** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.da.ru ** Suara Karya Potensi Konflik dalam Pilkada Langsung Oleh Israr Iskandar Kamis, (10-03-'05) Ilmuwan politik Juan J Linz dan Alfred Stepan mengatakan, suatu negara dikatakan demokratis bila memenuhi prasyarat antara lain memiliki kebebasan kepada masyarakat untuk merumuskan preferensi-preferensi politik mereka melalui jalur-jalur perserikatan, informasi dan komunikasi; memberikan ruang berkompetisi yang sehat dan melalui cara-cara damai; serta tidak melarang siapapun berkompetisi untuk jabatan politik. Dalam hal ini jelas, kompetisi politik yang damai menjadi prasyarat penting bagi demokrasi.Oleh karena itu, salah satu agenda terpenting dalam konteks Pilkada langsung adalah meminimalisasi potensi-potensi konflik. Jika tidak ada aral melintang, bangsa Indonesia akan maju selangkah lagi dalam kehidupan demokrasinya. Wujudnya berupa pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung yang dimulai pertengahan tahun 2005. Ratusan kepala daerah telah habis masa jabatannya tahun ini. Dipastikan, Pilkada langsung yang pertama kali dilaksanakan di Tanah Air ini akan disambut gegap gempita. Apa pun, pelaksanaan Pilkada langsung mesti berjalan sukses dalam arti demokratis, aman, dan damai, sebagaimana Pemilihan Presiden 2004. Dalam hal ini, kesuksesan Pilkada langsung tidak hanya dilihat dari perspektif kemajuan pelaksanaan otonomi daerah, khususnya yang tertuang dalam Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, tetapi juga bagian inheren agenda reformasi politik, sebagaimana menjadi tuntutan mahasiswa saat meruntuhkan rezim Orde Baru. Namun di balik eforia menyongsong Pilkada langsung dewasa ini, ada masalah lain yang dapat membuat agenda politik lokal ini paradoks, yakni potensi konflik yang dikandungnya. Hal ini telah diingatkan banyak kalangan sejak awal. Potensi konflik jelas menjadi salah satu pekerjaan rumah seluruh perencana dan penyelenggara Pilkada langsung. Kalau tidak diantisipasi baik sejak dini, Pilkada nanti bakal menimbulkan konflik politik yang tidak hanya merugikan kepentingan rakyat, tetapi juga merusak benih-benih demokrasi di tingkat lokal. Lima Potensi Konflik Jika diidentifikasi, ada beberapa masalah di sekitar Pilkada langsung yang bisa memicu konflik politik di daerah. Pertama, terdapatnya peraturan Pilkada langsung yang menutup munculnya calon independen. Presedennya sudah dimunculkan pada Pilpres (Pemilu Presiden) lalu yang tak memperkenankan calon independen maju sebagai capres (capres) atau cawapres (calon wakil presiden). Salah satu kelemahan UU 32/2004 menyangkut Pilkada adalah pemberian otoritas penuh kepada partai politik sebagai satu-satunya penjual tiket calon kepala daerah. Hal ini tentu bisa memicu ketidakpuasan, karena pada kenyataannya di banyak daerah terdapat tokoh-tokoh non-partai yang disukai masyarakat. Kedua, kuatnya hubungan emosional antara kandidat dengan konstituen. Hubungan emosional antara konstituen dengan kepala daerah jauh lebih dekat dibandingkan dengan kepala negara atau pemimpin di level nasional. Hal itu bukan hanya disebabkan kedekatan fisik, tetapi juga sosial, budaya, geografis dan sebagainya. Jika tidak ada manajemen konflik yang baik, terutama terhadap bolong-bolong yang terdapat pada aturan Pilkada, maka ketidakpuasan konstituen terhadap konstituen dan kandidat lain atau proses pemilihan kepala daerah bisa memicu lahirnya konflik di daerah. Dengan kata lain, sensitivitas konstituen dalam pilkada sangat tinggi. Ketiga, UU 32/2004, seperti disebutkan di muka, memberi peluang dan dominasi kepada partai dalam proses pencalonan. Ada kemungkinan partai-partai besar terobsesi untuk hanya mencalonkan pasangan dari partai sendiri tanpa memperhatikan polarisasi politik yang ada. Padahal seharusnya, proses pencalonan kepala daerah harus mempertimbangkan kekuatan-kekuatan politik dan sosial yang terdapat di daerah bersangkutan. Kita ambil contoh proses pencalonan kepala daerah di Maluku, seharusnya tidak hanya mengakomodasi kekuatan-kekuatan politik yang ada, tetapi juga dua komunitas agama yakni Kristen dan Islam. Jika calon kepala daerahnya