[nasional_list] [ppiindia] surat jembatan sembilan: perlukah berbahasa diundangkan?

  • From: "Kusni jean" <katingan@xxxxxxxxxxxxxxxx>
  • To: "kmnu2000" <kmnu2000@xxxxxxxxxxxxxxx>, <wanita-muslimah@xxxxxxxxxxxxxxx>, "ppiindia" <ppiindia@xxxxxxxxxxxxxxx>
  • Date: Sat, 28 Jan 2006 15:52:20 +0100

** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com **Surat Jembatan Sembilan:

BAGAIMANA BEBAHASA PERLUKAH DIUNDANGKAN?

"The presence of loan words in any borrowing language can be accounted for by 
the fact that using ready made designations is more economic than describing 
things afresh"

Uriel Weinrich.



Diberitakan bahwa Menteri Pendidikan Nasional sedang merancangkan adanya sebuah 
Undang-undang [UU] yang terdiri dari 10 Bab dan 22 pasal yang membatasi 
penggunaan bahasa-bahasa asing dalam iklan dan media. Sebelas dari 22 pasal itu 
menetapkan bagaimana penggunaan bahasa Indonesia di media cetak dan elektronik, 
produk-produk paket barang dagangan sampai kepada plakat-plakat nama bangunan.

Alasan dasar yang digunakan oleh Menteri Pendidikan Nasional dalam merancangkan 
UU tersebut adalah demi melindungi bahasa-bahasa daerah [indigenous people] 
yang ada di Indonesia sehingga mereka tidak berada dalam keadaan terancam 
[Lihat:http://www.thejakartapost.com/detaileditorial.asp?fileid=20060125.E02&irec=1].

Harian The Jakarta Post kemudian menambahkan alasan sang Menteri dengan menulis 
 bahwa rancangan UU ini akan berdampak ganda: [1]. bahwa penggunaan bahasa 
asing menumbuhkan segregasi; [2].dengan menggunakan bahasa-bahasa lokal 
diharapkan tradisi dan budaya Indonesia bisa dipertahankan serta dapat 
mendorong rasa kebangsaan [nasionalisme] di kalangan orang-orang Indonesia.

Apakah alasan-alasan begini, alasan rasional dan sesuai kenyataan perkembangan 
suatu bahasa, lebih-lebih bahasa Indonesia?

Dilihat dari segi lahirnya, bahasa Indonesia, tidaklah berawal dari penetapan 
Undang-undang.Kalau pemahaman saya benar, ia bermula dari keperluan 
ekonomi-perdagangan yang menjadikan bahasa Melayu tua sebagai alat komunikasi 
yang dimungkinkan berdasarkan rumpun bahasa bahasa yang ada di kawasan 
Nusantara, khususnya yang kemudian berkembang menjadi bangsa, negeri dan negara 
yang disebut Indonesia dan Republik Indonesia.Kiranya bukanlah kebetulan jika 
bahasa Melayu menjadi lingua franca dan bukan bahasa Jawa atau bahasa-bahasa 
lainnya. Posisi lingua franca ini kemudian dipertegaskan oleh Sumpah Pemuda 
1928. 

Kosakata Bahasa Indonesia pun berasal dari berbagai bahasa bangsa-bangsa dan 
etnik-etnik yang menjalankan pergaulan di negeri ini. Dan hal ini pun tidak 
berlangsung disebabkan oleh adanya suatu UU perbahasaan.

Bahasa-bahasa daerah sendiri pun tidak luput dari perkembangan begini. Ambil 
sebagai contoh perkembangan bahasa Dayak Ngaju Kalimantan Tengah yang 
memperkaya diri dengan kosakata dengan kosakata dari bahasa Indonesia walau pun 
terkadang terjadi tabrakan nilai seperti perihal istilah 'bapak', 'ibu'. 
Tabrakan nilai yang tidak lepas dari pilihan politik pemegang kekuasaan 
politik. Dari segi ini saya kembali melihat bahwa bahasa merupakan pisau 
bermata dua. Di satu pihak sebagai alat komunikasi yang netral tapi di pihak 
lain ia merupakan sarana pencekokan nilai dominan yang membuat bahasa 
meninggalkan posisi netralitasnya. 

