** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List ** ** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: ** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ ** ** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral scholarship, kunjungi http://informasi-beasiswa.blogspot.com **http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2006/072006/28/0902.htm Anarkisme Sekolah Penghalang Hak Dasar Oleh HIKMAT GUMELAR Di Jawa Barat, pintu-pintu sekolah tampak cuma terbuka untuk anak-anak orang kaya. Pintu-pintu itu tampak tertutup bagi anak-anak orang tak mampu. Mungkin ada pihak yang menolak itu. Malah mungkin ada yang sampai lantang melontar, "Tidak benar itu! Di Jawa Barat, anak gubernur dan anak tukang cendol sama. Keduanya bisa duduk di bangku sekolah." Suara seperti itu membahagiakan sebab, memang, begitulah sekolah sepatutnya. Dengan begitu, sekolah jadi mungkin sebagai kebun tempat tumbuh anak-anak dari golongan masyarakat mana pun. Dan tumbuhnya mereka terang bermakna besar bagi perkembangan sebuah bangsa. Apalagi bagi bangsa kita yang ini kali diacak-acak oleh beragam konflik yang ditengarai terbit dari ketidakdilan dan kesenjangan sosial yang parah. Tetapi di tiap kabupaten dan kota yang ada di Jawa Barat, hanya satu dua sekolah yang tidak menaikkan dana sumbangan pendidikan (DSP) dan sumbangan pembinaan pendidikan (SPP). Kebanyakan sekolah kompak menaikkannya tanpa lebih dulu bermusyarah dengan orang tua murid, hal yang merupakan keharusan. Di Kota Bandung, misalnya. Antara lain SMPN 3 Bandung, SMAN 2 Bandung, dan sejumlah SMKN menaikkan DSP dan SPP (Pikiran Rakyat, 15/7/06). Kenaikan DSP ini bisa mencapai jumlah seperti yang dipatok SMA 2 Cibinong: Rp 5,5 juta (Pikiran Rakyat, 26/7/06). Keruan biaya menyekolahkan anak jadi melambung. Sekolah pun jadi sebagai ruang yang pintunya kian terbuka bagi anak orang kaya dan sebaliknya bagi anak orang papa. Sekolah lantas jadi sebagai pabrik yang mereproduksi struktur sosial yang tidak adil. Juga sebagai benteng penghalang pemenuhan hak dasar anak untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Tetapi bagi Endang Basuni, Kepala Dinas Pendidikan Kab. Bogor, hal itu bukan masalah. Sebab, menurutnya, sekolah punya otonomi "sehingga dapat menetapkan besarnya DSP" (Pikiran Rakyat, 26/7/06). Kepala Dinas Pendidikan Kota Bandung yang belum lama dilantik menjadi Sekda Kota Bandung, Edi Siswadi, menyatakan hal senada, yakni bahwa "kenaikan SPP ataupun DSP memang tidak bisa dihindari" (Pikiran Rakyat 15/7/06). Pasalnya, seperti diungkap sejumlah guru, wakil kepala sekolah dan kepala sekolah, dana operasional sekolah mengalami lonjakan sebagai akibat naiknya BBM. Jika demikian, naiknya DSP dan SPP yang anarkis itu serupa buah dari pohon yang ditanam pemerintah dan DPR. Sebab, naiknya BBM terang keputusan yang dijatuhkan pemerintah dangan persetujuan DPR. Pemerintah sendiri boleh saja melontar pelbagai dalil(h) perihal kenapa BBM dinaikkan. Tapi, kita insyaf, naiknya BBM adalah karena pengguntingan subsidi demi penambahan dana untuk bayar utang luar negeri. Hal ini merupakan akibat logis dari pilihan model ekonomi yang berkiblat ke pasar bebas, sebuah pilihan yang oleh penyair Meksiko Octavio Paz dicap sebagai pilihan sesat karena bertolak dari asumsi bahwa manusia cuma produsen dan konsumen, dan menghasilkan masyarakat yang tidak adil, bodoh, dan tanpa impian. Bagaimana Iwan Hermawan, Koordinator Koalisi Pendidikan Kota Bandung, membaca perkataan Paz? Saya tidak paham. Tapi dia menyatakan bahwa menjadikan naiknya BBM sebagai alasan menaikkan DSP dan SPP hanya alasan yang mengada-ada. Dedi Gusdiar dari Jaringan Institut Anggaran Partisipatif menguatkan lontaran Iwan. Menurutnya, pembengkakan dana operasional sekolah adalah karena sekolah melakukan tindakan yang tidak efisien. Misalnya, ungkap Dedi, "Sekolah yang memberlakukan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), tidak perlu mengadakan ulangan umum, tetapi mengakumulasikan nilai dari setiap kompetensi dasar tiap mata pelajaran... Namun kenyataannya, ulangan umum masih dilaksanakan di sekolah KBK. Padahal, dalam setahun diperlukan anggaran sebesar Rp 50 juta untuk ulangan umum" (Kompas, 19/7/06). Kecuali itu, Dedi mengatakan bahwa "inefisiensi juga terjadi karena adanya biaya koordinasi dengan Dinas Pendidikan dan rayon. Biaya tersebut antara lain untuk transportasi pengawas sekolah, iuran kelompok kerja kepala sekolah, iuran musyawarah kerja kepala sekolah, dan biaya administrasi kenaikan pangkat guru yang mencapai Rp 10 juta". Jika suara seperti yang dilontar Dedi memang iya, anarki itu serupa anak hasil selingkuh pihak sekolah dan pihak