[nasional_list] [ppiindia] Catatan Di Meja Nusa Dua & Café Bandar:Catatan Di Meja Nusa Dua & Café Bandar: TENTANG 'BANGSA KLIEN'DAN SOAL-SOAL LAINNYA -- 7. [Selesai].

  • From: "Kusni jean" <katingan@xxxxxxxxxxxxxxxx>
  • To: "kmnu2000" <kmnu2000@xxxxxxxxxxxxxxx>, <wanita-muslimah@xxxxxxxxxxxxxxx>, "ppiindia" <ppiindia@xxxxxxxxxxxxxxx>
  • Date: Tue, 24 Jan 2006 02:29:38 +0100

** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com **Catatan Di Meja Nusa Dua & Café Bandar:



TENTANG 'BANGSA KLIEN'DAN SOAL-SOAL LAINNYA. 


7.


4.3. Penyingkiran Antar Dan Di Kalangan Seniman:

Tentang masalah ini, Gola Gong, dalam artikelnya 'ODE KAMPUNG 2006: Temu 
Penyair se-kampung Nusantara"[lihat: http://halamanganjil. blogspot.com ] 
antara lain menulis sebagai berikut:

"Kubu-kubuan mencuat. Kubu barat, kubu timur. Kubu utara, kubu selatan. Siapa 
yang tak berkubu, maka tak mendapat giliran atau bagian. Kongres Dewan Kesenian 
Daerah di Papua yang merekomendasikan DKI (Dewan Kesenian Indonesia) diprotes 
oleh mereka juga. Ada pro dan kontra. Semua sepakat,  Ya, semoga pro dan kontra 
soal organisasi, terbawa juga dalam hal kekaryaan mereka. Ada karya kota, karya 
kampung, karya pinggiran, karya tengahan, karya atas, karya bawah, dan karya 
samping". 

Titik [point] penting yang ingin saya garisbawahi dari kutipan pendapat Gola 
Gong di atas yaitu "bahwa perbedaan pendapat adalah berkah. Keberagaman adalah 
bagian dari demokratisasi. Semoga juga dalam kekaryaan, mereka tidak memaksa 
yang lain untuk mengikuti satu ganre saja  , karena dalam kekaryaan juga 
terjadi keberagaman".  Semangat begini kukira sesuai dengan "ruh kampung" 
sebagaimana telah saya contohkan dan jelaskan di atas. Bahkan ingin saya 
tambahkan bahwa keragaman itu indah dan perbedaan pendapat memungkinkan kita 
melihat suatu hal-ikhwal dari berbagai segi sehingga mendekatkan kita pada 
kebenaran sementara atau relatif, betapa pun sementara atau 
relatifnya.Sedangkan ketunggalan atau penyeragaman mengandung bahaya. Mendorong 
dan mengembangkan keragaman ini berarti sekaligus mendorong laju berkembangnya 
kuantitas darimana kemudian muncul suatu kualitas baru yang kemudian 
memunculkan kuantitas baru lagi lalu melahirkan kualitas berikut.Yang saya 
khawatirkan ketika melihat keadaan Indonesia sekarang "ruh kampung" yang 
"religius" dipahami dan dipraktekkan  secara menyempit sehingga menjurus ke 
arah penunggalan atau penyeragaman yang mengandung bahaya. Sebenarnya apa yang 
dikatakan oleh Gola Gong bukanlah barang baru di negeri ini. Para pendiri 
Republik Indonesia ini sejak awal sudah melihat bahwa bangsa ini memang beragam 
karena itu di bawah lambang Garuda tercantum kata-kata 'bhinneka tunggal ika'. 
Yang terjadi, hanyalah kita sering melupakan hakekat ini ditopang oleh sistem 
sentralistik baik dalam politik dan sistem kenegaraan atau pun dalam sistem 
nilai seperti yang terjadi bias dalam merumuskan apa yang disebut kebudayaan 
nasional [lihat: UUD 1945].Lebih menonjol lagi dengan penetapan 'asas tunggal' 
serta penafsiran Pancasila yang lebih menitikberatkan pada sila pertamanya 
sehingga Pancasila menjelma menjadi alat penindas keragaman. 

