[nasional_list] [ppiindia] Hindari Polemik tentang Impor Beras + Impor Beras Hancurkan Mekanisme Harga Lokal

  • From: "Ambon" <sea@xxxxxxxxxx>
  • To: <"Undisclosed-Recipient:;"@freelists.org>
  • Date: Wed, 11 Jan 2006 22:58:32 +0100

** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com 
**http://www.suarapembaruan.com/News/2006/01/11/index.html

SUARA PEMBARUAN DAILY 
Hindari Polemik tentang Impor Beras
Oleh DE Sianturi 

MENGAKHIRI tahun 2005, kita sangat dikagetkan dengan bencana kelaparan di 
Kabupaten Yahukimo, Papua. Padahal Papua adalah daerah subur dan kita tidak 
tahu apakah ada "Yahukimo-yahukimo lainnya" yang belum muncul ke permukaan 
akibat kenaikan besar harga BBM, 1 Oktober lalu. 

Dan, juga 2-3 bulan terakhir kita sibuk dengan polemik impor beras yang 
dilakukan Bulog. Ada yang dukung, ada yang menolak dan mungkin ada yang diam 
saja. Diam belum berarti ,setuju tetapi mereka merenung untuk mengambil hikmah 
dari kejadian itu. Impor beras, apa yang salah, kalau tidak impor beras apa 
yang benar. 

Dan, mungkin masih banyak pertanyaan yang dapat diajukan terkait dengan impor 
beras yang dilakukan Bulog awal tahun ini. Apa pun alasan Bulog untuk impor 
beras, sekarang ini lebih banyak orang yang tidak setuju. Jadi kalau di-voting, 
Bulog kalah. Padahal mentan pada awal Oktober mengatakan, "Indonesia Dipastikan 
Tetap Surplus Beras" (Pembaruan, 5/10/2005). 

Setiap argumen yang diajukan, baik yang pro maupun kontra, sepertinya "benar" 
adanya. Judul komentar, argumen dan tanggapan terkait impor beras ini ada di 
beberapa media cetak nasional. 

Tetapi semua pihak perlu menahan diri untuk tidak berpolemik tentang impor 
beras. Hindari polemik ini dengan mengalihkan pikiran, perkataan dan tindakan 
pada suatu hal yang sangat relevan hari-hari ini yaitu mengatasi "kelaparan" di 
beberapa wilayah, seperti di Papua. Sekalipun orang Papua tidak harus diajar 
makan nasi (mungkin sampai saat ini belum perlu) sebab makanan pokok disana 
adalah ubi, sagu dan lainnya. 

Indonesia sebagai negara agraris, kehidupan mayoritas rakyat adalah pertanian 
tanaman pangan. Jadi sangat aneh masih impor beras, dan bukannya ekspor, 
padahal lahan sawah dan areal panen sangat luas. Teknologi bercocok tanam juga 
sudah tersedia di Dinas Pertanian dan di lembaga penelitian. 

Selain itu, tenaga PPL (penyuluh pertanian lapang) profesional siap untuk 
membantu/membimbing petani di desa. Tidak kalah pentingnya, ada 210 juta 
penduduk siap untuk menjadi pasar domestik bagi produk-produk pertanian. 

Lalu masalahnya di mana? Bukan di Departemen Pertanian, bukan di Bulog si 
tukang impor beras, bukan di Departemen Perdagangan si pemberi izin impor, dan 
bukan di Departemen Keuangan si juru bayar, dan tentu bukan di petani produsen. 
Masalahnya sebenarnya bisa sederhana, tetapi seringkali kita buat menjadi 
rumit. 

Hemat penulis, adakah pemerintah pusat pernah mendelegasikan dan menyerahkan 
tanggung jawab kecukupan pangan penduduk di tangan para bupati, wali kota, 
camat. Atau, pernahkah bupati, wali kota, camat, berpikir bahwa menyediakan 
pangan untuk rakyatnya menjadi tugasnya? 

