[nasional_list] [ppiindia] Gotong Royong, Karakter Bangsa Indonesia oleh Kanadianto

  • From: Mira Wijaya Kusuma <la_luta@xxxxxxxxx>
  • To: sastra pembebasan <sastra-pembebasan@xxxxxxxxxxxxxxx>, wahana-news-owner <wahana-news-owner@xxxxxxxxxxxxxxx>, Kana Dianto <kanadianto@xxxxxxxxx>, "H.Sayono" <hsayono@xxxxxxxxx>, Aktivis Bicara <aktivis_bicara@xxxxxxxxxxxxxxx>, herilatief@xxxxxxxxx, Faiz Mansyur <nyongfaiz@xxxxxxxxx>
  • Date: Sun, 15 Mar 2009 05:12:02 -0700 (PDT)

Gotong Royong, Karakter Bangsa Indonesia
Neo-capitalism merusak karakter bangsa, harus dilawan demi kesejahteraan bangsa 
Indonesia
-------------------------------------------------------------------------------------

Gotong Royong


oleh Kanadianto

Gotong
royong adalah karakter asli bangsa Indonesia. Sejak jaman dahulu bangsa
ini dikenal sebagai bangsa yang sangat mencintai kedamainan dan
kebersamaan dalam berkehidupan, baik dalam kelompok kecil (desa) maupun
hingga dalam kelompok yang jauh lebih besar (dukuh bahkan kerajaan).

Hal
ini tercermin dalam berbagai kegiatan pembangunan maupun pola-pola
bercocok tanam bahkan dalam hal menerima sebuah kebiasaan/budaya bngsa
lain yang dating ke wilayahnya (desa, dukuh dan kerajaan). Sayangnya
karakter ini semakin harin semakin terkikis oleh ancaman baru milik
bangsa asing yang sebenarnya sangat tidak cocok bagi bangsa Indonesia.
Karakter baru tersebut adalah Neo-kapitalis, yang sama sekali tidak
pernah berpihak pada rakyat kecil Indonesia. Bung Karno sebagai
Founding Father Bangsa Indonesia sebenarnya pernah mengingatkan pada
awal era 60an, sayangnya hal ini diabaikan oleh banyak pihak bahkan
oleh regim pengganti (regim orde baru) yang kebijakan-kebijakanya lebih
berpihak pada kelompok pemodal terutama pemodal asing, maka tergadailah
negeri ini dan rakyat hidup miskin di negeri sendiri yang kaya makmur,
bagai tikus mati di lumbung padi.

Sebenarnya bangsa kita
memiliki karakter bangsa yang sangat mulia, yaitu “gotong royong”,
semua dilakukan bersama untuk kesejahteraan individu dan bersama.
Individu disini bukanlah berdasarkan keserakahan pribadi tetapi karena
kebersamaan, dimana prinsip dasarnya jika setiap individu mampu hidup
sejahtera secara merata dengan individu lainnya maka tercapailah
cita-cita kesejahteraan yang merata bagi setiap individu.

Jika
kita cermati kembali, sebenarnya semangat “arisan” adalah salah satu
dari semangat gotong royong tersebut, dimana secara bergotong royong
dimana setiap individu mengumpulkan uang untuk diberikan kepada salah
satu individu pada kelompoknya dan begitulah yang dilakukan dari waktu
ke waktu. Tetapi sangat disayangkan bahwa semangat gotong royong pada
arisan telah sirna berganti dengan semangat kapitalis. Tidak percaya?
Tenggoklah, pada acara arisan yang ada adalah pameran kekayaan,
perdagangan produk-produk asing, tiada lagi semangat gotong royong.
Sayang ya.

Semangat “sego sak jumput” juga telah musna di banyak
wilayah di bumi nusantara ini. Semangat ini adalah, setiap kali kita
memasak nasi maka sisihkan sedikit beras untuk di taruh disuatu tempat
dan secara periodik akan ada yang mengambilnya untuk dikumpulkan
bersama jumputan individu lainnya dan akan dibagikan kepada individu
yang tidak mampu. Alangkah mulia dan agungnya semangat ini tetapi
kembali sangat disayangkan ini telah musnah ditelan semangat kapitalis.

Mengapa
bangsa kita menjadi malu untuk melakukan budayanya sendiri dan menjadi
sangat bangga jika mampu melakukan budaya asing. Sementara bangsa asing
mulai tertarik mempelajari dan mengamalkan budaya Indonesia.

Dan
saat ini banyak terjadi demo menolak “barat dengan antek-anteknya”
tetapi menerima budaya “arab dengan antek-anteknya”. Mengapa harus
begitu, tolak “asing” ya seharusnya tolak semua budaya asing dan
tegakkan budaya kita sendiri, iktu baru benar. Menolak “barat”
sementara yang mereka kenakan adalah produk barat, yang mereka
banggakan “makanan sampah dari barat”. Beranikah bangsa ini menolak dan
mencoba untuk berdiri di kakinya sendiri.