Berdasarkan penerimaan Gola Gong sebagai salah seorang organisator "Pertemuan 
ODE KAMPUNG 2006: Temu Penyair se-kampung Nusantara" akan keragaman dan 
perbedaan, tentunya ia juga tidak lupa bersolidaritas pada seniman-seniman yang 
disingkirkan karena alasan politik dan bukan sebatas bicara tentang 
penyingkiran oleh adanya kubu-kubu sekarang di dunia kesenian. Kalau soal ini 
tidak disentuh barangkali bisa dikatakan keragaman demikian adalah keragaman 
tanggung, setengah-setengah atau malu-malu? Ataukah sudah tidak dianggap aktual 
dan kadaluwarsa sekalipun secara nyata masih tidak sedikit mereka yang 
disingkirkan karena diskriminasi politik. Atau barangkali soal ini soal politik 
dan bukan urusan seniman karena seni adalah seni dan tak ada kaitannya dengan 
politik? Hanya saja Gola Gong dalam artikelnya menyentuh soal korupsi,  
kemiskinan, kampung dan kota, kubu-kubu yang hakekatnya, kukira, tak lepas dari 
politik dan sikap politik. Keragaman seperti halnya pelarangan yang belum  
dicabut itu sendiri bukankah menyangkut soal politik? Politik kebudayaan! Soal 
ini saya angkat karena  pertemuan yang dirancang mengenakan nama "ODE KAMPUNG 
2006: Temu Penyair se-kampung Nusantara".'Nusantara' yang tentunya jadi milik 
bersama. Di mana 'ruh kampung'nya jika soal ini tidak disentuh dan hanya 
menyentuh dominasi lembaga ini dan itu serta hegemoni kota, khususnya Jakarta? 
Pertanyaan ini juga muncul setelah membaca tema-tema yang dibahas oleh 
Pertemuan yaitu: "1) Pembelajaran Sastra di Sekolah,2) Kontekstualisme Sastra 
Masih Perlukah?,3) Sastra Kanon dan Sastra Kampung, dan 4) Mencari sastra 
kampung yang mendunia". Barangkali bisa dikatakan sebatas tema-tema praktis 
yang jauh dari soal-soal strategi pembangunan kebudayaan Nusantara. Jika 
demikian, harapan strategis apa yang bisa digantungkan untuk Indonesia dari  
pertemuan begini kecuali lebih  mengakrabkan hubungan antar beberapa individu 
dan komunitas? 

Betapa pun demikian, pertemuan ini tetap berguna dalam usaha menjcari jalan 
keluar dari krisis sekarang. Keinginan inilah yang jelas kubara dari semangat 
Gola Gong. Semangat yang layak dinilai secara tersendiri. Berdasarkan semua 
siaran yang diedarkan di berbagai milis, sesuai dengan semangat tersebut, 
mengapa tidak kita 'berdiri di kampunghalaman memandang tanahair merangkul 
bumi'. Dengan berdiri di kampunghalaman, kita bisa berdialog dengan keragaman 
budaya tanahair dan dunia serta secara visi kita keluar dari kecupetan langit 
kampunghalaman tapi memasuki cakrawala luas bernama dunia.Kukira keadaan 
beginilah yang dirumuskan oleh Paul Ricoer bahwa kebudayaan itu majemuk dan 
kemanusiaan itu tunggal di mana terjabar sekaligus visi dan misi 
sastrawan.Sekedar pendapat seorang sahabat yang tidak lain pelajar awal 
sastra-seni.Selamat berdiskusi, Bung Gola Gong dkk. ***


Paris, Januari 2006.
JJ. Kusni

[Selesai]


Lampiran Acuan:

ODE KAMPUNG 2006: Temu Penyair se-kampung Nusantara
---------------------------------------------------
Gola Gong heri.hendrayana@xxxxxxx


Saya mendengar cerita tentang komunitas Mendut pimpinan Sutanto, pada sekitar 
1995 mengadakan hajat besar dengan tema refleksi emas negeri ini, yang saat itu 
berulangtahun ke-50. Para seniman dan budayawan di seantero negeri berdatangan 
ke Mendut, Yogyakarta. Mereka bertebaran di rumah-rumah penduduk. Untuk urusan 
MCK, mereka memanfaatkan sungai. Toto ST Radik yang hadir di perhelatan akbar 
itu mengenang, "Tidak perlu dana besar untuk pergi ke pesta seniman dan 
budayawan di Mendut.

Sutanto membuat denah kampung Mendut, dimana kami bisa menginap yang 
murah-meriah, makan alakadarnya, dan beli rokok." Tambah Toto, semua penyair 
diberi kesempatan berorasi, mengeluarkan uneg-uneg, bahkan sumpah serapahnya. 
Lalah-lahan terbuka di perkampungan dijadikan tempat berdiskusi dan berekspresi.

KOTA MODERN
Sepuluh tahun kemudian. Apa yang digemakan oleh para penyair di komunitas 
Mendut, terkikis zaman dan perubahan waktu. Kampung tak lagi jadi idaman. 
Kampung disimpan dalam toples kaca atau album foto.