Apabila kita memperhatikan makna kosakata dari satu kurun sejarah ke kurun 
lainnya, kita barangkali kita bisa menyaksikan betapa makna kosakata pun 
berobah-obah.Dan perobahan itu tidak ditetapkan oleh UU tetapi oleh keadaan 
kongkret dalam masyarakat itu sendiri. Sebagai contoh pengertian 'genduk', 
'prestise', bapak, ibu.

Dalam masyarakat Jawa Tengah, kata 'genduk' adalah panggilan kesayangan pada 
anak perempuan. Tapi dalam perkembangan di masyarakat Solo misalnya, 'gendok' 
kemudian berkembang jadi sinonim dari kata 'babu' atau 'pembantu'. Prestise di 
Kalteng berarti 'malu'. Belum lagi jika kita memperhatikan kata-kata baru 
seperti 'sendok', 'garpu','komputer', 'listrik', yang diambil sebagai kosakata 
bahasa-bahasa daerah dan nasional dari mana kita bisa menyaksikan perkembangan 
saling hubungan antar bangsa, cupetnya sektarisme, dan bahwa bahasa mempunyai 
dinamika sendiri yang tidak bisa diatur oleh UU. Semua hal-hal tersebut di atas 
berkembang dan berada di luar pengaturan UU.Jadi kiranya tidak mungkin 
menggunakan pengucilan diri atau sektarisme dalam mengembangkan bahasa seperti 
melarang penggunaan istilah-istilah asing, sementara dalam istilah bahasa 
Indonesianya tidak ada. Bahasa itu sendiri akan berkembang menurut alur 
jalannya sendiri sekalipun memang ada faktor penataan profesional, tapi bukan 
dengan UU yang mengandung sanksi dan atau ganjaran jika terjadi pelanggaran. 
Barangkali yang paling banyak terkena sanksi dan ganjaran. UU tidak gubris akan 
 'licence poétique' [kebebasan berpuisi].

Sebaliknya, adanya pasal UUD 1945 yang merumuskan bahwa kebudayaan nasional 
adalah puncak-puncak kebudayaan daerah" saya kira telah membuka peluang legal 
bagi berkembangnya dominasi budaya mayoritas dan mengerangkeng perkembangan 
budaya lokal.

Bertolak dari latarbelakang sejarah dan kenyataan berkembangnya suatu bahasa, 
khususnya bahasa Indonesia dan bahasa-bahasa lokal Indonesia, apakah tepat 
mengundang-undangkan penggunaan bahasa seperti yang dirancangkan oleh Menteri 
Pendidikan Nasional sekarang? Tidak akankah pengundang-pengundangan begini akan 
mengganggu perkembangan wajar bahasa nasional dan daerah?

Jacques Toubon, menteri kebudayaan Prancis pada masa Jacques Chirac menjadi 
Perdana Menteri di masa pemerintah kohatitasi pernah mengundangkan pembatasan, 
bahkan mendekati pelarangan penggunaan istilah-istilah asing, terutama dari 
bahasa Inggris, tapi perkembangan nyata di lingkup Prancis dan Masyarakat Eropa 
telah menggagalkan UU Toubon yang disindir oleh pers asing [baca:Anglo-Saxon]  
sebagai 'tous est bon' [segalanya baik]. 

