** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List ** ** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: ** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ ** ** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral scholarship, kunjungi http://informasi-beasiswa.blogspot.com **Catatan Di Meja Nusa Dua & Café Bandar: TENTANG 'BANGSA KLIEN'DAN SOAL-SOAL LAINNYA. 5. Pada kesempatan ini saya tidak memasuki semua masalah konsepsional, baik yang diajukan siaran-siaran panitya, termasuk oleh Irfan. Saya hanya memilih soal-soal [1]. kampung versus kota; [2].guyup dan religius; [3].penyingkiran antar seniman. 4.1. Kampung Vs. Kota: Sekali pun demikian, bahan-bahan di atas saya rasakan masih terlalu tidak padan untuk menjelaskan apa yang dimaksudkan dengan 'solusi kekampungan' ['back to village'-- varian dari semboyan 'back to nature [?] istilah lain yang digunakan oleh Gola Gong dalam salah satu postingnya] sebagai jalan keluar dari permasalahan sastra-seni negeri ini. Apalagi jika mau dijadikan suatu usulan orientasi. Saya menangkap inti permasalahan yang diajukan adalah : Mau ke mana sastra-seni kita? Quo Vadis sastra-seni Indonesia? Barangkali pertanyaan inilah yang menjadi hakekat permasalahan jika ia mau didiskusikan dan dicari bersama jawabannya. Ketidaklengkapan uraian mengenai 'solusi kekampungan'ini menjadi makin terasa pada saya ketika membaca tema yang akan dibahas oleh pertemuan ODE KAMPUNG RUMAH DUNIA, berjudul "Mencari Sastra Kampung yang Mendunia".ditambah oleh kritik pada 'kota jadi acuan', pada yang disebut 'kebarat-baratan", pada 'ideologi impor' dan pada yang disebut [tanpa penjelasan) 'Revolusi fashion, food, dan film..' serta secara tersirat mengkritik konsep sastra-seni kepulauan seperti yang terdapat pada kata-kata berikut:"Pulau jadi loncatan, negeri seberang jadi harapan". Membaca semuanya ini terkesan pada saya adanya kesimpang-siuran dan ketidakselesaian dalam pikiran penggagas atau sementara calon pembahas [sekali lagi atas dasar bahan sangat terbatas yang saya dapatkan].Saya pun tidak mendapatkan dengan apa yang dimaksudkan 'solusi kekampungan'. Apakah kampung sama dengan masyarakat yang dipandang sudah berjarak dengan seniman, padahal menjadi "yang jadi sumber inspirasi bagi karya-karyanya". Tapi agaknya pengertian kampung bukanlah dalam pengertian masyarakat karena penggagas mengkritik 'kota jadi acuan'.Pluralisme pun diembel-embeli dengan kritik pada 'ideologi import', kebarat-bqaratan dan 'Revolusi fashion, food, dan film..'. Dari kritik-kritik ini saya melihat pengertian 'kampung' yang diterjemah sebagai 'village' benar-benar kampung atau desa baik dalam arti geografis dan entitas tatanan sosial sebagai lawan dari kata kota, sehingga 'back to village', 'solusi kekampungan' berarti 'kembali ke pedalaman', berpangkal di pedalaman mirip ide Mao Zedong tentang 'dari desa mengepung kota' . Hanya ini diterapkan dalam bidang kebudayaan. Saya khawatir perumusan atau alur pikiran begini -- dilengkapi dengan kritik-kritik pada macam-macam soal di atas -- kita diajak untuk mengucilkan diri sambil berkata tentang 'kampung yang mendunia'. Dalam konteks sekarang, dan apabila kita lihat sejarah sastra-seni dunia atau kebudayaan dunia, adakah yang berkembang pesat dengan pengucilan diri dan sektarisme? Perancis pada masa Jacques Toubon menjadi menteri kebudayaan Chirac, pernah melakukan larangan penggunaan istilah-istilah asing , terutama dari bahasa Inggris sehingga oleh dunia internasional ia diejek dengan mengatakan 'tout est bon' [semaunya baik]. Politik bahasa Toubon yang bersifat sektaris, sovinis dan pengucilan diri ini akhirnya mengalami kegagalan total.Akhirnya politik Toubon ini dirombak total oleh Lionel Jospin ketika menjadi menteri pendidikan. Pengucilan diri, apalagi pada zaman sekarang dengan tingkat laju cepat kemajuan tekhnologi, sudah menjadi politik yang tidak tepat dan tidak tanggap. Mao Zedong pada masa ia mengajukan ide 'dari desa mengepung kota' pun, tidak meninggalkan kota. Ia justru sangat memperhitungkan posisi dan peran kota. Ambil contoh Shanghai. Orang-orang Mao Zedong dalam dunia sastra-seni sangat aktif di kota Shanghai [Lihat: Karya-karya Lu Sin, terutama esai-esai dan polemiknya]. Kalau kita berbicara tentang masyarakat, saya kira, kita tidak bisa mengabaikan kota. Suka atau tidak suka, kota mempunyai pengaruh sangat penting, kalau bukan menentukan, bagi perkembangan masyarakat dan bangsa. Mao Zedong dengan ide 'intelektual masuk desa' antara lain dengan Sekolah Tujuh Mei, dokter kaki telanjang [barefoot doctors], dan langkah-langkah praktis lainnya, memang bermaksud