Negeri ini tidak mengalami perubahan apa pun. Soeharto lengser, Habibi naik 
tidak merubah apa-apa. Gusur naik dan dilengserkan, giliran Megawati berkuasa, 
juga tidak merubah apa-apa. Kini SBY belum genap setahun, koruptor banyak yang 
terbongkar tapi uang tidak bisa kembali. 

Tumbalnya lagi-lagi rakyat. Harga-harga membumbung. BBM dinaikkan, agar si kaya 
mensubsidi si miskin. Semua dibebankan ke rakyat. Sementara para petinggi 
negara dan anggota dewan ongkang-ongkang kaki di restoran sambil mencari-cari 
slilit di antara gigi.

Semua orang di negeri ini - siapapun dia - terseret arus globalisasi; hedonis 
dan konsumtif. Revolusi fashion, food, dan film menghajar semua kalangan. Semua 
orang silau dengan yang berbau modernisasi. Kampung ditinggalkan. Kota jadi 
acuan. Pulau jadi loncatan, negeri seberang jadi harapan. Padahal orang-orang 
kampung yang menyerbu kota itu belum juga bisa meninggalkan budaya kampungnya. 
Di rumah-rumah yang sempit di perumahan menengah ataupun sederhana, mereka 
masih saja memelihara kambing, ayam, atau burung. Mereka bersembunyi dalam 
status sosial, bahwa burung atau ayam bukan untuk diternakkan, tapi sekedar 
dikoleksi untuk melepas kepenatan. Di ruang-ruang resepsi yang wah, mereka 
masih saja membuang abu rokok sembarangan dan menyisakan makan malam padahal di 
jalanan banyak yang kelaparan. Sementara orang-orang kampung miskin yang 
berjejalan di gang-gang kumuh, di kolong jembatan, mengotori sungai dan selokan 
dengan sampah atau air kencing mereka.

Ya, semua orang lupa pada kampung kelahiran mereka sendiri. Atau orang yang 
mengaku kota, juga mengabaikan saudara-saudara mereka di kampung. Mereka lebih 
suka belanja dengan merek palsu yang penting gaya dan seminar dengan bahasa 
yang aneh-aneh atau bersilaturahim di kota dengan tema intelektual, bahkan 
berkunjung ke luar negeri adalah maha segala. Segala macam kegiatan dirancang, 
untuk mengelabui saudara sendiri yang tersisa di kampung. Studi banding ke luar 
negeri. Kongres ini-itu. Semua kalangan jadi genit dan kebarat-baratan. Siapa 
yang tidak bersinggungan dengan liberalisme, maka dia bukan manusia.

PRO-KONTRA
Tidak terkecuali para seniman dan budayawan. Mereka tidak percaya satu sama 
lainnya, sehingga merasa perlu membuat organisasi untuk mengatur sesama teman 
sendiri dengan alasan agar bisa terkontrol dan saling mengontrol. Dewan-dewan 
dibentuk dan prilakunya jadi seperti anggota dewan sungguhan, karena selalu 
minta disubsidi. Ya tidak apa. Minta disubsidi, itu bukan sesuatu yang hina.

Tapi tiba-tiba saja...

Di media massa para seniman dan budayawan mencuri perhatian di tengah krisis 
multidimensi negeri ini. Kasus-kasus korupsi belum lagi terselesaikan, 
masyarakat yang tercekik kemiskinan di kampung disuguhkan fenomena seniman dan 
budayawan yang imejnya tidak mau diatur itu, kini ricuh sendiri. Saling usung 
poster dan rame-rame bikin konprensi pers.

Kubu-kubuan mencuat. Kubu barat, kubu timur. Kubu utara, kubu selatan. Siapa 
yang tak berkubu, maka tak mendapat giliran atau bagian. Kongres Dewan Kesenian 
Daerah di Papua yang merekomendasikan DKI (Dewan Kesenian Indonesia) diprotes 
oleh mereka juga. Ada pro dan kontra. Semua sepakat, bahwa perbedaan pendapat 
adalah berkah. Keberagaman adalah bagian dari demokratisasi. Semoga juga dalam 
kekaryaan, mereka tidak memaksa yang lain untuk mengikuti satu ganre saja, 
karena dalam kekaryaan juga terjadi keberagaman. Ya, semoga pro dan kontra soal 
organisasi, terbawa juga dalam hal kekaryaan mereka. Ada karya kota, karya 
kampung, karya pinggiran, karya tengahan, karya atas, karya bawah, dan karya 
samping.

