[list_indonesia] [ppiindia] Potensi Konflik dalam Pilkada Langsung

  • From: "Ambon" <sea@xxxxxxxxxx>
  • To: <"Undisclosed-Recipient:;"@freelists.org>
  • Date: Wed, 9 Mar 2005 22:35:33 +0100

** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.da.ru **

Suara Karya

Potensi Konflik dalam Pilkada Langsung
Oleh Israr Iskandar 


Kamis, (10-03-'05)
Ilmuwan politik Juan J Linz dan Alfred Stepan mengatakan, suatu negara 
dikatakan demokratis bila memenuhi prasyarat antara lain memiliki kebebasan 
kepada masyarakat untuk merumuskan preferensi-preferensi politik mereka melalui 
jalur-jalur perserikatan, informasi dan komunikasi; memberikan ruang 
berkompetisi yang sehat dan melalui cara-cara damai; serta tidak melarang 
siapapun berkompetisi untuk jabatan politik. 

Dalam hal ini jelas, kompetisi politik yang damai menjadi prasyarat penting 
bagi demokrasi.Oleh karena itu, salah satu agenda terpenting dalam konteks 
Pilkada langsung adalah meminimalisasi potensi-potensi konflik. 

Jika tidak ada aral melintang, bangsa Indonesia akan maju selangkah lagi dalam 
kehidupan demokrasinya. Wujudnya berupa pemilihan kepala daerah (Pilkada) 
secara langsung yang dimulai pertengahan tahun 2005. Ratusan kepala daerah 
telah habis masa jabatannya tahun ini. Dipastikan, Pilkada langsung yang 
pertama kali dilaksanakan di Tanah Air ini akan disambut gegap gempita. 

Apa pun, pelaksanaan Pilkada langsung mesti berjalan sukses dalam arti 
demokratis, aman, dan damai, sebagaimana Pemilihan Presiden 2004. Dalam hal 
ini, kesuksesan Pilkada langsung tidak hanya dilihat dari perspektif kemajuan 
pelaksanaan otonomi daerah, khususnya yang tertuang dalam Undang Undang Nomor 
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, tetapi juga bagian inheren agenda 
reformasi politik, sebagaimana menjadi tuntutan mahasiswa saat meruntuhkan 
rezim Orde Baru. 

Namun di balik eforia menyongsong Pilkada langsung dewasa ini, ada masalah lain 
yang dapat membuat agenda politik lokal ini paradoks, yakni potensi konflik 
yang dikandungnya. Hal ini telah diingatkan banyak kalangan sejak awal. Potensi 
konflik jelas menjadi salah satu pekerjaan rumah seluruh perencana dan 
penyelenggara Pilkada langsung. Kalau tidak diantisipasi baik sejak dini, 
Pilkada nanti bakal menimbulkan konflik politik yang tidak hanya merugikan 
kepentingan rakyat, tetapi juga merusak benih-benih demokrasi di tingkat lokal. 

Lima Potensi Konflik


Jika diidentifikasi, ada beberapa masalah di sekitar Pilkada langsung yang bisa 
memicu konflik politik di daerah. 

Pertama, terdapatnya peraturan Pilkada langsung yang menutup munculnya calon 
independen. Presedennya sudah dimunculkan pada Pilpres (Pemilu Presiden) lalu 
yang tak memperkenankan calon independen maju sebagai capres (capres) atau 
cawapres (calon wakil presiden). Salah satu kelemahan UU 32/2004 menyangkut 
Pilkada adalah pemberian otoritas penuh kepada partai politik sebagai 
satu-satunya penjual tiket calon kepala daerah. Hal ini tentu bisa memicu 
ketidakpuasan, karena pada kenyataannya di banyak daerah terdapat tokoh-tokoh 
non-partai yang disukai masyarakat. 

