[nasional_list] [ppiindia] Catatan Di Meja Nusa Dua & Café Bandar: TENTANG 'BANGSA KLIEN' DAN SOAL-SOAL LAINNYA -- 4

  • From: "Kusni jean" <katingan@xxxxxxxxxxxxxxxx>
  • To: "kmnu2000" <kmnu2000@xxxxxxxxxxxxxxx>, <wanita-muslimah@xxxxxxxxxxxxxxx>, "ppiindia" <ppiindia@xxxxxxxxxxxxxxx>
  • Date: Sat, 21 Jan 2006 05:16:56 +0100

** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com **Catatan Di Meja Nusa Dua & Café Bandar:

TENTANG 'BANGSA KLIEN'DAN SOAL-SOAL LAINNYA. 


4.

Tanggal 18 Januari 2006, Gola Gong, Ketua Umum  Komunitas Rumah Dunia, Banten, 
menyiar ulang potongan tulisan Moch. Irfan Hidayatullah, dosen di Fakultas 
Bahasa dan Sastra Indonesia [universitas mana? --JJK], Ketua Forum Lingkar 
Pena, berikut ini:


"TENTANG HULU, TENTANG HILIR 
SAAT SASTRAWAN BERKESADARAN RUANG



Oleh Moch. Irfan Hidayatullah





Pada kesadaran ruang tersebutlah tidak akan ada pemaksaan ideologis  lewat 
sebuah ideologi impor seperti yang dilakukan oleh sastrawan mutakhir yang 
pandai sekali berhujjah lewat ideologi Derrida, Foucoult, Simone de Buvoir, 
Helen Cixous, dan lain-lain karena sastrawan akan mempertimbangkan sisi 
konteks. Jadi, Bila pun harus ada jalan keluar atas krisis di kebudayaan negeri 
sendiri yang harus dilakukan adalah proses dialektika dan atau eksotopi (lihat 
Mohamad, 2002:6) terhadap ideologi impor. Setelah itu, ditawarkan 
solusi-solusi, pengkritisan-pengkritisan, refleksi-refleksi lewat mata pisau 
karya sastra yang tetap tak tercerabut dari etika lokal.



Dari sinilah akan ditemukan semangat berkreasi untuk bersastra dan produktif 
dalam menelurkan gagasan-gagasan asli yang tidak saja berarti bagi 
masyarakatnya tetapi juga mencerdaskan sastrawannya. Dengan ini, kita tidak 
terus menerus memiliki predikat sebagai bangsa klien (meminjam istilah 
Kuntowijoyo). Bangsa yang dijadikan ujung tombak bagi pemikiran dan kepentingan 
"global" yang sama sekali jauh dari keberartian masyarakatnya. Mungkin sudah 
saatnya kita bertitik tolak dari "kekampungan" kita yang memiliki jiwa guyub 
dan religius". 


[Sumber:  Heri Hendrayana H (Gola Gong) 
To: koran-sastra@xxxxxxxxxxxxxxx ; captangan@xxxxxxxxxxxxxxx 
Sent: Wednesday, January 18, 2006 4:47 AM
Subject: [koran-sastra] Relijius vs seksi]


Saya merasa menyesal karena hanya mendapatkan penggalan artikel ini dan tidak 
berhasil memperoleh teks yang utuh artikel di atas. Apalagi  potongan artikel 
itu saja sudah menghadirkan serangkaian pertanyaan menarik dan menggelitik 
pemikiran konsepsional, saya antara lain tentang soal [1].'bangsa klien', 
[2].'pemaksaan ideologis dan ideologi import', [3].'krisis di kebudayaan negeri 
sendiri', [4].solusi 'kekampungan' yang memiliki jiwa guyub dan relijius'. 
Agaknya soal-soal inilah yang antara lain yang akan didiskusikan dalam 
pertemuan  ODE KAMPUNG RUMAH DUNIA, 3, 4 dan 5 Februari 2006 yang akan 
diselenggarakan di Komunitas Rumah Dunia, Banten.Pertemuan budaya yang menarik, 
baik dari segi tema, premis evaluasi, tawaran solusi, mau pun dari segi 
pengorganisasian. Dari segi yang terakhir ini, pertemuan Ode Kampung seperti 
yang juga telah dilangsungkan di Batu, Jawa Timur baru-baru ini, muncul dari 
bawah, dari kalangan komunitas sastra-seni dan bukan dari pemerintah seperti 
halnya dengan konfrensi atau kongres-kongres nasional kebudayaan yang kurang 
meninggalkan tanda apa pun seusai konfrensi atau kongres.