Tapi Iman Soleh, raja monolog dari Bandung, yang pro DKI berpesan, "Sebaiknya 
seniman harus bersatu. Jika bersatu, tidak ada yang bisa mengalahkan!" Iman 
memang menginginkan seniman bersatu padu. Kini Kongres Kesenian Indonesia (KKI) 
2 yang baru saja usai akhir September lalu, merekomendasikan kerja kesenian 
harus disubsidi pemerintah lewat APBN atau APBD. Apakah itu berarti, jika 
seniman bersatu maka pemerintah akan mengongkosi kerja kesenian? Kalau tidak 
bersatu, apakah seniman bisa mensubsidi sendiri kegiatannya?

TEMA
Adalah Rumah Dunia, komunitas nirlaba di Komplek Hegar Alam 40, kampung Ciloang 
Serang, yang mencoba meneruskan semangat komunitas Mendut. Mencoba menembus 
batas. Mencoba membentuk kembali kebersamaan antara seniman dan masyarakat, 
yang jadi sumber inspirasi bagi karya-karyanya. Menjadikan kembali masyarakat 
yang tinggal di kampung sebagai saudara sekandung, yang sudah lama 
ditinggalkan, dengan cara menghapuskan lagi jarak.

Bukankah penyair juga adalah manusia?

Bermula dari obrolan santai antara saya, Toto ST Radik dan teman- teman 
sukarelawan di Rumah Dunia. Bermula dari harga beras yang menaik, karena Toto 
selain penyair, jurkam KB, juga juragan beras. Kemudian menukik ke peta 
kepenyairan di Banten, yang carut-marut.
Lalu diskusi menembus batas, lewat SMS dengan Gus tf Sakai di Payakumbuh, 
Chavcay Saefullah di Ciputat, Firman Venayaksa (PJ Program Rumah Dunia) yang 
sedang jadi pembicara di KKI 2, Wan Anwar di Serang dan Soni Farid Maulana di 
Bandung. Maka tercetuslah ide membuat kegiatan "Ode Kampung: Temu Seniman 
se-Kampung Nusantara", yang insya Allah akan digelar pada Februari 2006. Titik 
utamanya adalah pada para penyair.

Tapi, para pembicaranya bisa lintas seni; perupa, pemusik, pelakon....

Ini masih bisa didikusikan. Haya penamaan "Ode Kampung" adalah mengibaratkan 
kampung yang bersenandung sedih menunggu kematiannya. Tapi yang lebih penting 
sebagai stimulus bagi para pelajar dan mahasiswa di Banten. Juga bagi para 
penyair se-kampung nusantara yang selama ini terpinggirkan. Semangat yang 
diusung sejalan dengan Rumah Dunia; mencerdaskan dan membentuk generasi baru 
yang kritis serta mandiri. Yang siap memerangi kebatilan dengan pena.

Kegiatan Ode Kampung mengangkat tema besar "Sastra(wan) di tengah persoalan 
kampungnya". Atau "Seniman di tengah persoalan kampungya.

Beberapa topik diskusi akan digelar pada Sabtu dan Minggu. Topik-topik yang 
diusung adalah:
1) Pembelajaran Sastra di Sekolah,
2) Kontekstualisme Sastra Masih Perlukah?,
3) Sastra Kanon dan Sastra Kampung, dan
4) Mencari sastra kampung yang mendunia. 

Keempat topik diskusi itu akan digelar masing-masing dua sesi setiap harinya; 
Sabtu pagi dan siang, serta keesokan harinya, Minggu. Tapi, Ode Kampung tidak 
hanya diisi diskusi antar penyair saja. Pelajar, mahasiswa, guru, dosen, bahkan 
orang kampung boleh ikut. Juga ada pembacaan puisi dan proses kreatif para 
penyair, serta pelatihan puisi.

Para volunteer Rumah dunia sudah bersiap-siap menyebarkan undangan kepada para 
pelajar dan mahasiswa, serta guru bahasa dan sastra Indonesia di Banten.

"Ini anggap saja kegiatan klab diskusi atau kelas menulis Rumah Dunia, yang 
sudah rutin diadakan setiap Sabtu dan Minggu," kata Rimba Alangalang, PJ 
Sekretariat Rumah Dunia. Andi Suhud Sentra Utama, donatur tetap Rumah Dunia, 
siap mencetak poster sebanyak 500 eksemplar seusai lebaran untuk sosialisasi 
kegiatan.

Bahkan Gus tf Sakai lewat SMS menanggapi dengan serius, "Saya siap jadi pemandu 
pembelajaran puisi!"

Begitu pula Soni Farid Maulana, "Saya akan datang!"

Firman Venayaksa tidak tinggal diam. Firman menyebarkan informasi Ode Kampung 
dari mulut ke kuping di KKI 2. Hasilnya dia sampaikan lewat SMS, "Jamal D 
Rahman, Dyah Hadaning, Sihar Ramses, dan komunitas Mnemonic di Badung siap 
menyerbu Rumah Dunia!"

