[nasional_list] [ppiindia] Corporatocracy

  • From: "Ambon" <sea@xxxxxxxxxx>
  • To: <"Undisclosed-Recipient:;"@freelists.org>
  • Date: Sun, 8 Jan 2006 13:14:11 +0100

** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com 
**http://www.sinarharapan.co.id/berita/0601/07/opi01.html


Corporatocracy  
Oleh
Imam Cahyono


Hakikatnya, politikus adalah profesi yang bijak. Pengusaha pun bukan pekerjaan 
nista. Negara tidak bisa melarang warganya menjadi politikus atau menghalangi 
orang menjadi pengusaha. Tapi, jika dua profesi itu dirangkap dalam satu 
tangan, bisa muncul konflik kepentingan. Lazimnya, pejabat politik bertugas 
membuat kebijakan bagi kepentingan publik, sementara pengusaha mencari laba. 

Kegiatan bisnis mengandalkan kompetisi yang adil, sedangkan kegiatan politik 
terkait bagaimana otoritas meregulasi kompetisi yang adil. Jika kedua profesi 
itu berselingkuh, bisa mengakibatkan penyalahgunaan wewenang. 

Bisnis dapat mengintervensi otoritas politik. Sebaliknya, otoritas politik bisa 
menjadi legitimasi pejabat untuk berbisnis. Lebih parah lagi jika pengusaha 
menjadi penguasa, yang terus berusaha sambil berkuasa. Peran rangkap ini, bisa 
merusak politik dan ekonomi. Diskursus relasi pengusaha dan penguasa sudah 
melekat lama dalam sejarah politik Indonesia. 

Kolusi antara bisnis dan politik telah menjadi sifat dasar dalam politik. 
Kekuasaan dan uang adalah dua naluri paling dasar politik. Uang dan kekuasaan 
adalah dorongan internal yang sulit dipisahkan dari pengusaha dan politikus. 
Mustahil mengimbau politikus jangan mencari keuntungan berupa uang. Juga sulit 
bagi pengusaha mengharamkan politik demi kepenti-ngannya. Benteng moral tak 
kuat menahan syahwat kekuasaan dan uang. 

Sejak awal, pemerintahan Yudhoyono didominasi pengusaha. Wapres Jusuf Kalla 
jelas pengusaha tulen. Kabinet Indonesia Bersatu dijuluki Kabinet Businessman, 
setidaknya dari 35 menteri, 13 di antaranya berlatarbelakang pengusaha. 
Dwifungsi politisi tak hanya di lingkungan eksekutif, tetapi juga parlemen. 
Menurut data ICW, sekitar 39,8 persen anggota DPR berlatarbelakang pengusaha. 
Belum lagi badan eksekutif dan legislatif di daerah mulai dari DPD, DPRD, 
Gubernur, wali kota dan bupati. Pilkada pun tak lepas dari intervensi bisnis, 
banyak calon terpilih dan yang gagal berasal dari dunia bisnis. 


"Checks and Balances" 
Mekanisme checks and balances bukan dari perimbangan kursi di parlemen dan 
kabinet, atau perimbangan legislatif dan eksekutif, melainkan terkait bagaimana 
kebijakan negara memberikan konsesi bisnis kepada anggota DPR. Atau menteri 
bisa kongkalikong dengan anggota DPR yang punya bisnis. Bukan rahasia praktik 
patgulipat sejumlah pejabat yang menggunakan kekuasaannya untuk kepentingan 
bisnis tumbuh subur selama pemerintahan SBY. 

Kekuasaan yang diraih melalui politik adalah kekuatan dahsyat. Uang yang diraih 
seorang pengusaha adalah logistik yang dahsyat pula. Dua kekuatan ini bila 
berada di satu tangan akan menjadi kekuatan digdaya. Ini juga mengundang 
oligarki ekonomi, penumpukan kekayaan pada satu kelompok tertentu. 

Pengalaman lalu telah mengajarkan betapa penumpukan kekayaan yang hanya milik 
segelintir kelompok dan golongan selama 30 tahun, telah menghancurkan bangsa 
ini. Dia akan mengeruk keuntungan bagi kepentingan diri sendiri dan sedikit 
orang, dari penderitaan dan pengorbanan banyak orang. Keadilan sosial hanya 
slogan. Ketimpangan terjadi di mana-mana. Kemajuan ekonomi hanya pertumbuhan 
semu yang ambruk begitu krisis ekonomi datang. 

Perselingkuhan pengusaha dan penguasa jika dikawinkan bakal melahirkan 
corporatocracy, pemerintahan pedagang. Jika roda kehidupan dunia tengah diambil 
alih dengan diam-diam oleh korporasi-korporasi global, kata sosiolog Inggris, 
Noreena Hertz, maka republik ini diam-diam tengah dikuasai kaum pedagang. 

Jika perusahaan raksasa yang menjadi penggerak ekonomi globalisasi menjadi 
kekuatan yang jauh lebih tangguh daripada negara, pedagang yang mendominasi 
pemerintahan SBY lebih berpengaruh ketimbang suara rakyat. 


"Res Publika" 
Indonesia pasca-Soeharto sedang menapaki proses konsolidasi demokrasi. 
Menyatunya entitas partai politik, birokrasi, civil society, dan pasar 
(pengusaha) - dalam perspektif teori konsolidasi Linz-, tentu berbahaya bagi 
proses konsolidasi demokrasi. Menyatunya market dan state jelas mengancam 
eksistensi civil society. 

Pengusaha akan berupaya terus mengembangkan ekspansi usaha demi kepentingannya. 
Ketika pengusaha itu menjadi pembuat regulasi, kepentingannya tentu akan 
menjadi faktor yang sangat menentukan. 

Corporatocracy tentunya menjadi preseden buruk bagi demokrasi. Pengaruh 
mekanisme dan hukum pasar sangat kental dalam policy yang diambil. Pemerintah 
tampak kehilangan empati terhadap kebijakan yang ditelurkan, seperti naiknya 
harga BBM yang sangat fantastis. Naluri dagang sebagai panglima sangat dominan, 
sehingga cenderung menindas dan mengorbankan rakyat. 
Masyarakat seharusnya mengontrol ketat dan membuat demarkasi yang jelas antara 
birokrasi dan pelaku ekonomi. Harus ada code of conduct soal pemisahan tegas 
antara pengusaha dan politik, antara jabatan publik dan penguasa ekonomi. Untuk 
menciptakan keadilan dan pemerataan. Oligarki ekonomi harus dicegah. 

Cicero, pujangga besar Romawi tahun 50 SM, dalam De Res Publika, mengingatkan 
pencarian kesejahteraan bersama adalah urusan masyarakat umum, kepentingan 
publik dan tanggung jawab seluruh komunitas warga. 

Res Publika atau kesejahteraan bersama adalah hal-hal yang menyangkut semua 
warga, tetapi warga bukanlah setiap kumpulan manusia yang asal dijadikan satu, 
melainkan perserikatan banyak orang yang membentuk sebuah masyarakat 
berdasarkan ikatannya pada keadilan dan saling berbagi keuntungan. 

Tapi, petuah Cicero nampak usang di era globalisasi. Para pedagang, dengan 
korporasinya, hanya memikirkan untung meski yang lain buntung. Ia hanya 
memikirkan laba meski yang lain menderita. n 

Penulis adalah Koordinator Riset al-Maun Institute, Jakarta
 

[Non-text portions of this message have been removed]



***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com **

Other related posts:

  • » [nasional_list] [ppiindia] Corporatocracy