** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List ** ** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: ** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ ** ** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral scholarship, kunjungi http://informasi-beasiswa.blogspot.com **http://www.suarapembaruan.com/News/2006/01/30/index.html SUARA PEMBARUAN DAILY Ilusi Kuasa Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla Oleh A Bakir Ihsan MENJELANG tutup tahun 2005, berbagai analisis terhadap kinerja Yudhoyono-Kalla selama satu tahun dilansir oleh berbagai media massa. Secara umum, berbagai analisis tersebut memperlihatkan adanya paradoksalitas potret kekuasaan Yudhoyono-Kalla. Satu sisi, para analis melihat adanya penurunan performa kinerja Yudhoyono-Kalla, di sisi lain terjadi penguatan hegemoni kekuasaan pasangan itu. Indikator penurunan performa kinerja Yudhoyono-Kalla biasanya dikaitkan dengan adanya kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat, seperti kenaikan harga BBM dan adanya jumlah pengangguran yang semakin tinggi. Sementara indikator hegemoni kekuasaan Yudhoyono-Kalla dikaitkan dengan terkooptasinya partai politik sehingga tidak kritis, pemanjaan terhadap pengusaha, dan terakomodasinya para aktivis ke dalam jaring kekuasaan. Fenomena tersebut kemudian disimpulkan bahwa kekuasaan Yudhoyono-Kalla sedang mengarah pada otoritarianisme baru yang dapat memicu terjadinya people power. Sebagai sebuah analisis, hal tersebut sah-sah saja. Paling tidak, ia dapat menjadi peringatan bagi pemerintah agar tidak terjebak dalam kekhawatiran-kekhawatiran tersebut. Namun, yang lebih penting lagi adalah bagaimana mengoptimalkan kuasa Yudhoyono-Kalla ini bagi upaya kelanjutan reformasi bangsa yang masih tersendat dan cenderung involutif ini. Otoritarianisme Kecenderungan otoritarianisme merupakan potensi setiap kekuasaan. Dan, hal ini akan teraktualisasi ketika mendapatkan lahan subur berupa: Pertama, lemahnya partai politik (parpol). Parpol merupakan alat yang paling ampuh bagi kepentingan hegemoni kekuasaan karena ia memiliki basis struktural dan kultural sekaligus. Secara struktural ia memiliki bargaining yang kuat dengan seluruh kekuatan sosial. Secara kultural, ia memiliki legitimasi massa. Kedua, lemahnya kontrol sosial. Masyarakat yang tidak memiliki basis budaya yang baik dengan mudah dapat diperdaya oleh kekuasaan. Lemahnya basis budaya ini bisa disebabkan oleh sistem hegemoni yang sengaja diciptakan oleh penguasa. Ketiga, lemahnya lembaga-lembaga kontrol dan pengawas, seperti DPR, lembaga yudikatif, maupun lainnya. Namun, kondisi-kondisi tersebut tidak tersedia saat ini. Bahkan sebaliknya parpol saat ini sangat kuat dan menjadi pengendali yang sangat menentukan haru biru kekuasaan. Logika bahwa parpol berhasil dikuasai Yudhoyono sangatlah simplistik dan merendahkan "martabat" parpol. Mereka dengan berbekal suara dan kursi yang didapatnya di lembaga legislatif, menjadi modal ampuh untuk mengontrol kekuasaan. Bahkan dalam hal-hal tertentu, khususnya menyangkut kenaikan gaji, mereka tak terkendali. Di sisi lain, sejak reformasi bergulir, wilayah publik (public sphere) semakin terbuka dan sedikit demi sedikit basis kesadaran masyarakat semakin terkuak. Begitu juga kegairahan kontrol yang dilakukan oleh masing-masing lembaga mulai terasa. Pengungkapan kasus korupsi dan langkah-langkah hukum lainnya mulai terlihat. Tidak berlebihan apabila Jusuf Kalla dalam peluncuran buku di Bursa Efek Jakarta, 2 Januari 2006, menyatakan bahwa presiden dan wapres saat ini tidak punya otoritas apa-apa berhadapan dengan hukum. Pernyataan Jusuf Kalla ini menyiratkan dua makna. Pertama, masyarakat semakin kritis dan kuat mengontrol kekuasaan sehingga setiap penyimpangan yang dilakukan oleh pejabat dapat mengancam eksistensinya. Kedua, ada keseriusan Yudhoyono-Kalla untuk menegakkan supremasi hukum di Tanah Air. Di tengah "ketidakberdayaan" tersebut, Yudhoyono-Kalla dihadapkan pada realitas kemiskinan, bencana alam, pengangguran, konflik, kriminalitas dan potensi-potensi yang dapat memicu kekacauan dan integrasi sosial. Inilah dilema demokrasi di tengah problem sosial yang kompleks. Satu sisi demokrasi menuntut adanya toleransi-toleransi, sementara problem sosial yang complicated dan emergency membutuhkan ketegasan dan kepastian secara cepat dan tepat. Untuk Rakyat Kemenangan Yudhoyono-Kalla pada Pemilu 2004 melalui pemilihan langsung merupakan modal yang sangat