DANA PESERTA
Darimana datangnya dana? Apakah dari mata turun ke dompet? Sementara ini Rumah 
Dunia sudah menyiapkan dana awal sebesar Rp. 2 juta. Itu dari uang kas, hasil 
keuntungan "Gramedia Book Fair". Selebihnya, kami akan meminta dukungan dari 
Gramedia, Mizan, Gema Insani, Mujahid Press, Senayan badi, Akoer. Tidak akan 
banyak, paling sekitar Rp. 500 ribu saja. Konpensasi buat mereka adalah 
pemuatan logo di leaflet dan spanduk. Juga kami akan bergerilya secara 
perseorangan. Galang seratus ribu pasti akan moncer.

Uangnya untuk apa? Tentu bukan untuk kami. Uang itu nanti dipakai untuk 
konsumsi dan promosi/publikasi. Menyewa sound system dan tenda perlu, karena 
Februari pas musim hujan mencapai puncaknya. Juga untuk pembuatan antoloji 
puisi "Ode Kampung Nusantara".

Lantas siapa boleh ikut di kegiatan Ode Kampung? Siapa saja boleh ikut. Ini 
terbuka. Dari Banten dan luar Banten. Bahkan luar Jawa. Penyair pemula, penyair 
bukan pemula, pintu kami buka lebar-lebar. Silahkan datang. Hanya saja, perlu 
mengongkosi sendiri. Karena kegiatan Sabtu dan Minggu, berarti harus menginap 1 
atau dua malam.

Tentang penginapan, ternyata warga kampung Ciloang dan Komplek Hegar Alam 
menyambut gembira kegiatan Rumah Dunia. Mereka dengan suka cita siap menyewakan 
kamar-kamar di rumahnya.

"Pokoknya, kami akan mendukung setiap kegiatan Rumah Dunia," Ayubi, pengojek, 
mengomentari. Dia bercerita, saat "Gramedia Book Fair" Agustus 2005 lalu panen 
besar. Banyak penumpang hilir-mudik menyewa mootrnya.

Pak RT dan Pak RW kampung Ciloang serta Pak RT Komplek Hegar Alam seia sekata, 
menyambut baik kegiatan Ode Kampung. "Di rumah saya ada 3 kamar," Pak Mutholib, 
Ketua RW Ciloang bersemangat.

Juga Mang Romli, pengojek Ciloang, "Saya juga ada 3 kamar." "Di saya 2 kamar," 
Bik Piah, rumahnya yang bersebelahan dengan Rumah Dunia, nimbrung.
"Saya satu rumah," kata Pak Pendi, warga komplek Hegar Alam. "Saya sekeluarga 
ngungsi dulu ke orangtua."

Satu kamar bisa diisi rame-rame. Paling banyak 3 atau empat orang. Seorang kena 
ongkos menginap Rp. 25 ribu/malam. Jika Minggu malam masih betah, tambah 25 
ribu rupiah lagi. Konon, akan ada minuman teh atau kopi panas saat sarapan. 
Kalau makan, banyak warung nasi bertebaran. Ada nasi uduk, ketupat sayur, nasi 
pecel, mie ayam, dan jajanan kampung lainnya.
Jadi, siapkn untuk menabung dari sekarang.

PUISI-PEMBICARA
Tentu antoloji puisi tidak akan dilewatkan. Kepada semua yang berkeinginan 
mengikuti Ode Kampung, mengirimkan 5 puisi terbaiknya, yang bertemakan kampung 
halaman. Rumah Dunia akan bekreja keras dengan segala kekurangan, menyaring 
puisi untuk diikutkan di antoloji puisi "Ode Kampung Nusantara". Pada malam 
Minggu, mulai dari jam 19.30 hingga 22.00 ada pemutaran film, pertunjukan seni, 
dan peluncuran antoloji puisi.

Siapa saja boleh mementaskan karya seninya.

Hal lainnya adalah mendatangkan pembicara para penyair kampung dengan reputasi 
karya intenasional, diyakini akan memberi semangat baru bagi perkembangan 
kepenyairan di Banten khususnya dan Indonesia umumnya. Ini sangat penting. Kami 
sedang mengupayakan mendatangkan penyair lainnya seperti Isbedy (Lampung), 
Halim HD (Solo), Saut Situmorang (Yogya), Acep Zamzam Noor (Tasik), Alwy 
(Cirebon), dan Wayan Sunarta. Nama-nama itu sudah melanglan buana dari kota ke 
kota di Nusantara. Diharapkan kehadiran mereka bisa memberi wawasan bagi para 
penyair se-kampung nusantara.