Mustahil menteri pertanian, atau menteri perdagangan, apalagi presiden, sempat 
melihat ada orang yang berhari-hari belum makan di desa yang jauh dari Jakarta? 
Artinya bupati, wali kota, dan camat yang ada di daerah tahu (harus) persis 
jumlah orang di daerahnya yang harus makan beras atau sumber pangan lainnya. 

Juga harus tahu persis luas lahan yang dapat memproduksi kebutuhan pangan serta 
tingkat produksinya untuk satu tahun. Mereka di gaji dan diberi seabrek 
fasilitas besar adalah untuk itu. 

Hanya saja yang terjadi dan kita rasakan dan lihat lain, bupati, wali kota, 
camat, lebih mengejar PAD dengan membangun mal atau sejenisnya, dan kalau perlu 
mengonversi sawah kelas satu untuk jadi lokasi mal itu. Inilah yang aneh dan 
perlu dibenahi segera kalau ogah impor beras. 

Konsep ketahanan pa- ngan sebenarnya basisnya di kabupaten, kota dan kecamatan, 
dan ini harus segera dilakukan, kalau tidak sama dengan memelihara kemiskinan 
dan kebodohan. Adalah aneh setelah 60 tahun merdeka masih impor beras dan 
beberapa produk pertanian lain (seperti jagung, kedele) hanya karena kita tidak 
memihak kepada petani komoditas tersebut. 



Dalam angka-angka dan analisis sederhana. Indonesia sekarang dengan penduduk 
sekitar 210 juta jiwa dengan kelompok usia dewasa, anak-anak, dan bayi. Juga 
usia lanjut di atas 60 tahun cukup banyak yang sudah tidak doyan nasi/beras 
sebab takut diabetes. 

Juga, penduduk Indonesia Timur ada banyak yang tidak makan nasi, dan kalaupun 
makan nasi tidak merasa kenyang sehingga tetap memakan makanan pokok mereka, 
seperti jagung, sagu dan ubi. Kebutuhan beras setiap kelompok umur ini per 
kapita berbeda. 

Asumsikan sama dengan 130 kg beras per kapita per tahun (menurut kelompok umur 
kisaran 60-140 kg/kapita/tahun), diperlukan 27,3 juta ton beras (di mana 24 
juta ton untuk konsumsi dan 3,3 juta ton cadangan) setara dengan 46 juta ton 
gabah dengan rendemen 60 persen. 

Pada tahun 2002 lalu, produksi gabah Indonesia sudah mencapai sekitar 53 juta 
ton. Departemen Pertanian melaporkan luas sawah untuk tanaman padi di Indonesia 
sekitar 11 juta ha. Sebagian lahan sawah dapat ditanami dua kali setahun dan 
ada sawah irigasi sempurna juga yang tiga kali. 

Dengan demikian, diperkirakan ada 2,2 juta ha (tambahan areal tanam), sehingga 
areal panen padi dalam setahun dapat mencapai 13,2 juta ha. Dengan tingkat 
produktivitas 5 ton gabah per ha maka total produksi adalah 66 juta ton gabah. 
Bila kehilangan saat panen atau kegagalan lainnya sekitar 10 persen, masih 
tersedia 59,4 juta ton gabah. 

Pertanyaannya, kenapa masih ngotot untuk impor? Presiden Yudhoyono mengatakan, 
impor kali ini hanya untuk jaga-jaga. Kenapa pemerintah bukan menaikkan harga 
gabah petani dua kalipat dari harga sekarang seperti kenaikan BBM atau 
menjadikan harga gabah Rp 4.000 per kilogram. 

Atau kenapa Bulog tidak dipaksa hanya membeli gabah petani. Dengan harga gabah 
yang layak dan menguntungkan maka orang akan tertarik untuk memproduksi 
padi/gabah dan kelak kita akan ekspor. 

Kita perlu hati-hati banyak orang yang tidak mau bertani atau jadi petani. Di 
samping modalnya besar, juga tidak adanya jaminan harga yang layak bagi 
produknya. 

