[nasional_list] [ppiindia] Ilusi Kuasa Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla

  • From: "Ambon" <sea@xxxxxxxxxx>
  • To: <"Undisclosed-Recipient:;"@freelists.org>
  • Date: Mon, 30 Jan 2006 23:30:46 +0100

** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com 
**http://www.suarapembaruan.com/News/2006/01/30/index.html

SUARA PEMBARUAN DAILY 

Ilusi Kuasa Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla
Oleh A Bakir Ihsan 



MENJELANG tutup tahun 2005, berbagai analisis terhadap kinerja Yudhoyono-Kalla 
selama satu tahun dilansir oleh berbagai media massa. Secara umum, berbagai 
analisis tersebut memperlihatkan adanya paradoksalitas potret kekuasaan 
Yudhoyono-Kalla. Satu sisi, para analis melihat adanya penurunan performa 
kinerja Yudhoyono-Kalla, di sisi lain terjadi penguatan hegemoni kekuasaan 
pasangan itu. 

Indikator penurunan performa kinerja Yudhoyono-Kalla biasanya dikaitkan dengan 
adanya kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat, seperti kenaikan harga BBM 
dan adanya jumlah pengangguran yang semakin tinggi. 

Sementara indikator hegemoni kekuasaan Yudhoyono-Kalla dikaitkan dengan 
terkooptasinya partai politik sehingga tidak kritis, pemanjaan terhadap 
pengusaha, dan terakomodasinya para aktivis ke dalam jaring kekuasaan. 

Fenomena tersebut kemudian disimpulkan bahwa kekuasaan Yudhoyono-Kalla sedang 
mengarah pada otoritarianisme baru yang dapat memicu terjadinya people power. 

Sebagai sebuah analisis, hal tersebut sah-sah saja. Paling tidak, ia dapat 
menjadi peringatan bagi pemerintah agar tidak terjebak dalam 
kekhawatiran-kekhawatiran tersebut. Namun, yang lebih penting lagi adalah 
bagaimana mengoptimalkan kuasa Yudhoyono-Kalla ini bagi upaya kelanjutan 
reformasi bangsa yang masih tersendat dan cenderung involutif ini. 


Otoritarianisme 

Kecenderungan otoritarianisme merupakan potensi setiap kekuasaan. Dan, hal ini 
akan teraktualisasi ketika mendapatkan lahan subur berupa: Pertama, lemahnya 
partai politik (parpol). Parpol merupakan alat yang paling ampuh bagi 
kepentingan hegemoni kekuasaan karena ia memiliki basis struktural dan kultural 
sekaligus. Secara struktural ia memiliki bargaining yang kuat dengan seluruh 
kekuatan sosial. Secara kultural, ia memiliki legitimasi massa. 

Kedua, lemahnya kontrol sosial. Masyarakat yang tidak memiliki basis budaya 
yang baik dengan mudah dapat diperdaya oleh kekuasaan. Lemahnya basis budaya 
ini bisa disebabkan oleh sistem hegemoni yang sengaja diciptakan oleh penguasa. 

Ketiga, lemahnya lembaga-lembaga kontrol dan pengawas, seperti DPR, lembaga 
yudikatif, maupun lainnya. 

Namun, kondisi-kondisi tersebut tidak tersedia saat ini. Bahkan sebaliknya 
parpol saat ini sangat kuat dan menjadi pengendali yang sangat menentukan haru 
biru kekuasaan. Logika bahwa parpol berhasil dikuasai Yudhoyono sangatlah 
simplistik dan merendahkan "martabat" parpol. 

Mereka dengan berbekal suara dan kursi yang didapatnya di lembaga legislatif, 
menjadi modal ampuh untuk mengontrol kekuasaan. Bahkan dalam hal-hal tertentu, 
khususnya menyangkut kenaikan gaji, mereka tak terkendali. 

Di sisi lain, sejak reformasi bergulir, wilayah publik (public sphere) semakin 
terbuka dan sedikit demi sedikit basis kesadaran masyarakat semakin terkuak. 
Begitu juga kegairahan kontrol yang dilakukan oleh masing-masing lembaga mulai 
terasa. 

Pengungkapan kasus korupsi dan langkah-langkah hukum lainnya mulai terlihat. 
Tidak berlebihan apabila Jusuf Kalla dalam peluncuran buku di Bursa Efek 
Jakarta, 2 Januari 2006, menyatakan bahwa presiden dan wapres saat ini tidak 
punya otoritas apa-apa berhadapan dengan hukum. 

Pernyataan Jusuf Kalla ini menyiratkan dua makna. Pertama, masyarakat semakin 
kritis dan kuat mengontrol kekuasaan sehingga setiap penyimpangan yang 
dilakukan oleh pejabat dapat mengancam eksistensinya. 

Kedua, ada keseriusan Yudhoyono-Kalla untuk menegakkan supremasi hukum di Tanah 
Air. 

Di tengah "ketidakberdayaan" tersebut, Yudhoyono-Kalla dihadapkan pada realitas 
kemiskinan, bencana alam, pengangguran, konflik, kriminalitas dan 
potensi-potensi yang dapat memicu kekacauan dan integrasi sosial. Inilah dilema 
demokrasi di tengah problem sosial yang kompleks. 