Topik-topik diskusi Ode Kampung diusung mereka. Ini baru wacana dan akan terus 
didikusikan. Semoga rekan sesama penyair memberi masukan dan terus menggulirkan 
Ode Kampung ini. Semuanya tentu dengan harapan, mimpi, dan doa bersama.

Saya jadi teringat omongan Garin Nugroho, bahwa orang gunung (kampung) lebih 
peka dan lebih canggih menangkap fenomena seni dan budaya yang terjadi di 
sekelilingnya. Mereka dapat langsung merespon dan menggabungkannya dengan 
khazanah kesenian yang telah dimilikinya." Garin mencontohkan Ismanto, seniman 
dari komunitas Merapi, yang merespons kesenian modern dan memadukan dengan 
tradisional." Siapa tahu warga kampung Ciloang yang agamis, setelah mengikuti 
kegiatan Ode Kampung, melihat dan mnedengarkan para pnyair berdiskusi dan 
membacakan sajak-sajaknya, jadi terinspirasi membuat karya yang dinamis dan 
baru. 

Setidak-tidaknya akan suasana perubahan di sini.

Maka mari kita segerakan saja niat bersama ini!

Jangan tunda-tunda lagi!

Serang, 30 September 2005
Salam dari Rumah Dunia


Gola Gong
---------------------
Komplek Hegar Alam 40
Kampung Ciloang, Serang 42118
Tlp: 0254 - 202861
Email: rumahdunia@xxxxxxxxx
http://www.rumahdunia.net


----- Original Message ----- 
From: ayeye 
To: WM 
Sent: Monday, January 23, 2006 1:30 PM
Subject: [wanita-muslimah] Re: ATM Kondom, Perlukah? (resend)


Mas Sutiyoso, mungkin di Mc Donald's kita harus membayar lebih dulu, sedangkan 
di warung kita baru membayar sesudah selesai makan, karena ada perbedaan dalam 
sistim organisasi. Meskipun demikian, saya belum mengerti link antara perbedaan 
organisasi di rumah makan dan cara berdiskusi dengan saya. Tentunya Mas 
Sutiyoso bebas untuk mengucapkan maaf sebanyak-banyak yang dianggap perlu 
sebelum berdiskusi dengan saya :-)

Soal pengunaan istilah-istilah seperti "Barat","Selatan", "Timur" dan "Utara" 
guna mempermudah diskusi saya setuju saja selema kita ingat bahwa tujuan adalah 
untuk mempermudah dan tidak dianggap mutlak. Itu pragmatis saja supaya tidak 
selalu harus menulis tanggapan yang panjang seperti buku tebal untuk 
menjelaskan semua variasi :-)

Menolak benturan budaya bukan berarti otomatis menolak adanya perbedaan. Kalau 
saya pribadi mengakui dan bahkan bersyukur adanya perbedaan, baik di tingkat 
budaya, di tingkat individual, dst.

Mas Sutiyoso menganut salah satu keyakinan dan itu tidak perlu dipermasalahkan. 
Demikian juga apabila orang lain mempunyai keyakinan lain atau tidak mempunyai 
keyakinan sama sekali. Semua itu ada di "Timur", begitupun ada di "Barat". 
Perbedaan proporsi mungkin lebih besar di antara negara / bagian negara 
daripada di antara "Timur" dan "Barat". Maka dari situ, saya dari dulu menolak 
teori benturan ala "Timur" versus "Barat" setelah merasakan sendiri banyak 
perbedaan sebatas di Timur maupun sebatas di Barat, Utara, Selatan, dst.

Tentu Mas Sutiyoso boleh mengritik Darwin, Freud, Marx atau Nietsche. Cuma 
kalau Mas Sutiyoso bilang bahwa Nietsche misalnya mengangkat dirinya sebagai 
"Tuhan" kecil karena tidak percaya keberadaan Tuhan, itu kayanya tidak klop 
tuh, karena tidak ada keterikatan emosional antara seorang yang tidak percaya 
Tuhan dan Tuhan. Selanjutnya tidak ada keinginan untuk mengambil ahli kekuasaan 
ala Tuhan karena hal-hal seperti itu tidak pernah dipercayai.