Mari kita mulai
berdiri di atas kaki kita sendiri, tolak semua budaya, produk dan
tenaga asing dengan sistem proteksi disemua bidang dan pilih yang
memang kita belum mampu. Mengapa harus “KFC” sementara kita punya “Ny
Soeharti”, mengapa harus “Kickers” sementara kita punya “Edward Forer”
dan “Cibaduyut”, mengapa harus “jilbab” sementara kita punya “kerudung
dan selendang”, mengapa harus “Bread Talk” sementara kita sudah ada
“Tan Ek Tjoan”, mengapa harus “Salsa” sementara kita punya “Kecak”,
mengapa harus “Marawis” sementara kita punya “Dangdut dan Langgam” dan
masih beribu mengapa yang menggelayut.

Sebenarnya kita, bangsa
Indonesia mampu untuk melakukannya tetapi terlalu lama kita dibuai oleh
kemudahan semu yang memabukkan dan pemerintah tak pernah melakukan
proteksi terhadap produk-produk bangsa kita sendiri. Alasannya sangat
sederhana “Globalisasi pasar” dan meningkatkan nilai investasi asing
sementara produk lokal tidak terlindungi sama sekali. Semangat gotong
royong terkesampingkan oleh neo-kapitalisme.

Kebijakan Negara
cenderung hanya berpihak kepada kaum kapitalis, tanpa pernah memikirkan
dampak jangka panjang dan pendek bagi kehidupan perekonomian rakyat
kecil secara mikro. Rakyat yang berusaha (berdagang) baik dibidang jasa
dan non-jasa, yang di kenal dengan sebutan pengusaha sektor informal,
seperti pedagang makanan (warung dan gerobakan) serta jasa transport
(ojek, becak, angkot) kerap tidak terjangkau oleh kebijakan makro
pemerintah. Akibatnya kehidupan perekonomian rakyat dari waktu ke waktu
semakin sulit dan berat. Sebut saja kebijakan di sektor migas,
wara-laba dan pertokoan, import sembako dan yang terparah diijinkannya
import bahan limbah, semua tampak ketidak-siapan dan ketidak-berpihakan.

Semua
kebijakan sangat tampak jelas bahwa yang diuntungkan adalah mereka
pemilik usaha dengan modal besar (kongklomerat) yang dekat dengan
kekuasaan serta mereka yang berasal dari luar negeri. Sedangkan
pedagang di pasar tradisional, yang merupakan kaum pedagang modal lemah
dan merupakan pedagang bangsa sendiri tidak dilindungi (meski
peraturannya sangat jelas), yang seharusnya mendapatkan perlindungan
usaha tetapi kenyataan di lapangan dapat berdiri super market dengan
pemilik orang asing dengan jarak tempat usaha sangat dekat.

Sebenarnya
pada presiden Soekarno pernah dilakukan tindakan nasionalisasi semua
perusahaan asing, yang dikenal dengan nama “Deppering”, semua asset
usaha perusahaan asing diambil alih negara dan seluruh tenaga asing
dipersilahkan hengkang dari Indonesia. Kita dapat melakukan hal ini
kembali atau setidaknya dapat kita terapkan pada perusahaan- perusahaan
asing dengan kepemilikan saham sedikitnya 50% + 1 adalah milik negara
(wajib) atau mereka harus hengkang dan bagi mereka yang tidak
memberikan kesejahteraan bagi buruh Indonesia harus hengkang dari bumi
Indonesia. Kita mampu kalau kita mau.

Mari kita miskin dan
sengsara bersama menuju kemandirian bangsa untuk meraih kesejahteraan
bagi seluruh rakyat Indonesia, sesuai dengan semangat kemerdekaan yang
dilandasi oleh budaya kegotong-royongan, karakter asli bangsa Indonesia.

Bahwa
seluruh tanah dan air serta udara di seluruh wilayah teritorial hukum
Negara Kesatuan Republik Indonesia ini adalah milik rakyat Indonesia
yang pengelolaannya di serahkan kepada negara untuk kesejahteraan
seluruh rakyat Indonesia. Apapun yang ada dan terkandung dalam bumi
nusantara ini adalah milik bersama rakyat Indonesia tapi bukan untuk
dimiliki secara individual. Inilah semangat budaya kita, gotong royong.
Inilah yang dalam tulisan saya selanjutnya akan saya sebut sebagai
“sosio-nasionalisme”.

Merdeka!!!
* Kanadianto---
Jakarta, 12 Maret 2009
* Kanadianto - Caleg DPRD-PDIP 2009 - 2014 kab. Tangerang, no 8, dapil ciputat, 
ciputat timur & pamulang.

Information about KUDETA 65/ Coup d'etat '65, click: http://www.progind.net/  ; 
http://geocities.com/lembaga_sastrapembebasan/ 


      

[Non-text portions of this message have been removed]

Other related posts:

  • » [nasional_list] [ppiindia] Gotong Royong, Karakter Bangsa Indonesia oleh Kanadianto - Mira Wijaya Kusuma