legitimated untuk mengambil kebijakan yang dianggap strategis bagi penyelesaian problem sosial. Bahkan, dibandingkan dengan lembaga lain yang juga dipilih rakyat, seperti DPR atau DPD, eksistensi Yudhoyono-Kalla lebih akuntabel karena dipilih oleh lebih 60 persen rakyat secara nasional. Namun, modal legitimasi tersebut tidak cukup menjadi godam untuk membuat kebijakan dengan semena-mena, karena ia tetap terikat dengan konstitusi dan kontrol baik oleh DPR maupun oleh masyarakat secara langsung. Kontrol terhadap kekuasaan tidak hanya bersifat vertikal (kontrol dari masyarakat), tetapi juga secara horizontal, yaitu dari lembaga legislatif dan yudikatif. Kekhawatiran terhadap kemungkinan terjadinya otoritarianisme pada kekuasaan Yudhoyono-Kalla, seperti ditulis oleh beberapa pengamat, lebih disebabkan oleh paradigma elite yang meletakkan penguasa sebagai penentu segalanya. Yudhoyono-Kalla diletakkan sebagai kunci dari seluruh persoalan. Paradigma ini mengalami bias dan distorsi di tengah masyarakat yang secara politik sedang menjalankan demokrasi, seperti di Indonesia. Dalam alam demokrasi, masyarakat dapat menjadi kontrol efektif bagi kekuasaan. Harapan berlebihan terhadap Yudhoyono-Kalla semata akan berbuah kekecewaan. Dari sinilah kita bisa memahami mengapa Yudhoyono sempat "mengeluh" tentang sulitnya memberantas korupsi. Bahkan, ia khawatir tidak mampu menghadapi tembok korupsi yang begitu sistemik dan berjamaah. Sementara ia harus berhitung dengan berbagai aturan yang bisa jadi menjebak langkah-langkahnya sendiri. Harapan besar terhadap Yudhoyono-Kalla tidak bisa dilepaskan dari keberhasilan yang diraihnya dalam Pilpres 2004 lalu. Saat itu Yudhoyono-Kalla diletakkan sebagai pasangan paling sempurna (ideal) karena latar belakangnya yang dianggap representatif dan mewakili beragam kepentingan dan latar belakang sosial. Yudhoyono dianggap sebagai representasi dari militer-reformis-intelek dan Kalla sebagai sipil-pengusaha-santri. Secara geografis, Yudhoyono-Kalla dianggap sebagai representasi Jawa-luar Jawa. Namun, idealisasi tersebut menjadi tidak signifikan ketika dihadapkan pada problem kebangsaan yang lintas status sosial dan lintas geografis. Bencana tidak lagi memandang Jawa-luar Jawa, kemiskinan tidak lagi menjadi monopoli sipil, dan konflik-konflik berlangsung merata. Melihat realitas tersebut, diperlukan rekonstruksi paradigmatik terhadap kekuasaan yang selama ini dianggap sebagai penentu (sentral) segalanya. Rekonstruksi tersebut tentu harus dibarengi dengan keberdayaan masyarakat secara keseluruhan, sehingga dapat meretas tingkat ketergantungan yang berlebihan terhadap kekuasaan. Dengan tingkat ketergantungan yang semakin berkurang tersebut, masyarakat dengan sendirinya dapat mengontrol kekuasaan. Semangat ini perlu ditekankan seiring dengan semangat otonomisasi yang sedang berlangsung di negeri ini. Dalam konteks kenegaraan, tampaknya Yudhoyono-Kalla memulai langkah tersebut dengan memberdayakan seluruh potensi lembaga-lembaga yang ada di bawah komandonya untuk bekerja maksimal sesuai tanggung jawab masing-masing. Dan, langkah tersebut mulai menuai hasil. Penangkapan koruptor kelas kakap, terbongkarnya mafia peradilan, dan geliat perekonomian yang semakin positif, merupakan langkah awal yang menjanjikan bagi optimalisasi kinerja dan tatanan kehidupan bernegara. Dan, langkah awal yang baik ini akan terus berlanjut apabila semua komponen bangsa bergerak bersama sesuai tanggung jawab masing-masing. Tanpa kepedulian dan komitmen semua pihak untuk mendorong terwujudnya good and clean governance, eksistensi Yudhoyono-Kalla tidak akan bermakna apa-apa. Karena kuasa Yudhoyono-Kalla adalah kuasa rakyat, maka tanpa dukungan dan partisipasi rakyat, kuasa keduanya hanya ilusi belaka. * Penulis adalah dosen Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta Last modified: 30/1/06 [Non-text portions of this message have been removed] *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://groups.yahoo.com/group/ppiindia *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx 5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx 6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/ ** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List ** ** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: ** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ ** ** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral scholarship, kunjungi http://informasi-beasiswa.blogspot.com **