[nasional_list] [ppiindia] Beras dan Kebijakan Antipetani

  • From: "Ambon" <sea@xxxxxxxxxx>
  • To: <"Undisclosed-Recipient:;"@freelists.org>
  • Date: Wed, 18 Jan 2006 02:05:45 +0100

** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com 
**http://www.suaramerdeka.com/harian/0601/17/opi3.htm

Beras dan Kebijakan Antipetani
Oleh Ari Kristianawati 

PEMERINTAH SBY-JK tidak mau mendengar kritik keras dari berbagai kalangan, 
dengan nekat melakukan impor beras sebanyak 110 ribu ton dari Vietnam. Beberapa 
pengamat kritis, semisal dari Econit dan lndept mendakwa impor beras yang 
dilakukan pemerintah, melalui SK Menperindag Mari Elka Pangestu bermotif bisnis 
dan rent seeking activities. Satu ton beras impor konon menghasilkan fee 
sebesar 20-30 dolar AS. 

Bisa dibayangkan jika mengimpor 110 ribu ton keuntungan (fee) yang diraup 
kalangan lmportir-pejabat-bahkan elite politik sebesar 2-3 trillun rupiah.

Namun di balik logika bisnis impor beras, sebenarnya ada motivasi 
ekonomi-politik yang "disembunyikan". Impor beras merupakan bentuk kebijakan 
ekonomi-politik pertanian yang mengacu kepada kepentingan pasar bebas atau 
mazhab Neo-liberalisme. Kebijakan lmpor beras adalah pemenuhan kesepakatan AOA 
(Agreement on Agriculture) WTO yang disepakati oleh Presiden Soeharto tahun 
1995 dan dilanjutkan pemerintahan penerusnya sampai sekarang.

Lantas apakah butir-butir kesepakatan AOA WTO yang "terpaksa" harus dijalani 
oleh pemerintahan Soeharto hingga penerusnya? Pertama, kesepakatan market 
access (akses pasar) komoditi pertanian domestik. Pasar pertanian domestik di 
Indonesia harus dibuka seluas-luasnya bagi proses masuknya komoditi pertanian 
luar negeri. Baik beras, gula, terigu, dsb. 

Kedua, penghapusan subsidi dan proteksi negara atas bidang pertanian. Negara 
tidak boleh melakukan subsidi bidang pertanian, baik subsidi pupuk atau saprodi 
lainnya serta pemenuhan kredit funak bagi sektor pertanian. 

Ketiga, penghapusan peran STE (State Trading Enterprises) Bulog, sehingga Bulog 
tidak lagi berhak melakukan monopoli dafam bidang ekspor-impor produk pangan, 
kecuali beras.

Dampak pemenuhan kesepakatan AOA WTO sangat menyedihkan bagi kondisi pertanian 
lndonesia semenjak 1995 hingga sekarang ini. Sektor pertanian di lndonesia 
mengalami keterpurukan dan "kebangkrutan". Akibat memenuhi kesepakatan AOA WTO, 
lndonesia pernah menjadi negara pengimpor beras terbesar di Dunia pada tahun 
1998 sebesar 4,5 juta ton setahun. 

Rata-rata per tahunnya setelah 1998 lndonesia selalu mengimpor beras dari pasar 
beras dunia sebesar 2,1 juta ton. Demikian lndonesia menjadi negara yang masuk 
kategori 5 besar dunia pengimpor produk pertanian lain semacam gula, terigu, 
buah-buahan dari pasar komoditi pertanian global.

Keterpurukan sektor pertanian di lndonesia bila dikatakan secara "jujur" mulai 
terjadi manakala Orde Baru mempraktikkan program pertanian yang berorientasi 
kepada "ideologi' revolusi Hijau tahun 1970-an hingga 1980-an. Di situ petani 
dipaksa "bekerja" dengan program pertanian modern yang sarat dengan asupan 
pertanian kimiawi yang merendahkan kualitas kesuburan tanah untuk jangka 
panjang. 

Para petani dipaksa bertanam dengan menggunakan sarana produksi pupuk, obat 
hama, benih, dsb yang dipasarkan oleh beberapa perusahaan MNC/TNC yang 
mendapatkan lisensi pemerintah. Penggunaan saprodi produk perusahaan MNC/TNC 
tersebut harus dibeli petani dengan harga mahal dari tahun ke tahun. 

Akibatnya biaya produksi pertanian selalu melambung dan tidak terjangkau oleh 
"kocek" petani domestik. lronisnya harga jual produk pertanian terutama beras, 
dikontrol dan dibuat murah harganya oleh pemerintah.

