Gotong Royong, Karakter Bangsa Indonesia Neo-capitalism merusak karakter bangsa, harus dilawan demi kesejahteraan bangsa Indonesia ------------------------------------------------------------------------------------- Gotong Royong oleh Kanadianto Gotong royong adalah karakter asli bangsa Indonesia. Sejak jaman dahulu bangsa ini dikenal sebagai bangsa yang sangat mencintai kedamainan dan kebersamaan dalam berkehidupan, baik dalam kelompok kecil (desa) maupun hingga dalam kelompok yang jauh lebih besar (dukuh bahkan kerajaan). Hal ini tercermin dalam berbagai kegiatan pembangunan maupun pola-pola bercocok tanam bahkan dalam hal menerima sebuah kebiasaan/budaya bngsa lain yang dating ke wilayahnya (desa, dukuh dan kerajaan). Sayangnya karakter ini semakin harin semakin terkikis oleh ancaman baru milik bangsa asing yang sebenarnya sangat tidak cocok bagi bangsa Indonesia. Karakter baru tersebut adalah Neo-kapitalis, yang sama sekali tidak pernah berpihak pada rakyat kecil Indonesia. Bung Karno sebagai Founding Father Bangsa Indonesia sebenarnya pernah mengingatkan pada awal era 60an, sayangnya hal ini diabaikan oleh banyak pihak bahkan oleh regim pengganti (regim orde baru) yang kebijakan-kebijakanya lebih berpihak pada kelompok pemodal terutama pemodal asing, maka tergadailah negeri ini dan rakyat hidup miskin di negeri sendiri yang kaya makmur, bagai tikus mati di lumbung padi. Sebenarnya bangsa kita memiliki karakter bangsa yang sangat mulia, yaitu “gotong royong”, semua dilakukan bersama untuk kesejahteraan individu dan bersama. Individu disini bukanlah berdasarkan keserakahan pribadi tetapi karena kebersamaan, dimana prinsip dasarnya jika setiap individu mampu hidup sejahtera secara merata dengan individu lainnya maka tercapailah cita-cita kesejahteraan yang merata bagi setiap individu. Jika kita cermati kembali, sebenarnya semangat “arisan” adalah salah satu dari semangat gotong royong tersebut, dimana secara bergotong royong dimana setiap individu mengumpulkan uang untuk diberikan kepada salah satu individu pada kelompoknya dan begitulah yang dilakukan dari waktu ke waktu. Tetapi sangat disayangkan bahwa semangat gotong royong pada arisan telah sirna berganti dengan semangat kapitalis. Tidak percaya? Tenggoklah, pada acara arisan yang ada adalah pameran kekayaan, perdagangan produk-produk asing, tiada lagi semangat gotong royong. Sayang ya. Semangat “sego sak jumput” juga telah musna di banyak wilayah di bumi nusantara ini. Semangat ini adalah, setiap kali kita memasak nasi maka sisihkan sedikit beras untuk di taruh disuatu tempat dan secara periodik akan ada yang mengambilnya untuk dikumpulkan bersama jumputan individu lainnya dan akan dibagikan kepada individu yang tidak mampu. Alangkah mulia dan agungnya semangat ini tetapi kembali sangat disayangkan ini telah musnah ditelan semangat kapitalis. Mengapa bangsa kita menjadi malu untuk melakukan budayanya sendiri dan menjadi sangat bangga jika mampu melakukan budaya asing. Sementara bangsa asing mulai tertarik mempelajari dan mengamalkan budaya Indonesia. Dan saat ini banyak terjadi demo menolak “barat dengan antek-anteknya” tetapi menerima budaya “arab dengan antek-anteknya”. Mengapa harus begitu, tolak “asing” ya seharusnya tolak semua budaya asing dan tegakkan budaya kita sendiri, iktu baru benar. Menolak “barat” sementara yang mereka kenakan adalah produk barat, yang mereka banggakan “makanan sampah dari barat”. Beranikah bangsa ini menolak dan mencoba untuk berdiri di kakinya sendiri. Mari kita mulai berdiri di atas kaki kita sendiri, tolak semua budaya, produk dan tenaga asing dengan sistem proteksi disemua bidang dan pilih yang memang kita belum mampu. Mengapa harus “KFC” sementara kita punya “Ny Soeharti”, mengapa harus “Kickers” sementara kita punya “Edward Forer” dan “Cibaduyut”, mengapa harus “jilbab” sementara kita punya “kerudung dan selendang”, mengapa harus “Bread Talk” sementara kita sudah ada “Tan Ek Tjoan”, mengapa harus “Salsa” sementara kita punya “Kecak”, mengapa harus “Marawis” sementara kita punya “Dangdut dan Langgam” dan masih beribu mengapa yang menggelayut. Sebenarnya kita, bangsa Indonesia mampu untuk melakukannya tetapi terlalu lama kita dibuai oleh kemudahan semu yang memabukkan dan pemerintah tak pernah melakukan proteksi terhadap produk-produk bangsa kita sendiri. Alasannya sangat sederhana “Globalisasi pasar” dan meningkatkan nilai investasi asing sementara produk lokal tidak terlindungi sama sekali. Semangat gotong royong terkesampingkan oleh neo-kapitalisme. Kebijakan Negara cenderung hanya berpihak kepada kaum kapitalis, tanpa pernah memikirkan dampak jangka panjang dan pendek bagi kehidupan perekonomian rakyat kecil secara mikro. Rakyat yang berusaha (berdagang) baik dibidang jasa dan non-jasa, yang di kenal dengan sebutan pengusaha sektor informal, seperti pedagang makanan (warung dan gerobakan) serta jasa transport (ojek, becak, angkot) kerap tidak terjangkau oleh kebijakan makro pemerintah. Akibatnya kehidupan perekonomian rakyat dari waktu ke waktu semakin sulit dan berat. Sebut saja kebijakan di sektor migas, wara-laba dan pertokoan, import sembako dan yang terparah diijinkannya import bahan limbah, semua tampak ketidak-siapan dan ketidak-berpihakan. Semua kebijakan sangat tampak jelas bahwa yang diuntungkan adalah mereka pemilik usaha dengan modal besar (kongklomerat) yang dekat dengan kekuasaan serta mereka yang berasal dari luar negeri. Sedangkan pedagang di pasar tradisional, yang merupakan kaum pedagang modal lemah dan merupakan pedagang bangsa sendiri tidak dilindungi (meski peraturannya sangat jelas), yang seharusnya mendapatkan perlindungan usaha tetapi kenyataan di lapangan dapat berdiri super market dengan pemilik orang asing dengan jarak tempat usaha sangat dekat. Sebenarnya pada presiden Soekarno pernah dilakukan tindakan nasionalisasi semua perusahaan asing, yang dikenal dengan nama “Deppering”, semua asset usaha perusahaan asing diambil alih negara dan seluruh tenaga asing dipersilahkan hengkang dari Indonesia. Kita dapat melakukan hal ini kembali atau setidaknya dapat kita terapkan pada perusahaan- perusahaan asing dengan kepemilikan saham sedikitnya 50% + 1 adalah milik negara (wajib) atau mereka harus hengkang dan bagi mereka yang tidak memberikan kesejahteraan bagi buruh Indonesia harus hengkang dari bumi Indonesia. Kita mampu kalau kita mau. Mari kita miskin dan sengsara bersama menuju kemandirian bangsa untuk meraih kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia, sesuai dengan semangat kemerdekaan yang dilandasi oleh budaya kegotong-royongan, karakter asli bangsa Indonesia. Bahwa seluruh tanah dan air serta udara di seluruh wilayah teritorial hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia ini adalah milik rakyat Indonesia yang pengelolaannya di serahkan kepada negara untuk kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Apapun yang ada dan terkandung dalam bumi nusantara ini adalah milik bersama rakyat Indonesia tapi bukan untuk dimiliki secara individual. Inilah semangat budaya kita, gotong royong. Inilah yang dalam tulisan saya selanjutnya akan saya sebut sebagai “sosio-nasionalisme”. Merdeka!!! * Kanadianto--- Jakarta, 12 Maret 2009 * Kanadianto - Caleg DPRD-PDIP 2009 - 2014 kab. Tangerang, no 8, dapil ciputat, ciputat timur & pamulang. Information about KUDETA 65/ Coup d'etat '65, click: http://www.progind.net/ ; http://geocities.com/lembaga_sastrapembebasan/ [Non-text portions of this message have been removed]