mengurangi perbedaan kota dan desa. Politik ini kemudian dikoreksi.Barangkali kegagalan politik Mao ini disebabkan karena terlalu jauh mendahului syarat-syarat obyektif. Rumah Dunia sendiri walau pun terletak di desa apakah sangat jauh dan sangat sulit untuk ke kota-kota bahkan ke Jakarta? Beda dengan orang-orang yang tinggal di hulu-hulu sungai atau di kaki Bukit Raya Kalimantan Tengah misalnya yang untuk ke Palangka Raya saja memerlukan waktu berhari-hari menggunakan klotok dan perahu melintasi riam. Yang sanggup tinggal berdasawarsa sampai sekarang di daerah-daerah terpencil begini justru orang-orang Zending Swiss. Melalui orang-orang yang membangun sekolah, pertanian, balai-balai kesehatan, hubungan pedalaman dengan dunia luar relatif terbuka. Artinya pengucilan diri bukanlah jalan kemajuan. Sekali lagi, yang ingin saya katakan memperhatikan desa tidak berarti dan mengapa mesti mengkritik kota? Apa-bagaimana pertimbangan alasan teoritis, praktis dan sejarah dari usulan dan ide ini? Masyarakat adalah suatu totalitas, mencakup kota dan desa. Bahwa sekarang sastrawan-seniman banyak dan umumnya berpusat di kota, jauh dari masyarakat banyak, saya kira, masalahnya tidak bisa dijawab dengan 'back to village' tapi lebih terletak pada wawasan sang seniman. Barangkali di sini gerakan turun ke bawah [turba] yang dilakukan oleh Lekra pada masa hidupnya dulu merupakan salah satu jawaban yang bisa dijadikan acuan.Lekra, selain membangun sanggar-sanggar di pedesaan dan di pantai-pantai, juga menggalakkan agar para seniman yang tinggal di kota melakukan turba secara teratur. Tidak ada seruan untuk meninggalkan kota dan mengkritik kota dengan kata-kata setandas 'back to village'. 'Back to village' kukira berbeda dengan turba. Tidak penolakan pukulrata pada hal-hal dari luar. Yang dikritik adalah apa yang disebut 'kebudayaan imperialis' dan feodal sejalan dengan politik Bung Karno tentang 'kebudayaan yang berkepribadian nasional', nilai-nilai republiken, keindonesiaan [baca: bhinneka tunggal ika!]. Sastra-seni etnik atau daerah didorong perkembangannya. Dari segi kebudayaan ini, kukira, tidak lain dari ujud nyata desentralisasi kebudayaan dan desentralisasi nilai, berbeda dengan sentralisasi nilai seperti yang dilakukan oleh 'asas tunggal'yang dikawal dengan segala perangkat fisik dan psikhis. Desentralisasi pusat-pusat budaya adalah cara melawan sentralisasi dan dominasi nilai.Inilah yang kukira yang ingin dicapai oleh sastra-seni kepulauan.Bagaimana melaksanakan ide ini patut dibicarakan lebih rinci. Hanya saja saya melihat ia sudah dilakukan dengan tumbuhnya komunitas-komunitas sastra-seni berbagai daerah dan pulau sekarang ini. Apakah sastra-seni kepulauan sama dengan atau berhakekatkan 'back to village' dan meninggalkan kota? Saya kira tidak demikian. Kota dengan syarat-syarat fisiknya tetap punya peranan bagi perkembangan daerah. Untuk mencapai desa-desa diperlukan suatu politik pemberdayaan dan pembangunan tertentu yang tanggap serta apresiatif yang kunamakan 'pemberdayaan dan pembangunan dari pinggir' [lihat: JJ.Kusni, 'Negara Etnik. Gagasan Pemberdayaan dan Pembangunan Etnik Dayak', Fuspad, Yogyakarta,2001]. Suatu soal bersegi banyak tapi kukira faktor kekuasaan politik di sini banyak berperan sedangkan dari seniman terpulang pada sikap para seniman itu sendiri [Barangkali di sini diperlukan peta pola pikir dan sikap para sastrawan-seniman kita kekinian agar kita tahu keadaan dunia sastra-seni kita yang sebenarnya sehingga kita bisa melihat bagaimana bisa melangkah bersama untuk Republik dan Indonesia -- kalau nilai republiken dan keindonesiaan masih dirasakan suatu perekat bersama, serangkaian nilai yang diabaikan selama ini. Melalui pemetaan ini kita akan bisa melihat juga pandangan, pendirian, sikap tanggungjawab manusiawi para sastrawan-seniman kita secara nyata.Mengapa tidak Pertemuan ODE KAMPUNG RUMAH DUNIA melakukan pemetaan ini sebagai ujud dari sifat 'kekampungan' yang 'guyup'?]. Paris, Januari 2006. JJ. Kusni [Bersambung...] [Non-text portions of this message have been removed] *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://groups.yahoo.com/group/ppiindia *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx 5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx 6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/ ** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List ** ** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: ** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ ** ** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral scholarship, kunjungi http://informasi-beasiswa.blogspot.com **