Keberhasilan swasembada beras pada tahun 1984/1985 akhirnya dicapai dengan 
mengorbankan "ideologi" pertanian yang memiliki kearifan lokal dan ramah 
terhadap lingkungan. Swasembada beras yang "semu" karena setelah tahun 
1984/1985 produksi beras nasional mengalami penurunan jumlah produksi karena 
berbagai faktor seperti semakin rendahnya kesuburan tanah, konservasi lahan 
pertanian yang menyempit untuk proyek industrialisasi, serta semakin berat 
biaya produksi yang ditanggung petani. Termasuk pula karena kegagalan panen 
karena hama, banjir, dsb. 

Beberapa kalangan aktivis pergerakan petani di lndonesia menyebutkan 
"merosotnya" produksi beras nasional semenjak tahun 1985 karena problem warisan 
struktural pertanian masih melekat dalam kehidupan petani. Di antaranya, 
semakin banyak petani yang berlahan sempit (menjamumya petani gurem), tidak 
adanya kemajuan teknologi pertanian yang berorientasi ekologis, dsb.

"Membunuh" Petani 

Impor beras yang dilakukan oleh pemerintah pada medio 1 November 2005 sebanyak 
70.050 ton dan awal Januari 2006 sebanyak 110 ribu ton dan mungkin akan terus 
dilanjutkan selama sisa waktu empat tahun pemerintahan SBY-JK adalah bentuk 
kebijakan yang "membunuh" kesejahteraan petani. 

Apalagi praktik "dagang" pemerintah menjelang pelaksanaan kebijakan ekonomi 
yang kontroversial selalu diiakukan. Stok beras di pasaran dibuat langka baru 
kemudian harga naik, akhirrya masyarakat dipaksa memahami impor beras yang akan 
dilakukan oleh pemerintah. 

Impor beras yang dilakukan oleh pemerintah berdampak dua hal. Pertama, membuat 
lesu motivasi bekerja para petani karena hasil kerja kerasnya akan kalah 
berkompetisi dengan beras impor di pasaran. Kedua, mempurukkan tingkat 
pendapatan petani domestik yang "rendah" menjadi sangat rendah.

Hasil survei LSM KPA (Konsorsium Pembaruan Agraria) tahun 2003 mengatakan, 
tingkat pendapatan petani Indonesia yang memiliki luas sawah 0,5 hektar kalah 
dibandingkan dengan upah bulanan buruh lndustri di kota besar. Perinciannya 
para petani yang memiliki tanah/sawah 0,5 hektar untuk sekali musim tanam 
memerlukan biaya produksi sebanyak Rp2,5 juta . Termasuk biaya sarana produksi, 
upah pekerja, pemeliharaan, dsb. Sementara hasil dari produksi beras/padi sawah 
seluas 0,5 hektar kalau dijual--setelah sebagian untuk dijadikan stok logistik 
rumah tangga hanya menghasilkan untung sebesar Rp3,5 juta hingga Rp 4 juta. 
Jadi keuntungan bersih hanya Rp1 juta sampai Rp2 juta, dan dibagi 3 bulan, 
rata-rata per bulan para petani hanya mengantongi "laba" Rp700 ribu.

Jika impor beras diiakukan dan harga beras petani semakin anjlok, bisa 
dibayangkan bersama berapa keuntungan yang akan didapatkan oleh para petani 
negeri ini. Seharusnya pemerintahan SBY-JK tidak melakukan kebijakan yang 
berwatak antipetani. Seorang SBY yang doktor pertanian, pernah menulis tesis 
tentang "revitalisasi pertanian" dengan beberapa item kesimpulan, yang diungkap 
Khudori, di antaranya: pertama, untuk membangun kembali pertanian maka 
intervensi asing semacam IMF dan World bank harus dinetralisasikan dari bidang 
pertanian. 

Kedua, pemerintah perlu mengorientasikan kebijakan fiskalnya untuk mendukung 
sektor pertanian. Ketiga, pemerintah perlu memfasilitasi pengembangan pertanian 
yang berorientasi kepentingan petani. Namun sayangnya keyakinan atau ide 
"cerdas" SBY dalam disertasinya berbalik dengan realitas kebijakan 
ekonomi-politik pertanian yang direncanakan dan diimplementasikan. 

Pemerintahan SBY-JK nekat melakukan impor beras. Melihat realitas demikian maka 
sudah saatnya kaum petani di Indonesia yang jumlahnya 60 juta orang bangkit, 
membangun gerakan petani yang berperspektif ideologi kerakyatan. Petani harus 
bersatu menolak liberalisasi pertanian sampai kapan pun jua. Seperti halnya 
komunitas petani di Korea Selatan, Prancis, Meksiko, dsb. (11)

-Ari Kristianawati, pegiat Perhimpunan Citra Kasih, Jawa Tengah 


[Non-text portions of this message have been removed]



***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com **

Other related posts:

  • » [nasional_list] [ppiindia] Beras dan Kebijakan Antipetani