sosiolog asal Universitas Boston ' mengungkapkan fakta yang benar-benar menyakitkan, betapa mayoritas negara-negara dunia ketiga tidak pernah mendasarkan kebijakan-kebijakan politik dan pembangunan berdasarkan etika. Di sini, rumusan etika yang dimaksudkan adalah pembelaan, pengarus-utamaan terhadap kepentingan serta hak-hak sosial, politik, dan ekonomi warganya. Sebaliknya, yang menempati prioritas utama dasar pengambilan kebijakannya adalah mitos-mitos pembangunanisme. Politik dan pembangunan berjalan tanpa pernah memerhitungkan "biaya-biaya manusiawi". Oleh karena itu, tak mengherankan bila semua kebijakan politik dan pembangunan di dunia ketiga senantiasa meminta 'tumbal'. Dan, manusia senantiasa dijadikan korban demi pembangunan. Maksudnya, pembangunan tersebut harus dibayar mahal, yaitu dengan kelaparan, kemiskinan, dan sejumlah problem sosial lain. Para elite pemimpin, umpamanya, selalu disibukkan dengan permainan soal data-data statistik kemiskinan, pengangguran, dan pertumbuhan ekonomi. Tetapi, mereka alpa bagaimana cara mengatasi penderitaan hidup yang menghimpit masyarakatnya. Kelaparan yang mengakibatkan kematian yang menimpa sejumlah warga di Yakuhimo, Papua, misalnya, jelas menunjukkan kesahihan tesis Berger di atas. Pemerintah pusat dan daerah sibuk memperbincangkan otonomi khusus sekaligus pelbagai kompensasinya, tetapi menafikan kebutuhan riil masyarakat yang menjadi objeknya. Saya termasuk orang yang percaya bahwa kebutuhan riil masyarakat Papua bukanlah otonomi khusus yang terlalu rumit dan melangit itu. Sebaliknya, dalam jangka pendek ini, kebutuhan dasariahnya adalah tersedianya pengetahuan modern tentang bercocok taman plus pengelolaan sumber daya alam, dan pendidikan bagi anak-anaknya. Dan, faktanya memang benar. Dana otonomi yang jumlahnya mencapai triliunan rupiah tidak jelas arahnya. Kita semua tentu sudah mafhum. Anehnya, tragedi seperti ini bukan terjadi untuk yang pertama kalinya. Sebelum tragedi Yahukimo ini mencuat, beberapa waktu lalu kita juga dihadapkan pada maha-tragedi satiris serupa mengenai kasus busung lapar yang menimpa wilayah NTB, NTT, dan daerah lainnya serta kasus polio yang melanda Jabar dan Banten. Pertanyaan yang lantas patut dikemukakan sekarang adalah apa saja yang telah dilakukan pemerintah pusat dan daerah selama ini, sehingga bencana kemanusiaan sebesar itu pun baru diketahui elite politik setelah diliput oleh media massa? Idealnya, secara teoretis, negara berkewajiban menyediakan political goods (barang-barang politik) semisal pendidikan, kesehatan, kesejahteraan, transportasi, perlindungan, keamanan bagi warga negaranya. Sehingga, bila negara tak mampu memainkan fungsi itu maka sudah seharusnya otoritasnya didelegitimasi. Pasalnya, negara sudah menjadi negara lemah dan tak mampu melindungi rakyat. Selain itu, fungsi penyedia kesejahteraan sosial yang yang seharusnya diperankan oleh negara juga malah diambil oleh elemen-elemen masyarakat sipil, seperti LSM dan organisasi-organisasi sosial kemasyarakatan lain. Kelemahan ini pada ujungnya tetap bermuara pada lemahnya pemimpin. Sayangnya, kondisi demikian tak membuat mereka sadar. Alih-alih tabiat buruknya yang muncul. Ini terlihat dari apatisme politisi Senayan dan pemerintah, baik pusat maupun daerah yang cenderung hendak menutup-nutupi masalah ini, untuk tidak mengatakan berupaya menghindar dari tanggung jawab. Bahkan, naifnya malah menuduh pers telah melakukan kebohongan dengan membesar-besarkan fakta. Tipis benar moralitas dan kepekaan sosial elite penguasa negeri ini. Di tengah segenap kondisi sosial semakin kritis, anggota DPR dan DPD justru malah meminta kenaikan gaji sebesar 15% setelah sebelumnya gaji para pejabat tinggi negara juga dinaikkan. Sedangkan masyarakatnya dipaksa menerima pil pahit kenaikan harga-harga kebutuhan pokok imbas dari kebijakan negara yang pro-pasar. Elite negara yang seharusnya bertugas memerjuangkan kepentingan rakyat malah memperjuangkan kepentingannya sendiri. Sedangkan persoalan-persoalan rakyat yang menuntut tanggung jawabnya malah diabaikan. Dalam hal ini, perkataan Buya Syafi'i Ma'arif banyak benarnya. Indonesia is rich and beautiful, but the people are no longer beautiful. Meskipun Indonesia memiliki kakayaan alam yang melimpah tetapi tersandera oleh keserakahan para politisi yang nurani serta solidaritas kemanusiaannya sudah tumpul. (Menggugah Nurani Bangsa: 2005). Logika menjadi bengkok lantaran dominannya egoisme. Visi ke depan pendek sehingga tak tahu ke arah mana kapal bangsa ini hendak dilabuhkan. Nafsu kekuasaan tampaknya lebih menarik dituruti tinimbang keinginan untuk menyelesaikan krisis kebangsaan yang lebih luas. Pada akhirnya, saya sampai pada kesimpulan, sesungguhnya berbagai tragedi kemanusiaan yang muncul belakang ini merupakan bentuk kritikan sosial yang keras terhadap moralitas absurd para elite negeri ini. Ya, kritik terhadap kebijakan politik dan pembangunanisme anti-rakyat yang dihasilkan. Oleh Karena itu, mulai sekarang, tak ada jalan lain, selain mengupayakan agar manusia diposisikan sebagai pusat, tujuan, pengemban dan subyek kebijakan politik dan pembangunan. Tanpa adanya perubahan mendasar dalam diri politisi serta acuan etika yang kokoh dalam setiap pengambilan kebijakan politik dan pembangunan seperti itu, maka tragedi demi tragedi akan menjadi efek tak terelakkan senantiasa mengiringi perjalanan bangsa kita. Bangsa ini kini berada dalam situasi kritis dan genting, sehingga menuntut adanya kerja keras untuk mencari jalan keluarnya. Tetapi, semuanya toh akhirnya terpulang pada para nurani pemimpin apakah mau menyelesaikan atau malah membiarkan? Apakah dengan munculnya kritik sosial tersebut, politisi kita akan sadar, berubah dan lalu bertobat? Melihat gelagat dan sandiwaranya yang dipertontonkan sehari-hari, rasa-rasanya saya pantas pesimis. *** Penulis aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM [Non-text portions of this message have been removed] *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://groups.yahoo.com/group/ppiindia *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx 5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx 6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/ ** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List ** ** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: ** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ ** ** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral scholarship, kunjungi http://informasi-beasiswa.blogspot.com **