Kemudian Mas Sutiyoso bilang bahwa insan-insan Timur pada takut kepada Tuhan 
dan takut melanggar aturan dari agama yang dianutnya, salah satunya adalah 
takut berzina karena takut dosa karena melanggar aturan agama atau kepercayaan 
yang dianut, takut kepada TUHAN, akibatnya insan-insan Timur ini jadi bereaksi 
terhadap akan adanya " ATM Kondom" ( yang sebenarnya sudah ada dibeberapa 
tempat di Indonesia ). Memang
sebagian adanya demikian, baik di Timur maupun di Barat. Tetapi seperti juga di 
Barat, di Timur pun ada perbedaan. Adapula masrakyat di Timur yang tidak takut 
berdosa atau tidak menganggapnya sebagai dosa dilihat dari perilakunya dan 
fakta di lapangan bisa diobservasikan. Maka strategi Kondom untuk golongan 
seperti itu. Sedangkan untuk golongan lain mungkin strategi A (Abstinence) dan 
B (Be faithfull). Tadi kita kan membahas perbedaan dan perbedaan ada 
dimana-mana, termasuk di Timur dan di Indonesia, suatu solusi terhadap HIV/AIDS 
akan semakin efektif apabila memiliki berbagai cara yang bisa mengakomodasikan 
situasi semua lapisan masrakyat. Dengan kata lain, apa yang dianut oleh Mas 
Sutiyoso mungkin representatip untuk sebagian masrakyat di Indonesia, tetapi 
tidak mewakili semuanya. Seandainya semua orang Indonesia sepert Mas Sutiyoso, 
tidak akan ada kasus HIV/AIDS, tidak akan ada korupsi dan tidak akan ada 
tindakan kriminal lainnya di Indonesia. Ya kan? Tetapi belum tentu juga, sebab 
apa yang diklaim orang belum tentu dijalankan sendiri. Ada juga yang lebih 
takut dari sanksi sosial masrakyat daripada takut dari Tuhan dalam masalah 
keyakinan :-)

Masalahnya, harus bisa mengakui perbedaan-perbedaan yang ada di Timur. Bukan 
hanya satu diakui dan yang lain-lain disembunyikan.

Oh ya, dalam kebutuhan dasar ala Maslow terdapat juga cinta dan seks.

Salam,
ayeye

****************

Yth.. Mas Ayeye,

Tadi malam anak-anak saya ngoyak-oyak / mengajak saya ke Mc Donald, tadi malem 
saya sibuk jadi baru hari ini saya bisa mengantar mereka ke MC. Donald.Saya 
jadi inget perbedaan sistim pembayaran di Mc Donald dan di Warong, kalau di Mc. 
Donald kita harus membayar dulu baru menyantap makanan yang kita pesan, kalau 
di "Warong" kita makan dulu baru setelah selesai makan lalu membayar makanan 
yang kita konsumsi.

Diskusi dengan Mas Ayeye, saya harus menerapkan ilmu diatas, yaitu saya harus 
sesering mungkin mengucapkan permintaan maaf sebelum diskusi :) , siapa tahu 
saya membuat hati Mas Ayeye gundah karena diskusi-diskusi yang kita lakukan.

Masalah " Benturan Budaya " tersebut mungkin, sekali lagi mungkin, sebagai 
"wacana" , saya bisa memikirkankannya, tapi sebagai realitas saya harus menolak 
keras adanya kemungkinan "Benturan Budaya " antara Barat dan Timur atau Antara 
Utara dan Selatan., saya harus menolak konsep benturan tersebut karena konsep 
hidup saya yang Universal dan Realitas "way of life" saya yang harus 
berperikemanusiaan. Sekali saya percaya dengan " Benturan Budaya" tersebut, 
berarti saya mengingkari "kesatuan eksistensi" yang saya yakini dan yang saya 
hayati Mungkin lebih tepat kalau saya menggunakan istilah "SALAH PAHAM 
BUDAYA",istilahnya cukup panjang tapi lebih manusiawi.

...And kalau boleh curhat, saya termasuk orang Islam yang berkesatuan 
eksistensi ( bahasa langit) serta mengamalkan faham percaya kepada kemampuan 
diri sendiri atau eksistensialisme ( bahasa bumi), jadi soal ada tidaknya 
benturan budaya, antara budaya Barat dan Timur tergantung kita, kita mau 
merealisasikan benturan itu atau kita menolak benturan itu, saya memutuskan 
untuk membuang jauh - jauh pemikiran dan keyakinan kemungkinan adanya benturan 
budaya Barat dan Timur itu, saya tidak percaya dan tidak meyakini adanya 
benturan itu dan saya dengan kemampuan yang saya punyai akan mencoba "urun" dan 
memberikan kontribusi untuk terciptanya perdamaian universal.

Saya menggunakan Barat, Timur, Utara dan Selatan insya Allah hanya untuk 
mempermudah diskusi, karena kalau kita kembali kepada konsep yang saya anut 
bahwa manusia itu " UMAT YANG SATU" dan Tuhan itu ada dimana-mana, maka konsep 
Barat, Timur, Utara dan Selatan sebenarnya tidak ada, 
tapi....kenyataannya...kalau kita baca Al Qur'an, Allah berfirman menciptakan 
manusia berbangsa-bangsa untuk saling mengenal dan belajar, oleh karena itu 
saya harus menghormati perbedaan ini, makanya saya mengatakan pada posting yang 
terdahulu bahwa " perbedaan" itu adalah rahmat, ilmu dan pencerahan.