Sebagai peneliti yang dalam dua dekade terahir terlibat pada penelitian 
pengembangan pertanian lahan pasang surut pada Puslitbangtan Badan Litbang 
Pertanian, saya ingin urun-rembuk dengan saudara-saudara pengambil keputusan 
dari tingkat pusat, tingkat provinsi dan kabupaten/kota memihaklah pada 
pertanian dan petani dengan menerapkan kebijakan pembangunan pada sektor 
agraria sebagai prioritas. 

Bahkan bupati, wali kota dan camat sebagai ujung tombak, hendaklah mendukung 
usaha tani dan petani di wilayah dan secara periodik dilaporkan dan dievaluasi 
dengan pemerintah pusat. Sudah tidak zaman lagi semua dikelola dan dikendalikan 
dari pusat terutama hal-hal teknis pertanian dan agribisnis tetapi semangat 
otonomi harus ditangkap. 

Memfasilitasi usahatani hendaknya menjadi tugas utama Bupati sementara Pusat 
akan lebih banyak memberi peluang untuk bersifat kebijakan atau pascapanen. 
Jadi akan ada sinergi yang komprehensif dan saling dukung antara pertanian hulu 
yang ditangani bupati, wali kota, camat dan petani/usaha tani dengan kegiatan 
pertanian hilir untuk, transportasi, penjualan dan pelayanan 
pembiayaan/perbankan misalnya bagi produk pertanian yang melebihi konsumsi 
lokal misalnya atau produk unggulan yang disiapkan untuk ekspor. 

Pemetaan wilayah komoditas utama di tiap wilayah kabupaten dan kota sudah 
mendesak agar tidak terjadi tumpang tindih atau produk berlebihan karena 
seragam sehingga sulit untuk dipasarkan. 

Dengan melakukan pemetaan SDM dan SDA seperti ini, akan segera dapat diketahui 
bupati, wali kota, camat mana yang mampu swasembada pangan dan daerah mana yang 
sedang menuju, dan bahkan daerah mana yang tidak mungkin swasembada pangan 
(maka harus impor dari kabupaten lain). Kejadian di Kabupaten Yahukimo, Papua, 
akan dapat dihindari dan setidaknya diketahui lebih dini. * 

Penulis adalah pengamat pengembangan pertanian dan tinggal di Bogor 


Last modified: 11/1/06 

++++

http://www.suarapembaruan.com/News/2006/01/11/index.html

SUARA PEMBARUAN DAILY 
Impor Beras Hancurkan Mekanisme Harga Lokal

JAKARTA - Kebijakan pemerintah selama tahun 2005 dinilai tidak berpihak kepada 
petani, terutama dengan dibukanya kran impor beras sebanyak 70.050 ton, 
November 2005. Kebijakan itu menghancurkan mekanisme harga beras lokal, dan 
perlahan-lahan menihilkan perlindungan terhadap pasar domestik. 

Menurut Ketua Presidium Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI), Ahmad 
Somaeri, dan Sekretaris Jenderal FSPI, Henry Saragih, di Jakarta, Rabu (11/1), 
kebijakan yang tidak berpihak kepada petani itu berlanjut tahun 2006, yakni 
dengan diizinkannya Perum Bulog mengimpor 110.000 ton beras mulai 6 Januari. 

Ahmad Somaeri mengatakan, pihaknya sudah memprediksi kebijakan tahun 2006 tidak 
akan berubah. Sebab hampir semua kebijakan yang dikeluarkan pemerintah 
sepanjang 2005 lebih berorientasi pada bisnis yang cenderung menguntungkan 
pedagang ketimbang petani. 

Dia mengemukakan, kebijakan yang melenceng itu antara lain tidak 
direalisasikannya Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK) yang 
dicanangkan presiden, pada Juni 2005. Hal itu terbukti dari diizinkannya impor 
beras, dan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang melebihi kemampuan daya 
beli rakyat banyak. 

"Meski ditentang oleh banyak pihak, pemerintah kembali mengimpor beras sebanyak 
110.000 ton. Tampaknya pemerintah akan terus memaksakan kebijakan ini melalui 
tangan Bulog dengan alasan cadangan untuk pengamanan stok beras dalam negeri 
belum terpenuhi,'' ujarnya. 

Henry Saragih menambahkan, di Indonesia masalah stok beras merupakan hal klasik 
mulai dari tahun 1988, yang juga menandakan negara agraris nan subur ini 
menjadi importir yang diselingi ''masa aman'' sekitar sembilan bulan 
(Januari-September 2005) saat impor beras dilarang. 

Menurutnya, data yang tidak akurat serta ketidaksepahaman antara Departemen 
Perdagangan dan Departemen Pertanian dalam masalah persediaan beras, 
seakan-akan menjadi legitimasi bagi kebijakan impor. Ditambah lagi dengan 
tekanan internasional dari Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yang memaksakan 
pembukaan pasar dan liberalisasi pertanian. 

''Mental dagang birokrat di Indonesia membuat masalah semakin pelik. Namun, 
satu yang pasti, petani adalah bagian akhir dari rantai ini yang selalu 
mendapatkan kerugian terbesar. Sementara pejabat dan pedagangnya untung besar. 
Ini jelas tidak benar,'' ucapnya. 


Kebijakan Instan 

Henry mengingatkan, pemerintah harus mendahulukan pengamanan stok beras dari 
dalam negeri, bukan dari impor yang malah menyubsidi petani negara lain. 

Pemerintah dinilai selalu menomorsatukan impor sebagai kebijakan instan untuk 
memenuhi kebutuhan beras domestik, dan secara nyata meminggirkan petani di 
dalam negeri sendiri. 

Dia berpendapat, yang bisa dilakukan oleh pemerintah untuk menyatakan kepada 
publik keberpihakannya pada petani, adalah dengan memperpanjang realisasi 
pembelian beras lokal oleh Bulog. Sebab Departemen Pertanian menyatakan bahwa 
persediaan beras di dalam negeri masih cukup. 

''Dengan memberdayakan produksi lokal, petani akan mendapat nafkah dan 
perlindungan, sehingga produksi bisa terus berjalan. Efek langsungnya adalah 
sektor produksi beras bisa meningkat,'' tutur Henry. 


Seizin Bulog 

Secara terpisah, Direktur Jenderal Bea dan Cukai Departemen Keuangan, Eddy 
Abdurrahman memastikan, beras impor yang masuk ke beberapa pelabuhan di 
Indonesia hanya yang memiliki izin dari Perum Bulog. Selain itu, sebelum beras 
impor itu dikapalkan ke Indonesia harus melalui verifikasi oleh surveyor yang 
ditunjuk pemerintah. 

Dia menjelaskan, tugas Bea dan Cukai hanya untuk mengamankan beras impor 
tersebut agar masuk ke pelabuhan Indonesia sesuai yang ditunjuk pemerintah. 

Saat beras impor itu masuk ke pelabuhan, pihaknya akan melihat kelengkapan 
dokumen, perizinan dan harus ada data verifikasi pemeriksaan oleh surveyor. 
Lepas dari pelabuhan, ujar Eddy, bukan merupakan tanggung jawab dari Bea dan 
Cukai. 

Seperti diberitakan sebelumnya, beras impor sebanyak 110.000 ton dijadwalkan 
masuk ke Pelabuhan Belawan, Dumai, Bitung, Balikpapan, Ambon, Sorong, Jayapura, 
Kupang, dan Lhokseumawe. (S-26/L-10) 


Last modified: 11/1/06 

[Non-text portions of this message have been removed]



***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com **

Other related posts:

  • » [nasional_list] [ppiindia] Hindari Polemik tentang Impor Beras + Impor Beras Hancurkan Mekanisme Harga Lokal