berasal dari komunitas Kristen, maka wakil kepala daerah mestinya dari kalangan Islam. Begitu pula sebaliknya. Akomodasi politik yang menjamin stabilitas pemerintahan lokal harus benar-benar tercermin dalam proses pencalonan kepala daerah. Keempat, kerancuan peran DPRD dalam Pilkada juga dapat memicu konflik. Pilkada memang sepenuhnya dilaksanakan oleh KPU Daerah, tetapi pertanggungjawabannya harus disampaikan kepada DPRD. Dalam hal ini, kerja KPUD (Komisi Pemilihan Umum Daerah) berpotensi diintervensi oleh partai politik yang mempunyai kekuatan di DPRD. Sebab, sejalan dengan kewenangan yang besar dalam proses-proses politik lokal, partai berpotensi membajak fungsi KPUD, jika kerja KPUD dianggap tidak menguntungkannya. (Supriyanto, 2004). Kerancuan peran DPRD juga terlihat dalam pasal 82 UU 32/2004 yang mengatakan bahwa pasangan calon dan/atau tim kampanye yang terbukti menjanjikan atau memberikan uang dan/atau materi untuk mempengaruhi pemilih berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, dikenai sanksi pembatalan pasangan calon oleh DPRD. Ketentuan ini terkesan paradoks. Bagaimana mungkin lembaga legislatif yang notabene wakil dari partai-partai memainkan peran pelaksana pemilu. Mestinya pemberian sanksi dilakukan oleh KPUD sebagai penyelenggara Pilkada. Peran besar dari legislatif lokal ini jelas menjadi faktor distortif bagi Pilkada langsung. Kelima, potensi konflik pasca Pilkada langsung juga tak kalah krusialnya. Jika potensi-potensi konflik di atas tak bisa diantisipasi dan dimenej dengan baik, maka bakal memicu konflik pasca pelaksanaan Pilkada. Konflik pasca Pilkada juga dimungkinkan, jika terjadi kecurangan dalam proses pemilihan tanpa penyelesaian hukum yang adil, misalnya, menggunakan politik uang. Aturan yang termaktub dalam UU Pilkadal seolah membuka peluang terjadinya persaingan politik uang di antara para kontestan. Hal ini jelas menimbulkan kecemburuan di kalangan kontestan yang "miskin". Demokrasi Lokal Potensi konflik dalam Pilkada langsung jelas sangat menganggu proses penguatan demokrasi, tidak hanya di tingkat lokal, tetapi juga nasional. Potensi konflik itu bukan karena ketidaksiapan masyarakat, tetapi lantaran tidak utuhnya penerapan sistem demokrasi lokal, terutama yang disebabkan kelemahan aturan main. Jika potensi konflik dalam Pilkada langsung tidak dieliminir, bukan tidak mungkin akan berlangsung pelambatan proses demokrasi di daerah. Ilmuwan politik Juan J Linz dan Alfred Stepan mengatakan, suatu negara dikatakan demokratis bila memenuhi prasyarat antara lain memiliki kebebasan kepada masyarakat untuk merumuskan preferensi-preferensi politik mereka melalui jalur-jalur perserikatan, informasi dan komunikasi; memberikan ruang berkompetisi yang sehat dan melalui cara-cara damai; serta tidak melarang siapapun berkompetisi untuk jabatan politik. Dalam hal ini jelas, kompetisi politik yang damai menjadi prasyarat penting bagi demokrasi. Oleh karena itu, salah satu agenda terpenting dalam konteks Pilkada langsung adalah meminimalisir potensi-potensi konflik, baik yang terkandung dalam aturan main seperti UU 32/2004 dan PP No 6/2005 tentang Pilkada Langsung, maupun kendala sosial yang masih membelit. Agenda ini mesti sejalan dengan pembangunan bertahap budaya politik demokratis. Ini jelas bukan pandangan "under-estimated" terhadap perilaku masyarakat politik kita, tetapi lebih disebabkan sistem yang kini terbangun lewat berbagai aturan main masih berpotensi memicu munculnya budaya anti-demokrasi. Pilkada langsung merupakan salah satu kemajuan terbesar dalam reformasi politik di Indonesia. Pilkada nanti merupakan ikhtiar rakyat Indonesia terhadap demokrasi langsung setelah pilpres 2004. Tetapi di balik itu, juga harus diwaspadai potensi-potensi yang bisa menyebabkan agenda politik lokal berbalik arah, hanya karena ketidakbecusan dalam proses perencanaan dan pelaksanaannya. *** (Penulis adalah peneliti CIRUS, peserta program S-2 Ilmu Politik UI, dosen Universitas Andalas, Padang). Oleh Israr Iskandar Kamis, (10-03-'05) Ilmuwan politik Juan J Linz dan Alfred Stepan mengatakan, suatu negara dikatakan demokratis bila memenuhi prasyarat