Kadang-kadang saya berfikir, kalau manusia itu sama semua, homogen maksud saya, 
maka yang terjadi adalah " Korupsi" besar-besar-an yang mana justru akan 
menghancurkan eksistensi manusia itu sendiri secara keseluruhan.

Saya tidak bisa menyalahkan sepenuhnya kalau saudara-saudara saya di dunia 
barat banyak yang tepengaruh oleh pemikiran dari Pak Charles Darwin, Sigmund 
Freud, Karl Max ATAU Nietzsche yang pada intinya bapak-bapak tersebut kurang 
begitu menerima keberadaan Tuhan pencipta Alam semesta dan Mahluk hidup, Pak 
Sigmund Freud sendiri mengatakan GOD itu hanyalah "ilusi" beliau juga 
mengatakan bahwa AGAMA ADALAH REAKSI MANUSIA ATAS KETAKUTANNYA SENDIRI, 
otomotis beliau tentu saja juga secara tidak langsung mengatakan bahwa 
ajaran-ajaran yang dari tuhan itu juga cuma ilusi, dengan kata lain "intinya" 
beliau tidak mengenal "dosa" dan "pahala".

Karena GOD hanyalah ilusi maka para pengikut Pak Sigmund Freud menafsirkan 
ajaran Pak Freud bahwa manusia tidak perlu takut dengan GOD dan 
ajaran-ajarannya yang berujud " Agama ".Tadi setidak-tidaknya setelah kita 
membaca pendapat Pak Sigmund Freud kita akan mengetahui bahwa RASA TAKUT itu 
adalah ' nyata dan ada "

Kalau boleh mengritik Bapak-bapak tersebut diatas,dengan mengatakan bahwa GOD 
hanyalah ilusi, sebenarnya bapak-bapak tersebut sebenarnya percaya dengan " god 
" , yaitu percaya dengan "god" yang ujudnya manusia,yaitu diri mereka 
masing-masing. Nietzsche mengatakan GOD sudah mati,dengan kata lain dia 
mengangkat dirinya menjadi "god" kecil. Forget it.
Intermezooo..

Dilanjut....disinilah perbedaan antara insan-insan dari Barat dan Timur yang 
perlu didialogkan, kalau insan Timur ( tidak semuanya)biasanya percaya sekali 
dengan eksistensi dan keberadaan Tuhan mereka serta ajaran-ajarannya yang 
berujud Agama atau Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa atau percaya kepada 
Allah.

Perbedaan cara pandang antara insan Barat dan Timur ini begitu besar 
berpengaruh kepada cara berfikir dan bertingkah laku baik bagi insan Barat dan 
Timur..

Terlalu panjang ya Mas, ok, pointnya bahwa Tuhan dan ajaran atau firmannya itu 
adalah nyata dan eksis didalam mind, body, soul-nya insan Timur maka 
insan-insan Timur ini pada takut kepada Tuhan dan takut melanggar aturan dari 
agama yang dianutnya, salah satunya adalah takut berzina karena takut dosa 
karena melanggar aturan agama atau kepercayaan yang dianutnya, takut kepada 
TUHAN, akibatnya insan-insan timur ini jadi bereaksi terhadap akan adanya " ATM 
Kondom" ( yang sebenarnya sudah ada dibeberapa tempat di Indonesia )

Ijinkan saya mengingatkan Mas Ayeye tentang pandangan Abraham H Maslow tentang 
kebutuhan manusia, bahwa kebutuhan manusia selain makan dan minum adalah rasa 
aman dan kasih sayang.

Kombinasi pendapat Pak Sigmund Freud dan Abraham H Maslow yang mengakui 
nyatanya rasa takut ( kepada Tuhan ) dan rasa aman maka jadi kloplah jadi 
landasan insan timur untuk menolak kebebasan sex dalam bentuk ATM kondom yang 
ditujukan kepada para remaja.

Wassalam.




Paris, Januari 2006.
JJ. Kusni

[Bersambung...]


[Non-text portions of this message have been removed]



***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com **

Other related posts:

  • » [nasional_list] [ppiindia] Catatan Di Meja Nusa Dua & Café Bandar:Catatan Di Meja Nusa Dua & Café Bandar: TENTANG 'BANGSA KLIEN'DAN SOAL-SOAL LAINNYA -- 7. [Selesai].