Dinas Pendidikan. Selingkuh ini bukan sesuatu yang mustahil. Kita semua paham sudah bahwa birokrasi pendidikan kita sama seperti birokrasi bidang-bidang lain di republik ini: lahan subur bagi korupsi. Simak saja yang mendekam dalam rusaknya bangunan sekolah. Di Jawa Barat, tak ada satu pun kabupaten dan pemerintah kota yang tak memiliki bangunan sekolah yang rusak. Bahkan bangunan sekolah yang rusak di tiap kabupaten dan pemerintah kota di provinsi ini bisa dipastikan rata-rata jumlahnya di atas 50 % dari seluruh bangunan sekolah yang ada di tiap kabupaten dan pemerintah kota! Ini sangat mungkin berkait dengan yang tersembunyi dari bagaimana praktik perbaikan sekolah yang galib dilakukan di Majalengka. Secara prosedural, perbaikan sekolah dimulai dengan proposal yang disodorkan pihak sekolah kepada Dinas Pendidikan. Pihak penerima merespons dengan nalungtik bangunan sekolah yang diminta untuk diperbaiki. Setelah itu, baru diputuskan apa sekolah itu akan diperbaiki atau tidak. Jika perlu, perbaikannya masuk dalam kategori perbaikan kecil, sedang, atau berat. Di Majalengka, perbaikan sekolah mayoritas menyimpang dari prosedur. Di sini, ungkap sejumlah guru yang semuanya menolak namanya disebut, perbaikan sekolah tak berdasarkan kondisi bangunan. Tapi terutama ditentukan oleh kedekatan pihak sekolah dengan pihak di atasnya, dan berapa besar uang untuk menyuap yang dimilikinya. Hasilnya, Majalengka adalah kabupaten yang memiliki bangunan sekolah rusak yang lebih dari 60%. Karena itu, komite sekolah menjadi penting. Lembaga ini bisa meniupkan ide-ide yang bisa memungkinkan sekolah jadi ruang pemenuhan hak dasar anak untuk memperoleh pendidikan yang layak, sekaligus sebagai ruang pembudayaan kecintaan akan pengetahuan, kesadaran akan pentingnya solidaritas sosial, penghormatan akan hukum dan keadilan, dan sebagainya. Juga sebagai kekuatan yang sanggup mencegah terjadinya penyimpangan-penyimpangan yang memungkinan sekolah malah jadi kandang tempat berbiaknya paham dan nilai yang menyesatkan seperti pemberhalaan formalitas, ketidakjujuran, kemalasan, kebebalan, feodalisme, pemujaan uang, dan sebagainya. Tapi di Depok, seorang ibu yang pula menolak disebutkan namanya melontar perkataan beda. Ia menuding komite sekolah di sekolah yang dimasuki anaknya malah kongkalikong dengan pihak sekolah dalam menaikkan DSP dan SPP. Lembaga ini dicapnya mengingkari makna keberadaannya. Ia sebagai stempel pengabsah kepentingan-kepentingan sekolah belaka. Dan ini, tegasnya, berlaku pula untuk komite sekolah di sekolah lain di daerah tempatnya tinggal. Saya kira ibu itu tidak sedang mengigau. Perkataannya tidaklah keliru. Penyimpangan demikian memang terjadi juga di banyak daerah di Jawa Barat. Ini berarti, para orang tua murid pun tidak bersih dari kesalahan. Mereka pun berperan dalam memungkinkan proses pembusukan sekolah. Mereka barangkali tak punya perhatian memadai bagi pendidikan anak-anaknya. Mereka barangkali telah dirasuki iman bahwa semua hal, termasuk pendidikan anak, bisa diselesaikan dengan uang. Maka jungkir balik mencari uang menjadi kegiatan utama mereka. Inilah mungkin yang mendorong komite sekolah jadi sulit dikata sebagai representasi dari para orang tua yang mengharap anak-anaknya tumbuh cerdas dan berbudi pekerti. Jika memang demikian, kebudayaan yang berkembang sekarang patut juga dituding sebagai biang keladi. Sebab terang sudah bahwa kebudayaan yang berkembang sekarang adalah kebudayaan dengan dinamo pemujaan akan uang sebagai tuhan. Padahal, ungkap Freidrich Durrentmatt, seorang dramawan Swiss, "Jika uang menjadi tuhan, dunia jadi rumah pelacuran." Kita niscaya tidak menghendaki dunia pendidikan jadi sebagai kompleks pelacuran Saritem. Tetapi mana dari penalaran-penalaran di muka yang benar? Atau bagaimana penalaran-penalaran di luar itu yang lebih benar? Bagaimana pula konsekuensi logisnya bagi kita? Mari kita sama duduk. Kita sama belajar (kembali) menghadapi perkara penting yang mau tidak mau mesti kita hadapi.*** Penulis, orang tua siswa. Aktif di Institut Nalar Jatinangor. [Non-text portions of this message have been removed] *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://groups.yahoo.com/group/ppiindia *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx 5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx 6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/ ** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List ** ** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: ** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ ** ** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral scholarship, kunjungi http://informasi-beasiswa.blogspot.com **