Syurganya bagi mahasiswa mas bro... Cari yang murah kan Zaman jd mahasiswa ________________________________ From: tea-corner-bounce@xxxxxxxxxxxxx [mailto:tea-corner-bounce@xxxxxxxxxxxxx] On Behalf Of gunawan prakoso Sent: Sunday, January 08, 2012 10:25 PM To: tea-corner@xxxxxxxxxxxxx Cc: gunawan.prakoso@xxxxxxxxx Subject: [breaktime-corner] Pasar Kota Kembang, Bandung: Cermin Pembajakan yang Terbiarkan Pasar Kota Kembang, Bandung: Cermin Pembajakan yang Terbiarkan SUATU hari di tahun 2005, teman kosan saya mengajak saya ke Kokom dengan gaya nakal. Yeah, jangan tanyakan ke saya gimana gaya nakal temen cowok saya itu. Tapi di pikiran saya, Kokom adalah sejenis Saritem atau Dolly. Saya pun menggeleng ogah. Dia pun kemudian bilang, kalau kita akan dapat kepuasan hanya dengan membayar lima ribu. Yeah, saya mulai berpikir macem-macem. Tapi setelah dipuringkal-puringkeul, tahulah saya kalau Kokom adalah Kota Kembang, sebuah areal toko yang isinya DVD/VCD/MP3/CD PS yang sialnya bajakan semua. <http://3.bp.blogspot.com/-mxJirsUVF0E/Twl51pxMhlI/AAAAAAAAHuo/AsJkb-35B fU/s1600/asewtey.JPG> Terletak di Dalem Kaum, Alun-Alun Bandung. Foto: wikimapia.org <http://4.bp.blogspot.com/-HqQdLlLQXTI/Twl7TdXlqUI/AAAAAAAAHu4/t0Rey23e8 b0/s1600/turtud.JPG> Parkir motor selalu penuh di sepanjang pinggir jalan. <http://3.bp.blogspot.com/-r-7orDYA6uM/Twl7X3c0RxI/AAAAAAAAHvA/mHghKive3 GQ/s1600/gfjdd.JPG> Kokom tampak pinggir (featuring: cewek pegang BB) Yeah, siapa, sih, yang enggak suka bajakan? Mungkin cuma orang kaya yang tentu enggak pelit yang suka nonton DVD orisinal yang harganya bisa sampe ratusan ribu per keping. Tapi Kokom selalu didatangi berbagai kalangan. Mulai dari mahasiswa, pekerja, kalangan menengah, bawah, orang kaya raya yang nyewa pembokat buat beli di sana. Pokoknya itu tempat bener-bener rame terutama pas weekend: Sabtu dan Minggu. <http://3.bp.blogspot.com/-9jMRX99ZwrY/Twl7cF96_nI/AAAAAAAAHvI/AIij7ojrY Yo/s1600/ste.JPG> Tampak depan (featuring: cewek berselempang putih dijual terpisah). Dan pada tahun 2005 itu, tempatnya lumayan kumuh, dengan lantai yang tidak dikeramik. Jika hujan turun, lantai pun becek dan bikin alas sandal atau spokat kita kotor. Lapak-lapak dipenuhi DVD-DVD yang berjejer rapi, para pedagang dan konsumen sibuk sendiri tanpa sempat memperhatikan orang sekitar. Harga per keping pun lima ribu rupiah sampai sekarang, meski sempat naik serebu perek eh perak pada tahun 2009-2010-an. Bertahun-tahun kemudian, si Kokom ini sudah lebih modern. Meski enggak banyak lapak yang nyediain TV plus DVD player buat ngecek-ngecek dipidi oleh konsumen, namun lantai yang berkeramik bikin tempat ini lumayan nyaman. Yah, tentu saja dengan desak-desakan yang sudah menjadi ciri khas. <http://1.bp.blogspot.com/-dC_ZYhdpz88/Twl5nlJL7fI/AAAAAAAAHuY/3aOg_liik a0/s1600/bvm%252C.JPG> Penjual dipidi. Ada 3 orang. Keknya kakak adik. <http://2.bp.blogspot.com/-nNNAQ24ydrc/Twl5rvbzCyI/AAAAAAAAHug/hA-nUkGMn bQ/s1600/fgjd.JPG> Kadang ini ibu penjual suka ngomel sendiri, lho. Saya sendiri selalu ke Kokom terutama sepanjang tahun 2007. Selepas itu saya jarang banget ke sana. Dan pada Kamis dan Sabtu kemarin saya kembali ke pangkuan Kokom dan bayangan masa lalu pun terlintas. Yeah, pedagang yang sama dengan seseorang di samping saya yang berbeda. Itu pasti menyakitkan jika menyadari kita tidak lagi ke tempat dengan orang yang sama seperti yang pernah terjadi di masa lalu. Dan ... cukup. Saya enggak akan membiarkan tulisan ini jadi mellow. Pasar Kota Kembang, Bandung: Cermin Pembajakan yang Terbiarkan SEBENARNYA pas saya masuk kuliah dan pikiran kritis saya semakin mengeong, saya sadar kalau apa yang selama ini saya lakukan adalah kesalahan. Yeah, saya telah mendukung pembajakan yang tentu mengangkangi hukum karena melanggar hak cipta. Tapi saya sudah mengonsumsi yang bajakan sejak SMA -saat itu format VCD. Tapi untuk skala kaset, saya selalu membeli yang orisinal sejak SD. Maklum, kalau kaset bajakan enggak akan ada sampul liriknya. Dan kemudian, kegiatan mengonsumsi DVD bajakan pun menjadi hobi lantaran kesukaan saya menonton film. Saya tentu hanya salah satu dari sekian ratus juta orang Indonesia yang melakukan hal yang sama. Dan saya pun beralibi: toh yang saya beli adalah bajakan film luar, jadi sekalian melawan kapitalisme orang barat. Dan lagi, toh yang bikin-bikin itu (produser) sudah pada kaya, jadi 'tak masalah' jika karyanya dibajak. Wong mereka sudah mendapatkan keuntungan lebih di negara asalnya. <http://2.bp.blogspot.com/-2AUMJ7f9vls/Twl5emrWTRI/AAAAAAAAHuI/VYqSUN0vl Ak/s1600/b%252Cn%252C.JPG> Tampak dalam (featuring: dua sejoli yg mu nuntun di kos2an). <http://3.bp.blogspot.com/-y2rvm839ZTQ/Twl5jpalL1I/AAAAAAAAHuQ/SwdxMaEBC ig/s1600/bmvm.JPG> Toilet, bayar serebu (featuring: pembersih WC). Di sisi lain, sebenarnya saya (kita) sudah beneran jadi kriminal pelaku smooth criminal. Di sisi lain, apa yang kita lakukan adalah suatu apresiasi besar terhadap film. Ah, gaya amat itu kalimat. Ngomong aja, keinginan membutuhkan hiburan. Yeah, apapun, masyarakat enggak akan mendapatkan akses mendapat bajakan jika pemerintah mengunci peredaran DVD bajakan. Namun faktanya, Kokom misalnya, tidak pernah di-banned sampai sekarang. Kokom pun sempat 'menghilang' atau ditutup, itu pun hanya berlangsung dalam hitungan pekan. Dan kita pun tahu apa yang terjadi 'di dalam'. Yeah, keberpihakan aparat terhadap praktek ilegal ini. Sebab jika pemerintah kita tegas, lapangan pekerjaan dari penjual DVD itu akan hilang, masyarakat kelas menengah ke bawah yang butuh hiburan itu pun cuma bisa nonton TV doang. Positifnya, masyarakat jadi kehilangan akses mendapatkan film-film tanpa sensor seperti film berbau seks dan kekerasan. Maklum, hari gini anak kecil aja bisa nonton Saw atau American Pie. Alias, semua genre film bisa dibeli secara bebas tanpa tebang pilih konsumen. Bagi penjual dipidi, yang penting mah laku. Lihat aja cara beberapa pedagang di luar toko nawar-nawarin bokep terutama ke cowok-cowok brondong atau tipikal mahasiswa. Hak atas Kekayaan Intelektual (HKI) Siapapun enggak sudi karya kita dibajak. Hal yang sering dialami oleh blogger yang karyanya wara-wiri tanpa izin di kancah internet. Sementara sang blogger sendiri sebenarnya sudah melakukan 'kejahatan' (nyindirdirisendiri.com). Yeah, dunia hukum mengenal sistem perlindungan Hak atas Kekayaan Intelektual. Adalah peran antara pencipta/inventor, pengusaha/industri dan pelindung hukum. Pada kenyataan di lapangan, sistem ini tidak berjalan baik karena beberapa faktor berikut (referensi: Fenomena VCD Bajakan di Antara Hak Kekayaan Intelektual <http://www.berpolitik.com/static/myposting/2008/11/myposting_17466.html > . <http://2.bp.blogspot.com/-xrzvfQU4x60/Twl5Yr3ggcI/AAAAAAAAHuA/REEefG0iR Wo/s1600/gfhf.JPG> 1. Lemahnya penegakan hukum Karya yang punya izin dan nomor hak cipta saja bisa