[4]. 'Solusi Kekampungan':

Pertanyaan berikut yang diajukan oleh Moch. Irfan Hidayatullah, apakah jalan 
keluar dari 'krisis di kebudayaan negeri sendiri'. Moch. Irfan Hidayatullah 
menawarkan jalan keluar sebagai berikut:

"Mungkin sudah saatnya kita bertitik tolak dari "kekampungan" kita yang 
memiliki jiwa guyub dan religius".

Agaknya tema inilah yang diangkat oleh Rumah Dunia pimpinan Gola Gong dalam 
pertemuan budaya yang sedang mereka siapkan, masalah yang barangkali layak kita 
pikirkan bersama jalan keluarnya, karena negeri ini bukan monopoli siapa pun 
tapi negeri kita  bersama, betang bersama kita, jika menggunakan ungkapan orang 
Dayak. Benarkah dan bisakah Indonesia menjadi 'betang' semua manusia Indonesia? 
Ataukah ini suatu harapan dan pertanyaan dungu? 

Sejauh ini apa yang disumbangkan oleh sastra-seni kita dalam bidang ini?
        
Saya mencoba mengumpulkan bahan-bahan yang disiarkan oleh Komunitas Rumah Dunia 
sebagai penyelenggara pertemuan ODE KAMPUNG RUMAH DUNIA, yang akan dilangsung 
pada pada  3, 4 dan 5 Februari 2006, guna mendapatkan gambaran apa yang 
dimaksudkan sebagai 'solusi kekampungan', tema yang akan dibahas secara khusus 
oleh  Chavcay Syaifulah [sastrawan filsuf jebolan STF Driyakara Jakarta] 
bersama Ahmadun Yosi Herfanda akan membahasnya di bawah judul "Mencari Sastra 
Kampung yang Mendunia".

Dari bahan-bahan terbatas yang saya bisa dapatkan beberapa penjelasan antara 
lain sebagai berikut:

"Kami dari Rumah Dunia menundang rekan-rkan unutk menghadirui kehiatan 
silaturahim, yang misinya adalah brebagi ilmu, cinta, dan rasa antara sesama 
sastrawan dan sesama masyarakat kampung. 


Rekan, semua orang di negeri ini - siapapun dia - terseret arus globalisasi; 
hedonis dan konsumtif. Revolusi fashion, food, dan film menghajar semua 
kalangan. Semua orang silau dengan yang berbau modernisasi. Kampung 
ditinggalkan. Kota jadi acuan. Pulau jadi loncatan, negeri seberang jadi 
harapan.  Ya, semua orang lupa pada kampung kelahiran mereka sendiri. Segala 
macam kegiatan dirancang, untuk mengelabui saudara sendiri yang tersisa di 
kampung. Studi banding ke luar negeri. Kongres ini-itu. Semua kalangan jadi 
genit dan kebarat-baratan. Siapa yang tidak bersinggungan dengan liberalisme, 
maka dia bukan manusia. Tidak terkecuali para seniman dan budayawan. Mereka 
tidak percaya satu sama lainnya, sehingga merasa perlu membuat organisasi untuk 
mengatur sesama teman sendiri dengan alasan agar bisa terkontrol dan saling 
mengontrol. Dewan-dewan dibentuk dan prilakunya jadi seperti anggota dewan 
sungguhan. Kubu-kubuan mencuat. Kubu barat, kubu timur. Kubu utara, kubu 
selatan. Siapa yang tak berkubu, maka tak mendapat giliran atau bagian" [Lihat: 
'Undangan Ode Kampung-temu sastrawan sekampung nusantara',  milis 
koran-sastra@xxxxxxxxxxxxxxx, 05  Oktober 2005]. 


Dalam 'Undangan' itu juga selanjutnya dijelaskan:

"2. NAMA HAJATAN. Adalah Rumah Dunia, komunitas nirlaba...., yang mencoba 
menghidupkan lagi ruh kampung; kebersamaan dan kegotongroyongan. Ringan sama 
dijinjing, berat sama dipikul. Mencoba  membentuk kembali kebersamaan antara 
seniman dan masyarakat, yang jadi sumber inspirasi bagi 
karya-karyanya.Menjadikan kembali masyarakat yang tinggal di kampung sebagai 
saudara sekandung, yang sudah lama ditinggalkan, dengan cara menghapuskan lagi 
jarak. Bukankah penyair juga adalah manusia? Maka tercetuslah ide kegiatan:"Ode 
Kampung: Temu Sastrawan se-Kampung Nusantara". Penamaan ini adalah 
mengibaratkan kampung yang bersenandung sedih menunggu kematiannya".[ibid].