Kedua, kuatnya hubungan emosional antara kandidat dengan konstituen. Hubungan 
emosional antara konstituen dengan kepala daerah jauh lebih dekat dibandingkan 
dengan kepala negara atau pemimpin di level nasional. Hal itu bukan hanya 
disebabkan kedekatan fisik, tetapi juga sosial, budaya, geografis dan 
sebagainya. Jika tidak ada manajemen konflik yang baik, terutama terhadap 
bolong-bolong yang terdapat pada aturan Pilkada, maka ketidakpuasan konstituen 
terhadap konstituen dan kandidat lain atau proses pemilihan kepala daerah bisa 
memicu lahirnya konflik di daerah. Dengan kata lain, sensitivitas konstituen 
dalam pilkada sangat tinggi. 

Ketiga, UU 32/2004, seperti disebutkan di muka, memberi peluang dan dominasi 
kepada partai dalam proses pencalonan. Ada kemungkinan partai-partai besar 
terobsesi untuk hanya mencalonkan pasangan dari partai sendiri tanpa 
memperhatikan polarisasi politik yang ada. Padahal seharusnya, proses 
pencalonan kepala daerah harus mempertimbangkan kekuatan-kekuatan politik dan 
sosial yang terdapat di daerah bersangkutan. Kita ambil contoh proses 
pencalonan kepala daerah di Maluku, seharusnya tidak hanya mengakomodasi 
kekuatan-kekuatan politik yang ada, tetapi juga dua komunitas agama yakni 
Kristen dan Islam. Jika calon kepala daerahnya berasal dari komunitas Kristen, 
maka wakil kepala daerah mestinya dari kalangan Islam. Begitu pula sebaliknya. 
Akomodasi politik yang menjamin stabilitas pemerintahan lokal harus benar-benar 
tercermin dalam proses pencalonan kepala daerah. 

Keempat, kerancuan peran DPRD dalam Pilkada juga dapat memicu konflik. Pilkada 
memang sepenuhnya dilaksanakan oleh KPU Daerah, tetapi pertanggungjawabannya 
harus disampaikan kepada DPRD. Dalam hal ini, kerja KPUD (Komisi Pemilihan Umum 
Daerah) berpotensi diintervensi oleh partai politik yang mempunyai kekuatan di 
DPRD. Sebab, sejalan dengan kewenangan yang besar dalam proses-proses politik 
lokal, partai berpotensi membajak fungsi KPUD, jika kerja KPUD dianggap tidak 
menguntungkannya. (Supriyanto, 2004). 

Kerancuan peran DPRD juga terlihat dalam pasal 82 UU 32/2004 yang mengatakan 
bahwa pasangan calon dan/atau tim kampanye yang terbukti menjanjikan atau 
memberikan uang dan/atau materi untuk mempengaruhi pemilih berdasarkan putusan 
pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, dikenai sanksi pembatalan 
pasangan calon oleh DPRD. Ketentuan ini terkesan paradoks. Bagaimana mungkin 
lembaga legislatif yang notabene wakil dari partai-partai memainkan peran 
pelaksana pemilu. Mestinya pemberian sanksi dilakukan oleh KPUD sebagai 
penyelenggara Pilkada. Peran besar dari legislatif lokal ini jelas menjadi 
faktor distortif bagi Pilkada langsung. 

Kelima, potensi konflik pasca Pilkada langsung juga tak kalah krusialnya. Jika 
potensi-potensi konflik di atas tak bisa diantisipasi dan dimenej dengan baik, 
maka bakal memicu konflik pasca pelaksanaan Pilkada. Konflik pasca Pilkada juga 
dimungkinkan, jika terjadi kecurangan dalam proses pemilihan tanpa penyelesaian 
hukum yang adil, misalnya, menggunakan politik uang. Aturan yang termaktub 
dalam UU Pilkadal seolah membuka peluang terjadinya persaingan politik uang di 
antara para kontestan. Hal ini jelas menimbulkan kecemburuan di kalangan 
kontestan yang "miskin". 

Demokrasi Lokal


Potensi konflik dalam Pilkada langsung jelas sangat menganggu proses penguatan 
demokrasi, tidak hanya di tingkat lokal, tetapi juga nasional. Potensi konflik 
itu bukan karena ketidaksiapan masyarakat, tetapi lantaran tidak utuhnya 
penerapan sistem demokrasi lokal, terutama yang disebabkan kelemahan aturan 
main. Jika potensi konflik dalam Pilkada langsung tidak dieliminir, bukan tidak 
mungkin akan berlangsung pelambatan proses demokrasi di daerah. 