Satu sisi demokrasi menuntut adanya toleransi-toleransi, sementara problem 
sosial yang complicated dan emergency membutuhkan ketegasan dan kepastian 
secara cepat dan tepat. 


Untuk Rakyat 

Kemenangan Yudhoyono-Kalla pada Pemilu 2004 melalui pemilihan langsung 
merupakan modal yang sangat legitimated untuk mengambil kebijakan yang dianggap 
strategis bagi penyelesaian problem sosial. Bahkan, dibandingkan dengan lembaga 
lain yang juga dipilih rakyat, seperti DPR atau DPD, eksistensi Yudhoyono-Kalla 
lebih akuntabel karena dipilih oleh lebih 60 persen rakyat secara nasional. 

Namun, modal legitimasi tersebut tidak cukup menjadi godam untuk membuat 
kebijakan dengan semena-mena, karena ia tetap terikat dengan konstitusi dan 
kontrol baik oleh DPR maupun oleh masyarakat secara langsung. Kontrol terhadap 
kekuasaan tidak hanya bersifat vertikal (kontrol dari masyarakat), tetapi juga 
secara horizontal, yaitu dari lembaga legislatif dan yudikatif. 

Kekhawatiran terhadap kemungkinan terjadinya otoritarianisme pada kekuasaan 
Yudhoyono-Kalla, seperti ditulis oleh beberapa pengamat, lebih disebabkan oleh 
paradigma elite yang meletakkan penguasa sebagai penentu segalanya. 
Yudhoyono-Kalla diletakkan sebagai kunci dari seluruh persoalan. Paradigma ini 
mengalami bias dan distorsi di tengah masyarakat yang secara politik sedang 
menjalankan demokrasi, seperti di Indonesia. Dalam alam demokrasi, masyarakat 
dapat menjadi kontrol efektif bagi kekuasaan. 

Harapan berlebihan terhadap Yudhoyono-Kalla semata akan berbuah kekecewaan. 
Dari sinilah kita bisa memahami mengapa Yudhoyono sempat "mengeluh" tentang 
sulitnya memberantas korupsi. Bahkan, ia khawatir tidak mampu menghadapi tembok 
korupsi yang begitu sistemik dan berjamaah. Sementara ia harus berhitung dengan 
berbagai aturan yang bisa jadi menjebak langkah-langkahnya sendiri. 

Harapan besar terhadap Yudhoyono-Kalla tidak bisa dilepaskan dari keberhasilan 
yang diraihnya dalam Pilpres 2004 lalu. Saat itu Yudhoyono-Kalla diletakkan 
sebagai pasangan paling sempurna (ideal) karena latar belakangnya yang dianggap 
representatif dan mewakili beragam kepentingan dan latar belakang sosial. 

Yudhoyono dianggap sebagai representasi dari militer-reformis-intelek dan Kalla 
sebagai sipil-pengusaha-santri. Secara geografis, Yudhoyono-Kalla dianggap 
sebagai representasi Jawa-luar Jawa. Namun, idealisasi tersebut menjadi tidak 
signifikan ketika dihadapkan pada problem kebangsaan yang lintas status sosial 
dan lintas geografis. 

Bencana tidak lagi memandang Jawa-luar Jawa, kemiskinan tidak lagi menjadi 
monopoli sipil, dan konflik-konflik berlangsung merata. 

Melihat realitas tersebut, diperlukan rekonstruksi paradigmatik terhadap 
kekuasaan yang selama ini dianggap sebagai penentu (sentral) segalanya. 
Rekonstruksi tersebut tentu harus dibarengi dengan keberdayaan masyarakat 
secara keseluruhan, sehingga dapat meretas tingkat ketergantungan yang 
berlebihan terhadap kekuasaan. 

Dengan tingkat ketergantungan yang semakin berkurang tersebut, masyarakat 
dengan sendirinya dapat mengontrol kekuasaan. Semangat ini perlu ditekankan 
seiring dengan semangat otonomisasi yang sedang berlangsung di negeri ini. 

Dalam konteks kenegaraan, tampaknya Yudhoyono-Kalla memulai langkah tersebut 
dengan memberdayakan seluruh potensi lembaga-lembaga yang ada di bawah 
komandonya untuk bekerja maksimal sesuai tanggung jawab masing-masing. 

Dan, langkah tersebut mulai menuai hasil. Penangkapan koruptor kelas kakap, 
terbongkarnya mafia peradilan, dan geliat perekonomian yang semakin positif, 
merupakan langkah awal yang menjanjikan bagi optimalisasi kinerja dan tatanan 
kehidupan bernegara. 

Dan, langkah awal yang baik ini akan terus berlanjut apabila semua komponen 
bangsa bergerak bersama sesuai tanggung jawab masing-masing. Tanpa kepedulian 
dan komitmen semua pihak untuk mendorong terwujudnya good and clean governance, 
eksistensi Yudhoyono-Kalla tidak akan bermakna apa-apa. Karena kuasa 
Yudhoyono-Kalla adalah kuasa rakyat, maka tanpa dukungan dan partisipasi 
rakyat, kuasa keduanya hanya ilusi belaka. * 


Penulis adalah dosen Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta 


Last modified: 30/1/06 

[Non-text portions of this message have been removed]



***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com **

Other related posts:

  • » [nasional_list] [ppiindia] Ilusi Kuasa Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla