[nasional_list] [ppiindia] Dari Alternatif Menjadi Suatu Keharusan

  • From: "Ambon" <sea@xxxxxxxxxx>
  • To: <"Undisclosed-Recipient:;"@freelists.org>
  • Date: Wed, 6 Sep 2006 01:47:08 +0200

** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com **REPUBLIKA
Minggu, 03 September 2006


Dari Alternatif Menjadi Suatu Keharusan 

Oleh : KH Didin Hafidhuddin 


Sungguh sangat memprihatinkan melihat perjalanan bangsa yang sudah berusia 61 
tahun, semakin dilanda berbagai persoalan yang sangat berat dan kompleks. 
Persoalan kepemimpinan, kemiskinan, kebodohan, dekadensi moral, dan kesenjangan 
yang semakin melebar antara orang kaya dan orang miskin, antara pejabat dan 
rakyat.

Kita yakin kondisi itu terjadi, di samping karena salah urus, juga karena 
kesalahan sistem yang dipergunakan, yaitu sistem kapitalis yang mengabaikan 
norma dan nilai, serta selalu berorientasi pada kepentingan pemilik modal. Hal 
ini sejalan dengan pendapat para pakar ekonomi seperti Fritjop Chapra dalam 
bukunya, The Turning Point, Science, Society and The Rising Culture (terj. 
1999) dan Ervin Laszio dalam 3rd Milinium, Tehe Challenge and The Vision (terj. 
1999) yang banyak mengungkapkan kekeliruan sejumlah premis ilmu ekonomi, 
terutama rasionalitas ekonomi yang telah mengabaikan nilai dan moralitas.

Menurut mereka, kelemahan dan kekeliruan itulah yang antara lain menyebabkan 
ilmu ekonomi tidak berhasil menciptakan keadilan ekonomi dan kesejahteraan bagi 
umat manusia. Yang terjadi justru sebaliknya, ketimpangan yang semakin tajam 
antara negara-negara dan masyarakat miskin dengan negara-negara dan masyarakat 
kaya.

Hal tersebut dibuktikan pula dengan hasil penelitian lembaga the New Economics 
Foundation (NEF) Inggris tentang hubungan antara pertumbuhan pendapatan per 
kapita dengan proporsi atau share dari pertumbuhan tersebut yang dinikmati oleh 
kaum miskin. Mereka menemukan bahwa pada dekade 1980-an, dari setiap kenaikan 
100 dolar AS pendapatan per kapita dunia, maka kaum miskin hanya menikmati 2,2 
dolar AS, atau sekitar 2,2 persen. Artinya 97,8 persen lainnya dinikmati oleh 
orang-orang kaya.

Kemudian pada kurun waktu tahun 1990 hingga 2001, kesenjangan tersebut semakin 
menjadi-jadi. Setiap kenaikan pendapatan per kapita sebesar 100 dolar AS, maka 
persentase yang dinikmati oleh orang-orang miskin hanya 60 sen saja, atau 
sekitar 0,6 persen. Sedangkan sisanya, yaitu 99,4 persen, dinikmati oleh 
kelompok kaya dunia. Hal tersebut menunjukkan adanya penurunan share kelompok 
miskin sebesar 73 persen. Fakta tersebut menunjukkan bahwa perekonomian dunia 
saat ini cenderung bergerak kepada ketidakseimbangan penguasaan aset dan sumber 
daya ekonomi, yang menjadikan kelompok kaya menjadi semakin kaya, dan kelompok 
miskin semakin miskin.

Di Indonesia sendiri, berdasarkan data Tim Indonesia Bangkit angka kemiskinan 
mengalami peningkatan dari 16 persen pada Februari 2005 menjadi 18,7 persen 
per-Juli 2005 hingga 22 persen per-Maret 2006. Di sisi lain, pemerintah kita 
belum bia melepaskan diri dari utang luar negeri berbasis bunga (baca: rente), 
sehingga utang menjadi sumber utama pembiayaan APBN. Padahal utang yang 
berbasis bunga itu akan berlipat ganda secara terus-menerus, sehingga Indonesia 
akan selalu terjerat pada pembayaran bunga yang terus-menerus meningkat. 
Kondisi ini persis seperti yang digambarkan oleh Allah SWT dalam QS. Al-Baqarah 
ayat 275: "Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri 
melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) 
penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka 
berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal 
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang tela
 h sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil 
riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); 
dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), 
maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya."

Karena itu, menurut para pakar ekonomi tersebut di atas, bahwa untuk 
memperbaiki keadaan ini, tidak ada jalan lain, kecuali mengubah paradigma dan 
visi, yaitu melakukan satu titik balik peradaban (M. Yasir Nasution, 2002), 
dalam arti membangun dan mengembangkan sistem ekonomi yang memiliki nilai dan 
norma yang bisa dipertanggungjawabkan.