antara lain memiliki kebebasan kepada masyarakat untuk merumuskan preferensi-preferensi politik mereka melalui jalur-jalur perserikatan, informasi dan komunikasi; memberikan ruang berkompetisi yang sehat dan melalui cara-cara damai; serta tidak melarang siapapun berkompetisi untuk jabatan politik. Dalam hal ini jelas, kompetisi politik yang damai menjadi prasyarat penting bagi demokrasi.Oleh karena itu, salah satu agenda terpenting dalam konteks Pilkada langsung adalah meminimalisasi potensi-potensi konflik. Jika tidak ada aral melintang, bangsa Indonesia akan maju selangkah lagi dalam kehidupan demokrasinya. Wujudnya berupa pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung yang dimulai pertengahan tahun 2005. Ratusan kepala daerah telah habis masa jabatannya tahun ini. Dipastikan, Pilkada langsung yang pertama kali dilaksanakan di Tanah Air ini akan disambut gegap gempita. Apa pun, pelaksanaan Pilkada langsung mesti berjalan sukses dalam arti demokratis, aman, dan damai, sebagaimana Pemilihan Presiden 2004. Dalam hal ini, kesuksesan Pilkada langsung tidak hanya dilihat dari perspektif kemajuan pelaksanaan otonomi daerah, khususnya yang tertuang dalam Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, tetapi juga bagian inheren agenda reformasi politik, sebagaimana menjadi tuntutan mahasiswa saat meruntuhkan rezim Orde Baru. Namun di balik eforia menyongsong Pilkada langsung dewasa ini, ada masalah lain yang dapat membuat agenda politik lokal ini paradoks, yakni potensi konflik yang dikandungnya. Hal ini telah diingatkan banyak kalangan sejak awal. Potensi konflik jelas menjadi salah satu pekerjaan rumah seluruh perencana dan penyelenggara Pilkada langsung. Kalau tidak diantisipasi baik sejak dini, Pilkada nanti bakal menimbulkan konflik politik yang tidak hanya merugikan kepentingan rakyat, tetapi juga merusak benih-benih demokrasi di tingkat lokal. Lima Potensi Konflik Jika diidentifikasi, ada beberapa masalah di sekitar Pilkada langsung yang bisa memicu konflik politik di daerah. Pertama, terdapatnya peraturan Pilkada langsung yang menutup munculnya calon independen. Presedennya sudah dimunculkan pada Pilpres (Pemilu Presiden) lalu yang tak memperkenankan calon independen maju sebagai capres (capres) atau cawapres (calon wakil presiden). Salah satu kelemahan UU 32/2004 menyangkut Pilkada adalah pemberian otoritas penuh kepada partai politik sebagai satu-satunya penjual tiket calon kepala daerah. Hal ini tentu bisa memicu ketidakpuasan, karena pada kenyataannya di banyak daerah terdapat tokoh-tokoh non-partai yang disukai masyarakat. Kedua, kuatnya hubungan emosional antara kandidat dengan konstituen. Hubungan emosional antara konstituen dengan kepala daerah jauh lebih dekat dibandingkan dengan kepala negara atau pemimpin di level nasional. Hal itu bukan hanya disebabkan kedekatan fisik, tetapi juga sosial, budaya, geografis dan sebagainya. Jika tidak ada manajemen konflik yang baik, terutama terhadap bolong-bolong yang terdapat pada aturan Pilkada, maka ketidakpuasan konstituen terhadap konstituen dan kandidat lain atau proses pemilihan kepala daerah bisa memicu lahirnya konflik di daerah. Dengan kata lain, sensitivitas konstituen dalam pilkada sangat tinggi. Ketiga, UU 32/2004, seperti disebutkan di muka, memberi peluang dan dominasi kepada partai dalam proses pencalonan. Ada kemungkinan partai-partai besar terobsesi untuk hanya mencalonkan pasangan dari partai sendiri tanpa memperhatikan polarisasi politik yang ada. Padahal seharusnya, proses pencalonan kepala daerah harus mempertimbangkan kekuatan-kekuatan politik dan sosial yang terdapat di daerah bersangkutan. Kita ambil contoh proses pencalonan kepala daerah di Maluku, seharusnya tidak hanya mengakomodasi kekuatan-kekuatan politik yang ada, tetapi juga dua komunitas agama yakni Kristen dan Islam. Jika calon kepala daerahnya berasal dari komunitas Kristen, maka wakil kepala daerah mestinya dari kalangan Islam. Begitu pula sebaliknya. Akomodasi politik yang menjamin stabilitas pemerintahan lokal harus benar-benar tercermin dalam proses pencalonan kepala daerah. Keempat, kerancuan peran DPRD dalam Pilkada juga dapat memicu konflik. Pilkada memang sepenuhnya dilaksanakan oleh KPU Daerah, tetapi pertanggungjawabannya harus disampaikan kepada DPRD. Dalam hal ini, kerja KPUD (Komisi Pemilihan Umum Daerah) berpotensi diintervensi oleh partai politik yang mempunyai kekuatan di DPRD. Sebab, sejalan dengan kewenangan yang besar dalam proses-proses politik lokal, partai berpotensi membajak fungsi KPUD, jika kerja KPUD dianggap tidak menguntungkannya. (Supriyanto, 2004). Kerancuan peran DPRD juga terlihat dalam pasal 82 UU 32/2004 yang mengatakan bahwa pasangan calon dan/atau tim kampanye yang terbukti menjanjikan atau memberikan uang dan/atau materi untuk mempengaruhi pemilih berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, dikenai sanksi pembatalan pasangan calon oleh DPRD. Ketentuan ini terkesan paradoks. Bagaimana mungkin lembaga legislatif yang notabene wakil dari partai-partai memainkan peran pelaksana pemilu. Mestinya pemberian sanksi dilakukan oleh KPUD sebagai penyelenggara Pilkada. Peran besar dari legislatif lokal ini jelas menjadi faktor distortif bagi Pilkada langsung. Kelima, potensi konflik pasca Pilkada langsung juga tak kalah krusialnya. Jika potensi-potensi konflik di atas tak bisa diantisipasi dan dimenej dengan baik, maka bakal memicu konflik pasca pelaksanaan Pilkada. Konflik pasca Pilkada juga dimungkinkan, jika terjadi kecurangan dalam proses pemilihan tanpa penyelesaian hukum yang adil, misalnya, menggunakan politik uang. Aturan yang termaktub dalam UU Pilkadal seolah membuka peluang terjadinya persaingan politik uang di antara para kontestan. Hal ini jelas menimbulkan kecemburuan di kalangan kontestan yang "miskin". Demokrasi Lokal Potensi konflik dalam Pilkada langsung jelas sangat menganggu proses penguatan demokrasi, tidak hanya di tingkat lokal, tetapi juga nasional. Potensi konflik itu bukan karena ketidaksiapan masyarakat, tetapi lantaran tidak utuhnya penerapan sistem demokrasi lokal, terutama yang disebabkan kelemahan aturan main. Jika potensi konflik dalam Pilkada langsung tidak dieliminir, bukan tidak mungkin akan berlangsung pelambatan proses demokrasi di daerah. Ilmuwan politik Juan J Linz dan Alfred Stepan mengatakan, suatu negara dikatakan demokratis bila memenuhi prasyarat antara lain memiliki kebebasan kepada masyarakat untuk merumuskan preferensi-preferensi politik mereka melalui jalur-jalur perserikatan, informasi dan komunikasi; memberikan ruang berkompetisi yang sehat dan melalui cara-cara damai; serta tidak melarang siapapun berkompetisi untuk jabatan politik. Dalam hal ini jelas, kompetisi politik yang damai menjadi prasyarat penting bagi demokrasi. Oleh karena itu, salah satu agenda terpenting dalam konteks Pilkada langsung adalah meminimalisir potensi-potensi konflik, baik yang terkandung dalam aturan main seperti UU 32/2004 dan PP No 6/2005 tentang Pilkada Langsung, maupun kendala sosial yang masih membelit. Agenda ini mesti sejalan dengan pembangunan bertahap budaya politik demokratis. Ini jelas bukan pandangan "under-estimated" terhadap perilaku masyarakat politik kita, tetapi lebih disebabkan sistem yang kini terbangun lewat berbagai aturan main masih berpotensi memicu munculnya budaya anti-demokrasi. Pilkada langsung merupakan salah satu kemajuan terbesar dalam reformasi politik di Indonesia. Pilkada nanti merupakan ikhtiar rakyat Indonesia terhadap demokrasi langsung setelah pilpres 2004. Tetapi di balik itu, juga harus diwaspadai potensi-potensi yang bisa menyebabkan agenda politik lokal berbalik arah, hanya karena ketidakbecusan dalam proses perencanaan dan pelaksanaannya. *** (Penulis adalah peneliti CIRUS, peserta program S-2 Ilmu Politik UI, dosen Universitas Andalas, Padang). [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Help save the life of a child. Support St. Jude Children's Research Hospital's 'Thanks & Giving.' http://us.click.yahoo.com/mGEjbB/5WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx 5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx 6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/ ** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.uni.cc **