dibajak, apalagi karya-karya blogger yang dipublikasikan bebas di internet. Saya tidak mau berpanjang-panjang karena bagian ini saya emang sengaja enggak mau banyak omong. Yeah, kalian tahu sendiri tentu. Di Bogor, jarak antara kantor polisi dan areal yang konon masih menjadi tempat prostitusi waria di Taman Topi saja masih tetap 'hidup'. Simak artikel hasil googling berikut: Tugas Jurnalisme - Artikel Feature <http://i-publish.tumblr.com/post/615860963/tugas-jurnalisme-artikel-fea ture> 2. Kesadaran Masyarakat Masyarakat kita memang perlu diberi banyak pemahaman. Namun pihak 'sono' mungkin merasa cukup dengan iklan layanan masyarakat yang menjamur pada akhir 2011, dan sayangnya udah jarang ditemukan (mungkin biaya pasang iklan di TV itu mahal). Soal pemahaman pun enggak hanya soal HKI, tapi aspek yang lainnya pula. Ini tentu PR yang susah dikerjakan. Jadi yang paling praktis adalah 'membiarkan' selama chaos tidak tampak ke permukaan. Yeah, fenomena gunung es. Dan kita enggak bisa berharap banyak dari Tanah Air kita. 3. Keadaan Ekonomi Jual beli film bajakan merupakan bidang pekerjaan yang menguntungkan produsen dan pelapak. Ini juga menguntungkan masyarakat kita yang kebanyakan kalangan menengah untuk mendapatkan tontonan yang 'layak'. Ketika TV hanya menawarkan akting sejenis Nikita Willy nangis yang lebih mirip orang nahan berak, penonton cerdas lebih milih drama Korea yang sialnya cuma bisa didapetin di Kokom atau Glodok, Jakarta. Kesimpulan KITA memang punya budaya memilih produk bajakan karena punya harga yang berbeda dengan kualitas yang setara dengan yang orisinal. Enggak hanya soal DVD, produk-produk pakaian saja banyak yang kawe (palsu). Dan ketika kita menggunakannya, tidakkah hati nurani kita mengatakan: wah, malu sebenarnya karena selama ini gue udah pake barang kawe bin bajakan. Tapi kata-kata batin itu dikikis manakala banyak orang yang melakukannya, sehingga membeli barang kawe, sudah bukan hal yang memalukan, apalagi dianggap melanggar hukum. Hanya, saya menyarankan untuk tidak membeli produk bajakan karya dalam negeri. Yah, meskipun saya juga pernahlah beli-beli MP3 bajakan Indonesia yang notabene jauh lebih murah dengan konten lagu yang sama-sama jernih dengan album aslinya. Pihak distributor musik pun sempat bikin MP3 yang murah meriah. Namun sepertinya kurang mendapat perhatian masyarakat. Meski dilabeli harga sepuluh ribu rupiah, namun masyarakat tentu mempertimbangkan hal lain: kelengkapan lagu. Distributor musik juga membuat pembelian lagu via internet secara legal dengan biaya lewat pulsa. Yah, semacam Itunes namun dengan pembayaran via pulsa. Namun saya enggak tahu apa cara ini berhasil. Sebab kayaknya mereka (produsen/musisi) lebih banyak kaya raya dari hasil RBT atau manggung di acara-acara alay sejenis Dahsyat, dll. Tapi para musisi ini tentu enggak salah kalau sempat keki sendiri lantaran angka pembajakan begitu liar di sini. Dan kelihatannya mereka mengutuk pengonsumen bajakan. Yeah, lihat dulu keberpihakan aparat kitalah. Lagian cobalah lihat kalangan yang lebih miskin dari mereka. Okey, dibajak itu nyakitin banget, tapi mereka masih bisa hidup enak. Sementara rakyat yang banting tulang tiap hari, kepinginlah sekali-kali nonton film berkualitas atau musik berkualitas tanpa keluar uang banyak. Atau kalau mau beneran bersih, pemerintah harus lebih tegas memberhangus pembajakan, dan produsen musik mengurangi harga kaset/CD.