Ilmuwan politik Juan J Linz dan Alfred Stepan mengatakan, suatu negara 
dikatakan demokratis bila memenuhi prasyarat antara lain memiliki kebebasan 
kepada masyarakat untuk merumuskan preferensi-preferensi politik mereka melalui 
jalur-jalur perserikatan, informasi dan komunikasi; memberikan ruang 
berkompetisi yang sehat dan melalui cara-cara damai; serta tidak melarang 
siapapun berkompetisi untuk jabatan politik. Dalam hal ini jelas, kompetisi 
politik yang damai menjadi prasyarat penting bagi demokrasi. 

Oleh karena itu, salah satu agenda terpenting dalam konteks Pilkada langsung 
adalah meminimalisir potensi-potensi konflik, baik yang terkandung dalam aturan 
main seperti UU 32/2004 dan PP No 6/2005 tentang Pilkada Langsung, maupun 
kendala sosial yang masih membelit. Agenda ini mesti sejalan dengan pembangunan 
bertahap budaya politik demokratis. Ini jelas bukan pandangan "under-estimated" 
terhadap perilaku masyarakat politik kita, tetapi lebih disebabkan sistem yang 
kini terbangun lewat berbagai aturan main masih berpotensi memicu munculnya 
budaya anti-demokrasi. 

Pilkada langsung merupakan salah satu kemajuan terbesar dalam reformasi politik 
di Indonesia. Pilkada nanti merupakan ikhtiar rakyat Indonesia terhadap 
demokrasi langsung setelah pilpres 2004. Tetapi di balik itu, juga harus 
diwaspadai potensi-potensi yang bisa menyebabkan agenda politik lokal berbalik 
arah, hanya karena ketidakbecusan dalam proses perencanaan dan pelaksanaannya. 
*** 

(Penulis adalah peneliti CIRUS, peserta program S-2
Ilmu Politik UI, dosen Universitas Andalas, Padang).
Oleh Israr Iskandar 


Kamis, (10-03-'05)
Ilmuwan politik Juan J Linz dan Alfred Stepan mengatakan, suatu negara 
dikatakan demokratis bila memenuhi prasyarat antara lain memiliki kebebasan 
kepada masyarakat untuk merumuskan preferensi-preferensi politik mereka melalui 
jalur-jalur perserikatan, informasi dan komunikasi; memberikan ruang 
berkompetisi yang sehat dan melalui cara-cara damai; serta tidak melarang 
siapapun berkompetisi untuk jabatan politik. 

Dalam hal ini jelas, kompetisi politik yang damai menjadi prasyarat penting 
bagi demokrasi.Oleh karena itu, salah satu agenda terpenting dalam konteks 
Pilkada langsung adalah meminimalisasi potensi-potensi konflik. 

Jika tidak ada aral melintang, bangsa Indonesia akan maju selangkah lagi dalam 
kehidupan demokrasinya. Wujudnya berupa pemilihan kepala daerah (Pilkada) 
secara langsung yang dimulai pertengahan tahun 2005. Ratusan kepala daerah 
telah habis masa jabatannya tahun ini. Dipastikan, Pilkada langsung yang 
pertama kali dilaksanakan di Tanah Air ini akan disambut gegap gempita. 

Apa pun, pelaksanaan Pilkada langsung mesti berjalan sukses dalam arti 
demokratis, aman, dan damai, sebagaimana Pemilihan Presiden 2004. Dalam hal 
ini, kesuksesan Pilkada langsung tidak hanya dilihat dari perspektif kemajuan 
pelaksanaan otonomi daerah, khususnya yang tertuang dalam Undang Undang Nomor 
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, tetapi juga bagian inheren agenda 
reformasi politik, sebagaimana menjadi tuntutan mahasiswa saat meruntuhkan 
rezim Orde Baru. 

Namun di balik eforia menyongsong Pilkada langsung dewasa ini, ada masalah lain 
yang dapat membuat agenda politik lokal ini paradoks, yakni potensi konflik 
yang dikandungnya. Hal ini telah diingatkan banyak kalangan sejak awal. Potensi 
konflik jelas menjadi salah satu pekerjaan rumah seluruh perencana dan 
penyelenggara Pilkada langsung. Kalau tidak diantisipasi baik sejak dini, 
Pilkada nanti bakal menimbulkan konflik politik yang tidak hanya merugikan 
kepentingan rakyat, tetapi juga merusak benih-benih demokrasi di tingkat lokal. 

Lima Potensi Konflik


Jika diidentifikasi, ada beberapa masalah di sekitar Pilkada langsung yang bisa 
memicu konflik politik di daerah. 

Pertama, terdapatnya peraturan Pilkada langsung yang menutup munculnya calon 
independen. Presedennya sudah dimunculkan pada Pilpres (Pemilu Presiden) lalu 
yang tak memperkenankan calon independen maju sebagai capres (capres) atau 
cawapres (calon wakil presiden). Salah satu kelemahan UU 32/2004 menyangkut 
Pilkada adalah pemberian otoritas penuh kepada partai politik sebagai 
satu-satunya penjual tiket calon kepala daerah. Hal ini tentu bisa memicu 
ketidakpuasan, karena pada kenyataannya di banyak daerah terdapat tokoh-tokoh 
non-partai yang disukai masyarakat. 

Kedua, kuatnya hubungan emosional antara kandidat dengan konstituen. Hubungan 
emosional antara konstituen dengan kepala daerah jauh lebih dekat dibandingkan 
dengan kepala negara atau pemimpin di level nasional. Hal itu bukan hanya 
disebabkan kedekatan fisik, tetapi juga sosial, budaya, geografis dan 
sebagainya. Jika tidak ada manajemen konflik yang baik, terutama terhadap 
bolong-bolong yang terdapat pada aturan Pilkada, maka ketidakpuasan konstituen 
terhadap konstituen dan kandidat lain atau proses pemilihan kepala daerah bisa 
memicu lahirnya konflik di daerah. Dengan kata lain, sensitivitas konstituen 
dalam pilkada sangat tinggi. 

Ketiga, UU 32/2004, seperti disebutkan di muka, memberi peluang dan dominasi 
kepada partai dalam proses pencalonan. Ada kemungkinan partai-partai besar 
terobsesi untuk hanya mencalonkan pasangan dari partai sendiri tanpa 
memperhatikan polarisasi politik yang ada. Padahal seharusnya, proses 
pencalonan kepala daerah harus mempertimbangkan kekuatan-kekuatan politik dan 
sosial yang terdapat di daerah bersangkutan. Kita ambil contoh proses 
pencalonan kepala daerah di Maluku, seharusnya tidak hanya mengakomodasi 
kekuatan-kekuatan politik yang ada, tetapi juga dua komunitas agama yakni 
Kristen dan Islam. Jika calon kepala daerahnya berasal dari komunitas Kristen, 
maka wakil kepala daerah mestinya dari kalangan Islam. Begitu pula sebaliknya. 
Akomodasi politik yang menjamin stabilitas pemerintahan lokal harus benar-benar 
tercermin dalam proses pencalonan kepala daerah. 

Keempat, kerancuan peran DPRD dalam Pilkada juga dapat memicu konflik. Pilkada 
memang sepenuhnya dilaksanakan oleh KPU Daerah, tetapi pertanggungjawabannya 
harus disampaikan kepada DPRD. Dalam hal ini, kerja KPUD (Komisi Pemilihan Umum 
Daerah) berpotensi diintervensi oleh partai politik yang mempunyai kekuatan di 
DPRD. Sebab, sejalan dengan kewenangan yang besar dalam proses-proses politik 
lokal, partai berpotensi membajak fungsi KPUD, jika kerja KPUD dianggap tidak 
menguntungkannya. (Supriyanto, 2004). 

Kerancuan peran DPRD juga terlihat dalam pasal 82 UU 32/2004 yang mengatakan 
bahwa pasangan calon dan/atau tim kampanye yang terbukti menjanjikan atau 
memberikan uang dan/atau materi untuk mempengaruhi pemilih berdasarkan putusan 
pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, dikenai sanksi pembatalan 
pasangan calon oleh DPRD. Ketentuan ini terkesan paradoks. Bagaimana mungkin 
lembaga legislatif yang notabene wakil dari partai-partai memainkan peran 
pelaksana pemilu. Mestinya pemberian sanksi dilakukan oleh KPUD sebagai 
penyelenggara Pilkada. Peran besar dari legislatif lokal ini jelas menjadi 
faktor distortif bagi Pilkada langsung. 

Kelima, potensi konflik pasca Pilkada langsung juga tak kalah krusialnya. Jika 
potensi-potensi konflik di atas tak bisa diantisipasi dan dimenej dengan baik, 
maka bakal memicu konflik pasca pelaksanaan Pilkada. Konflik pasca Pilkada juga 
dimungkinkan, jika terjadi kecurangan dalam proses pemilihan tanpa penyelesaian 
hukum yang adil, misalnya, menggunakan politik uang. Aturan yang termaktub 
dalam UU Pilkadal seolah membuka peluang terjadinya persaingan politik uang di 
antara para kontestan. Hal ini jelas menimbulkan kecemburuan di kalangan 
kontestan yang "miskin". 

Demokrasi Lokal


Potensi konflik dalam Pilkada langsung jelas sangat menganggu proses penguatan 
demokrasi, tidak hanya di tingkat lokal, tetapi juga nasional. Potensi konflik 
itu bukan karena ketidaksiapan masyarakat, tetapi lantaran tidak utuhnya 
penerapan sistem demokrasi lokal, terutama yang disebabkan kelemahan aturan 
main. Jika potensi konflik dalam Pilkada langsung tidak dieliminir, bukan tidak 
mungkin akan berlangsung pelambatan proses demokrasi di daerah. 

Ilmuwan politik Juan J Linz dan Alfred Stepan mengatakan, suatu negara 
dikatakan demokratis bila memenuhi prasyarat antara lain memiliki kebebasan 
kepada masyarakat untuk merumuskan preferensi-preferensi politik mereka melalui 
jalur-jalur perserikatan, informasi dan komunikasi; memberikan ruang 
berkompetisi yang sehat dan melalui cara-cara damai; serta tidak melarang 
siapapun berkompetisi untuk jabatan politik. Dalam hal ini jelas, kompetisi 
politik yang damai menjadi prasyarat penting bagi demokrasi. 

Oleh karena itu, salah satu agenda terpenting dalam konteks Pilkada langsung 
adalah meminimalisir potensi-potensi konflik, baik yang terkandung dalam aturan 
main seperti UU 32/2004 dan PP No 6/2005 tentang Pilkada Langsung, maupun 
kendala sosial yang masih membelit. Agenda ini mesti sejalan dengan pembangunan 
bertahap budaya politik demokratis. Ini jelas bukan pandangan "under-estimated" 
terhadap perilaku masyarakat politik kita, tetapi lebih disebabkan sistem yang 
kini terbangun lewat berbagai aturan main masih berpotensi memicu munculnya 
budaya anti-demokrasi. 

Pilkada langsung merupakan salah satu kemajuan terbesar dalam reformasi politik 
di Indonesia. Pilkada nanti merupakan ikhtiar rakyat Indonesia terhadap 
demokrasi langsung setelah pilpres 2004. Tetapi di balik itu, juga harus 
diwaspadai potensi-potensi yang bisa menyebabkan agenda politik lokal berbalik 
arah, hanya karena ketidakbecusan dalam proses perencanaan dan pelaksanaannya. 
*** 

(Penulis adalah peneliti CIRUS, peserta program S-2
Ilmu Politik UI, dosen Universitas Andalas, Padang).

[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Help save the life of a child.  Support St. Jude Children's Research Hospital's
'Thanks & Giving.'
http://us.click.yahoo.com/mGEjbB/5WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.uni.cc **

Other related posts:

  • » [list_indonesia] [ppiindia] Potensi Konflik dalam Pilkada Langsung