Ekonomi Syari'ah: Menjadi Keharusan
Perbedaan yang mendasar antara ekonomi konvensional (baca: ekonomi kapitalis) 
dengan ekonomi syari'ah (Islam) adalah pada landasan filosofinya dan 
asumsi-asumsinya tentang manusia. Ekonomi Islam dibangun atas empat landasan 
filosifis yaitu: tauhid, keadilan, (keseimbangan), kebebasan, dan 
pertanggungjawaban. (Adiwarman Karim, 2001). Tauhid dalam hal ini berarti bahwa 
semua yang ada merupakan ciptaan dan milik Allah SWT dan hanya Dia yang 
mengatur segala sesuatunya, termasuk mekanisme hubungan antarmanusia, perolehan 
rezeki, dan lain sebagainya (rububiyyah). Oleh sebab itu manusia harus 
mengikuti segala ketentuan Allah SWT dalam segala aktivitasnya, termasuk 
aktivitas ekonomi. Ketentuan Allah SWT yang harus dipatuhi dalam hal ini tidak 
hanya bersifat mekanistik dalam alam dan kehidupan sosial, akan tetapi juga 
bersifat etis dan moral (uluhiyyah).

Keadilan dan keseimbangan ditegaskan dalam banyak ayat suci Alquran sebagai 
dasar kesejahteraan hidup manusia. Oleh sebab itu seluruh kebijakan dan 
kegiatan ekonomi harus dilandasi paham keadilan dan keseimbangan. Sistem 
ekonomi haruslah secara intrinsik membawa keadilan dan keseimbangan. Dalam 
ekonomi Islam misalnya, pertumbuhan dan pemerataan merupakan dua dari satu 
entitas. Pada tingkat teknis, hal ini misalnya tampak pada praktik mudharabah 
(lost and profit sharing) di mana pemilik modal dan pekerja ditempatkan pada 
posisi yang sejajar dan adil.

Kebebasan mengandung pengertian bahwa manusia bebas melakukan seluruh aktivitas 
ekonomi sepanjang tidak ada ketentuan Allah yang melarangnya. Ini menunjukkan 
bahwa inovasi dan kreativitas dalam ekonomi adalah suatu keharusan.

Pertanggungjawaban memiliki arti bahwa manusia sebagai pemegang amanah memikul 
tanggungjawab atas segala putusannya. Manusia dipandang sebagai makhluk yang 
mempunyai kebebasan memilih berbagai alternatif yang ada di hadapannya. Pada 
gilirannya ia harus bertanggungjawab kepada Allah SWT (M. Yasir Nasution, 2002).

Keempat landasan filosofis ini selanjutnya membawa perbedaan-perbedaan lainnya 
pada asumsi dan hal-hal yang bersifat teknis. Dari landasan tauhid misalnya, 
asumsi tentang manusia akan berbeda dengan asumsi ekonomi konvensional. Manusia 
dipandang sebagai makhluk yang pada kodratnya mempunyai kasih sayang, manusia 
akan merasa senang memberi bantuan kepada orang lain (altruisme). Karena itu 
kebijakan ekonomi dan teknis operasional lembaga ekonomi seharusnya merangsang 
orang untuk menumbuhkan fitrah kebaikannya itu. Konsep fitrah akan melahirkan 
contributive (ta'awun dan takaful) menggantikan sikap exploitative.

Tampak bahwa hal yang paling menjadi perhatian para ahli ekonomi Islam adalah 
pada dimensi filosofis dan nilai. Bertolak pada dimensi filosofis dan nilai 
Islam, mereka mencoba untuk merumuskan dimensi-dimensi teori dan teknis. Konsep 
kebutuhan dasar dan arah pembangunan misalnya, mereka rumuskan berdasarkan 
maqasid al-Syari'ah (tujuan-tujuan syari'at Islam) yang ditulis oleh 
al-Syathibi dan juga al-Ghazali dengan tetap meminjam instrumen pengukuran dan 
pengujian ilmu ekonomi konvensional. Demikan juga halnya dengan sistem moneter.

Karena itu, sudah waktunya seluruh komponen bangsa harus memiliki keyakinan 
yang kuat, bahwa persoalan sosial kemasyarakatan dan terutama persoalan ekonomi 
tidak bisa tidak harus berdasarkan pada kaidah-kaidah ajaran Islam. Hal ini 
sebagaimana firman-Nya dalam QS. Ar-Rum: 30: "Maka hadapkanlah wajahmu dengan 
lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan 
manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) 
agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." Wallahu A'lam bi 
ash-Shawab.


[Non-text portions of this message have been removed]



***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com **

Other related posts: