** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List ** ** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: ** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ ** ** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral scholarship, kunjungi http://informasi-beasiswa.blogspot.com **Catatan Di Meja Nusa Dua & Café Bandar: TENTANG 'BANGSA KLIEN'DAN SOAL-SOAL LAINNYA. 6. Pada kesempatan ini saya tidak memasuki semua masalah konsepsional, baik yang diajukan siaran-siaran panitya, termasuk oleh Irfan. Saya hanya memilih soal-soal [1]. kampung versus kota; [2].guyup [ejaan Kamus Besar Bahasa Indonesia: 'guyub'] dan religius; [3].penyingkiran antar seniman. 4.2. Guyup Dan Religius: "Ruh Kampung" yang ingin dicoba dibangun dan di 'ode'kan oleh Pertemuan dengan 'solusi kekampungan'nya adalah semangat "kebersamaan dan kegotongroyongan. Ringan sama dijinjing, berat sama dipikul. Mencoba membentuk kembali kebersamaan antara seniman dan masyarakat, yang jadi sumber inspirasi bagi karya-karyanya.Menjadikan kembali masyarakat yang tinggal di kampung sebagai saudara sekandung, yang sudah lama ditinggalkan, dengan cara menghapuskan lagi jarak". Dengan singkat membangun kembali semangat 'guyup', semangat gotongroyong, atau jika menggunakan ungkapan-ungkapan Dayak: semangat 'rumah betang'[rumah panjang], habaring hurung, handep.Semangat 'kampung' atau 'rumah betang' ini dimaksudkan tidak lain daripada untuk memanusiawikan manusia dan menjadikan bumi atau kampunghalaman sebagai tempat hidup manusiawi anak manusia. Dalam konsep etnik Dayak dituangkan sebagai 'rengan tingang nyanak jata' [anak enggang putera-puteri naga].Hanya saja semangat ini sejalan dengan perobahan perkembangan 'struktur dasar [basic structure],terutama cara produksi [mode of production],"ruh kampung' sebagai hubungan produksi [relation of production] bagian dari bangunan atas [super structure], mengalami kemunduran. Cara produksi baru telah mengobrak-abrik hubungan produksi lama termasuk 'ruh kampung'. Di hadapan keadaan ini maka dalam skala dunia dicoba dibangun yang disebut 'tata ekonomi bersolidaritas' berdasarkan pemberdayaan agar rakyat menjadi aktor sendiri dari pembangunan, globalisasi kapitalis dihadapi oleh jalan Porto Allegre yang disebut 'Alter Mondial' yang antara lain bersemboyankan 'dunia tidak untuk dijual', 'l'autre monde est possible' [dunia lain adalah mungkin). Sesuai dengan semangat ini maka di Kalimantan, terutama di Kalbar dan Kalteng, sedang serta terus digalakkan pengembangan yang disebut Credit Union [CU] sebagai alternatif berbasiskan budaya betang yang nampaknya mulai jadi janin gerakan. Janin gerakan ini bekerja dengan menggunakan sistem jaringan berdasarkan semangat 'rumah betang', lamin atau 'ruh kampung' atau 'guyup' ['guyub', menurut cara eja Kamus Besar Bahasa Indonesia], jika menggunakan istilah Rumah Dunia. Apakah Pertemuan ODE KAMPUNG RUMAH DUNIA berada di jalur pemberdayaan masyarakat dan pengembangan serta penguatan sistem kerja jaringan untuk membangun 'Alter Mondial'berangkat dari kampunghalaman bernama Republik Indonesia setelah melihat bahwa 'ruh kampung' tergeletak di tengah laju perkembangan keadaan? Barangkali terlalu awal menjawab pertanyaan ini sekarang sekalipun bayangan mimpi demikian memang nampak di tengah rumusan simpang-siur yang tak tertata dan tak terumus cermat. Yang bisa menjawab pasti pertanyaan ini adalah waktu yang akan memperlihatkan hasil dan pelaksanan hasil pertemuan serta yang di 'ode'kan. Yang pasti untuk Republik dan Indonesia, sebagai rangkaian nilai, kukira, sektarianisme hanya berakhir di jalan buntu dan petaka dari mana pun datangnya dan oleh siapapun ia dilakukan. Saya tidak menyangkal bahwa di negeri ini, di kebudayaan negeri ini, ciri religiusitas memang masih menonjol. Inipun agaknya dilihat oleh Bung Karno sehingga dalam Pancasilanya ia menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama. Hanya jika mengamati apa yang ada di Kalteng, kongretnya di Kasongan, Kabupaten Katingan, adanya ciri religiusitas [terutama sebelum Orba], ciri religiusitas tidak menempatkan toleransi pada ruang sempit dengan jendela dan pintu tertutup rapat. Budaya Kaharingan yang berdominasi tidak menekan penganut-penganut agama Islam atau Kristen Protestan.Kuburan orang Kaharingan, Islam dan Protestan Evangelis berada di satu kompleks tanpa pemilihan bahwa daerah ini atau daerah itu untuk orang-orang dari agama ini atau itu. Patahu [tempat persembahan orang berbudaya Kaharingan] dan betang berada damping-dampingan dengan mesjid dan gereja. Konflik memang pernah terjadi pada waktu perlawanan menghalau kolonialisme Belanda tapi tidak karena perbedaan agama melainkan karena sikap terhadap penjajah. Agama bagi penduduk Kasongan, Katingan, dipandang sebagai pilihan masing-masing sehingga tidak sedikit di dalam satu keluarga terdapat yang beragama Islam, Protestan dan berbudaya Kaharingan. Pada tahun 2001 pernah agama diperpolitisasi untuk kepentingan elite politik [tentu oleh pihak yang terkait] tapi usaha ini gagal total. Untuk tradisi toleransi dan sikap menghadapi perbedaan dan hidup berbeda begini masih bisa bertahan sampai sekarang sekali pun dalam pemilu ini dan itu, terutama untuk jabatan-jabatan kunci, soal agama diperpolitisir hingga menimbulkan ketegangan. Dari sini saya melihat bahwa bukan perbedaan yang menjadi dasar konflik dan keresahan sosial tapi diperpolitisirnya perbedaan. Kukira seorang sastrawan dan seniman selayaknya bisa tajam dan bisa jelas melihat permasalahan jika memang ingin menyatu dengan masyarakat serta menjaga 'ruh kampung' demi memanusiawikan manusia, kehidupan dan masyarakat, bukan turut menumpahkan darah saudara sendiri atau bukan dan menjadi penyulut konflik dan keresahan sosial secara tidak perlu dengan keangkuhan mayoritas dan absolutisme baik langsung atau pun tidak langsung. Religiusitas apakah suatu kemestian menganut suatu agama tertentu? Dari praktek dan keadaan yang saya lihat di Kasongan, Katingan, saya melihat bahwa religiusitas [dalam hal ini saya tidak sepakat dengan rumusan Kamus Besar Bahasa Indonesia], adalah ruang besar di mana segala agama, keyakin, kepercayaan dan aliran mempunyai tempat yang layak. Religiusitas adalah tidak lain dari rangkaian nilai republiken dan Indonesia juga adanya. Pembatasan religiusitas pada 'anutan sesuatu agama saja' seperti rumusan Kamus Besar Bahasa Indonesia yang tidak kurang dari kelemahan [hlm.739] kukira bertentangan dengan kenyataan kebudayaan bahkan kehidupan di negeri ini. Pembatasan begini hanyalah satu penafsiran.Saya lebih dekat pada pendapat Djohan Effendi yang memandang bahwa tidak percaya pada Tuhan pun punya tempat di negeri ini, dan keyakinan atau pandangan begini pun punya tempat dalam republik dan Indonesia yang bhinneka tunggal ika. Bahwa benar yang percaya pada agama dengan sistem ke Tuhanannya dan rangkaian upacaranya, merupakan mayoritas, tapi Republik dan Indonesia tidak melenyapkan hak hidup minoritas. Saya menolak kesewenang-wenangan mayoritas yang tentu saja bertentangan dengan 'ruh kampung' dan apakah juga sesuai dengan nilai ke Tuhanan serta monotheisme atau pun polytheisme? Dalam konteks sekarang, saya mengkhawatirkan monotheisme dijadikan alat penindas. Di sejarah Dayak Kalteng saya melihat kongkret bentuk monotheisme jadi kawan seiring kolonialisme dalam menghancurkan budaya lokal dan menduduki daerah, misalnya dengan 'teori ragi usang', 'teori pengosongan gelas' dan atau 'mission sacrée' serta penyebutan Dayak sebagai etnik primitif. Di Amerika Latin, ia sangat berdarah terhadap Amerindian.Praktek penindasan oleh mayoritas adalah bertentangan dengan konsep 'cinta' dan 'ruh kampung' yang disebut-sebut oleh siaran Rumah Dunia. Entah kalau konsep 'cinta' dimaknakan dengan hak melikwidasi minoritas dan yang berbeda. Tokoh Yesus, dalam hal ini adalah ujud dari teori dan praktek 'cinta' yang konsekwen sampai untuk 'cinta'nya, ia sanggup mati di salib Golgotha. Bertolak dari pandangan di atas, kiranya konsep 'guyup dan religius' yang digunakan oleh Rumah Dunia dalam menyelenggarakan Pertemuan ODE KAMPUNG RUMAH DUNIA masih perlu penjelasan lebih lanjut. Apakah 'guyup dan religius" sama dengan dominasi mayoritas dan mengabaikan hak hidup minoritas, perbedaan dan mereka yang masih disingkirkan secara terbuka? Ataukah 'solusi kampung' yang di 'ode'kan hanyalah bentuk baru dari 'mission sacréé' terselubung? Pertanyaan-pertanyaan ini erat hubungannya dengan masalah berikutnya yaitu penyingkiran antar dan di kalangan seniman. Paris, Januari 2006. JJ. Kusni [Bersambung...] [Non-text portions of this message have been removed] *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://groups.yahoo.com/group/ppiindia *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx 5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx 6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/ ** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List ** ** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: ** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ ** ** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral scholarship, kunjungi http://informasi-beasiswa.blogspot.com **