Pada 18  Januari 2006 di berbagai milis,  Gola Gong menyiarkan penggalan 
tulisan Chavchay Saefullah berjudul 'Bila Sastra Tanpa Pluralisme'. Penggalan 
tulisan Chavchay adalah sebagai berikut:

"Jelaslah bila di sini saya tandaskan bahwa pluralisme akhirnya menjadi semacam 
pandangan dan sikap tentang bagaimana kita sebagai manusia harus berdialog 
dengan kenyataan kemajemukan nilai. Dan saya yakin, seorang sastrawan, atau 
siapa pun bisa menjadi seorang pluralis tanpa harus menjadi naif dan jatuh 
sebagai manusia yang amat setia memandang segala sesuatu secara nisbi. 
Pengertian pluralisme, dengan demikian, sangat luas dan mengandung konsekuensi 
yang luas pula bagi kerukunan hidup umat dalam beragama dan berbangsa-negara. 
Tanpa semangat pluralisme, rasanya apa pun kebenaran yang ditawarkan oleh pihak 
mana pun hanyalah omong kosong.

Jadi, bila sastra hadir tanpa pluralisme, maka karya sastra yang mencerahkan 
umat manusia pun tak kunjung hadir. Mengapa? Karena kemanusiaan yang 
diperjuangkan dalam karya sastra itu hanyalah omong kosong. Tak ada 
kesejatian......."

Barangkali dengan menyiarkan penggalan tulisan Chavchay ini, panitya mau 
menunjukkan bahwa "... ruh kampung; kebersamaan dan kegotongroyongan. Ringan 
sama dijinjing, berat sama dipikul.... kebersamaan antara seniman dan 
masyarakat" bercirikan antara lain "pluralisme" atau kemajemukan. Sedangkan 
ciri kedua dari 'solusi kekampungan' ini adalah bahwa 'masyarakat, yang jadi 
sumber inspirasi bagi karya-karyanya". Khususnya "Menjadikan kembali masyarakat 
yang tinggal di kampung sebagai saudara sekandung, yang sudah lama 
ditinggalkan, dengan cara menghapuskan lagi jarak". Ciri ini lebih 
digarisbawahi lagi oleh Moch. Irfan Hidayatullah dalam kata-kata: "bertitik 
tolak dari "kekampungan" kita yang memiliki jiwa guyub dan religius". Dengan 
kata-kata ini Irfan menambahkan ciri "solusi kekampungan" dengan sifat 
'religius". Panitya juga melihat bahwa 'kampung ditinggalkan" dan "kampung yang 
bersenandung sedih menunggu kematiannya".

"Solusi kekampungan" adalah juga kritik terhadap "arus globalisasi; hedonis dan 
konsumtif. Revolusi fashion, food, dan film menghajar semua kalangan".Kritik 
terhadap "yang berbau modernisasi", tonjokan pada "Kota jadi acuan" sehingga 
kampung ditinggalkan.Selain itu "solusi kekampungan" juga menyasar sikap genit 
"kebarat-baratan",  "liberalisme", "dewan-dewan" dan "kubu-kubuan"dan 
"penyingkiran" dalam kata-kata "Kubu-kubuan mencuat. Kubu barat, kubu timur. 
Kubu utara, kubu selatan. Siapa yang tak berkubu, maka tak mendapat giliran 
atau bagian".


Pada kesempatan ini saya tidak memasuki semua masalah konsepsional, baik yang 
diajukan siaran-siaran panitya, termasuk oleh Irfan. Saya hanya memilih 
soal-soal [1]. kampung versus kota; [2].guyup dan religius; [3].penyingkiran 
antar seniman.




Paris, Januari 2006.
JJ. Kusni

[Bersambung...]



[Non-text portions of this message have been removed]



***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com **

Other related posts:

  • » [nasional_list] [ppiindia] Catatan Di Meja Nusa Dua & Café Bandar: TENTANG 'BANGSA KLIEN' DAN SOAL-SOAL LAINNYA -- 4