Saya tidak menyangkal bahwa penggunaan bahasa Indonesia sekarang ini tidak 
mendapat perhatian sungguh. Tapi keadaan ini saya kira tidak lepas dari masalah 
mentalitas bangsa. Ujud dari adanya rendah diri [bukan rendah hati]. 
Orang-orang merasa kurang gagah , kurang bermartabat jika tidak menggunakan 
bahasa asing. Dengan menggunakan sekecap dua bahasa asing sipengguna bahasa 
merasa martabatnya meningkat dan gagah. Hal begini saya pernah dapatkan di 
Harian Kalteng Pos Palangka Raya di mana seorang penulis mengatakan seakan-akan 
orang Dayak Oot Danom yang tinggal di pedalaman pulau fasih berbahasa Inggris  
dan di koran yang sama saya sering mendapatkan penggunaan istilah-istilah asing 
dalam makna yang keliru. Tidak usah jauh-jauh, pernah saya berhadapan dengan 
seorang lulusan fakultas sastra di Jawa yang keliru membedakan arti istilah 
'klasifikasi' dan 'terminologi'. Ini terjadi pada saat ia mendebat saya dalam 
soal 'sastra eksil'. Hal-hal ini menunjukkan bahwa orang akan merasa lebih 
bermartabat dan hebat jika sudah bisa menggunakan sekecap dua bahasa asing. 
Masih banyak persediaan contoh di lumbung pengalaman kongkret saya selama 
berada di Indonesia. Sebaliknya, saya sering dikritik sebagai berbahasa 
Indonesia terlalu baku. Padahal yang saya lakukan adalah buah pendidikan yang 
saya dapati selama di SMP Kristen Sampit di bawah Charles Kiting dan SMA St. 
Thomas Yogya di bawah Pak Situmorang. Mereka inilah yang bertahun-tahun. 
Merekalah yang mengajarku tentang kesadaran berbahasa. Saya kira kesadaran 
berbahasa ini pulalah inti anjuran Badudu agar kita berbahasa 'Indonesia yang 
baik dan benar'. Kesadaran berbahasa, kiranya, tidak mungkin dilakukan melalui 
UU.  

Barangkali dalam hal ini yang penting adalah masalah pendidikan, cara 
ajar-mengajar bahasa , masalah yang menyangkut kualitas guru dan kurikulum, 
jadi bukan masalah pengundang-undangan. Demikian juga halnya dengan 
pengembangan bahasa daerah. Daripada di UU kan tidakkah lebih baik dimasukkan 
ke dalam kurikulum? Saya khawatir, UU hanya menimbulkan masalah sanksi yang 
mentertawakan dan pembatasan yang menentang perkembangan serta ciri bahasa. 
Pengundang-undangan dengan dalih melindungi bahasa nasional dan bahasa daerah 
saya kira tidak sesuai dengan kenyataan dan bukan cara tepat mengkoreksi 
kesalahan politik bahasa Orba. Barangkali pengundang-undangan bagaimana 
berbahasa hanyalah varian dari suatu bentuk penindasan budaya juga adanya jika 
dilihat dari segi hakekat. 

Yang positif dari keinginan Menteri Pendidikan Nasional adalah kesadaran beliau 
akan arti penting bahasa -- hanya sejauh mana secara teoritis dan pemahaman 
masih perlu dipertanyakan, sampai ia perlu merancangkan suatu UU penggunaan 
bahasa.

Dalam hal ini barangkali menarik pengalaman Akademi Prancis yang terdiri dari 
ahli berbagai bidang. Kamus Bahasa Perancis standar diarahkan  dan diperbaharui 
serta diperkaya oleh Akademi ini tapi tidak melalui UU. Saya tidak tahu, apakah 
status Akademi Jakarta serupa dengan Akademi Prancis. Jika sama, mengapa cuma 
Jakarta? Barangkali daripada mengundang-undangkan bagaimana berbahasa, tidakkah 
lebih efektif jika menteri menangani masalah akademi ini atau mengefektifkan 
Dewan Pembinaan Bahasa dan soal kurikulum di sekolah-sekolah. Barangkali 
melalui lembaga dan cara-cara inilah kesadaran berbahasa ditumbuhkan secara 
wajar dan bukan dengan menggunakan UU yang cenderung membatasi dan membuat 
mandeg perkembangan. "Kekhawatiran terhadap haridepan Bahasa Indonesia oleh 
meluasnya pemaiakain istilah-istilah asing, seperti Bahasa Ingris, di 
Indonesia, hendaknya tidak usah dilebihy-lebihkan. Sebaliknya, keluwesan bahasa 
akan membantu daya hidup bahasa itu sendiri di tengah-tengah gelombang 
globalisasi", demikian Ahmad Qisai dari  Aligarh Muslim University in Aligarh, 
India dalam artikelnya "Language flexibility ensures survival'[Lihat: 
http://www.thejakartapost.com/detaileditorial.asp?fileid= 20060125. E03 &irec=2

Sekedar suatu pandangan.***

Paris, Januari 2006.
JJ. Kusni


[Non-text portions of this message have been removed]



***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com **

Other related posts:

  • » [nasional_list] [ppiindia] surat jembatan sembilan: perlukah berbahasa diundangkan?