** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List ** ** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: ** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ ** ** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral scholarship, kunjungi http://informasi-beasiswa.blogspot.com **Surat Jembatan Sembilan: BAGAIMANA BEBAHASA PERLUKAH DIUNDANGKAN? "The presence of loan words in any borrowing language can be accounted for by the fact that using ready made designations is more economic than describing things afresh" Uriel Weinrich. Diberitakan bahwa Menteri Pendidikan Nasional sedang merancangkan adanya sebuah Undang-undang [UU] yang terdiri dari 10 Bab dan 22 pasal yang membatasi penggunaan bahasa-bahasa asing dalam iklan dan media. Sebelas dari 22 pasal itu menetapkan bagaimana penggunaan bahasa Indonesia di media cetak dan elektronik, produk-produk paket barang dagangan sampai kepada plakat-plakat nama bangunan. Alasan dasar yang digunakan oleh Menteri Pendidikan Nasional dalam merancangkan UU tersebut adalah demi melindungi bahasa-bahasa daerah [indigenous people] yang ada di Indonesia sehingga mereka tidak berada dalam keadaan terancam [Lihat:http://www.thejakartapost.com/detaileditorial.asp?fileid=20060125.E02&irec=1]. Harian The Jakarta Post kemudian menambahkan alasan sang Menteri dengan menulis bahwa rancangan UU ini akan berdampak ganda: [1]. bahwa penggunaan bahasa asing menumbuhkan segregasi; [2].dengan menggunakan bahasa-bahasa lokal diharapkan tradisi dan budaya Indonesia bisa dipertahankan serta dapat mendorong rasa kebangsaan [nasionalisme] di kalangan orang-orang Indonesia. Apakah alasan-alasan begini, alasan rasional dan sesuai kenyataan perkembangan suatu bahasa, lebih-lebih bahasa Indonesia? Dilihat dari segi lahirnya, bahasa Indonesia, tidaklah berawal dari penetapan Undang-undang.Kalau pemahaman saya benar, ia bermula dari keperluan ekonomi-perdagangan yang menjadikan bahasa Melayu tua sebagai alat komunikasi yang dimungkinkan berdasarkan rumpun bahasa bahasa yang ada di kawasan Nusantara, khususnya yang kemudian berkembang menjadi bangsa, negeri dan negara yang disebut Indonesia dan Republik Indonesia.Kiranya bukanlah kebetulan jika bahasa Melayu menjadi lingua franca dan bukan bahasa Jawa atau bahasa-bahasa lainnya. Posisi lingua franca ini kemudian dipertegaskan oleh Sumpah Pemuda 1928. Kosakata Bahasa Indonesia pun berasal dari berbagai bahasa bangsa-bangsa dan etnik-etnik yang menjalankan pergaulan di negeri ini. Dan hal ini pun tidak berlangsung disebabkan oleh adanya suatu UU perbahasaan. Bahasa-bahasa daerah sendiri pun tidak luput dari perkembangan begini. Ambil sebagai contoh perkembangan bahasa Dayak Ngaju Kalimantan Tengah yang memperkaya diri dengan kosakata dengan kosakata dari bahasa Indonesia walau pun terkadang terjadi tabrakan nilai seperti perihal istilah 'bapak', 'ibu'. Tabrakan nilai yang tidak lepas dari pilihan politik pemegang kekuasaan politik. Dari segi ini saya kembali melihat bahwa bahasa merupakan pisau bermata dua. Di satu pihak sebagai alat komunikasi yang netral tapi di pihak lain ia merupakan sarana pencekokan nilai dominan yang membuat bahasa meninggalkan posisi netralitasnya. Apabila kita memperhatikan makna kosakata dari satu kurun sejarah ke kurun lainnya, kita barangkali kita bisa menyaksikan betapa makna kosakata pun berobah-obah.Dan perobahan itu tidak ditetapkan oleh UU tetapi oleh keadaan kongkret dalam masyarakat itu sendiri. Sebagai contoh pengertian 'genduk', 'prestise', bapak, ibu. Dalam masyarakat Jawa Tengah, kata 'genduk' adalah panggilan kesayangan pada anak perempuan. Tapi dalam perkembangan di masyarakat Solo misalnya, 'gendok' kemudian berkembang jadi sinonim dari kata 'babu' atau 'pembantu'. Prestise di Kalteng berarti 'malu'. Belum lagi jika kita memperhatikan kata-kata baru seperti 'sendok', 'garpu','komputer', 'listrik', yang diambil sebagai kosakata bahasa-bahasa daerah dan nasional dari mana kita bisa menyaksikan perkembangan saling hubungan antar bangsa, cupetnya sektarisme, dan bahwa bahasa mempunyai dinamika sendiri yang tidak bisa diatur oleh UU. Semua hal-hal tersebut di atas berkembang dan berada di luar pengaturan UU.Jadi kiranya tidak mungkin menggunakan pengucilan diri atau sektarisme dalam mengembangkan bahasa seperti melarang penggunaan istilah-istilah asing, sementara dalam istilah bahasa Indonesianya tidak ada. Bahasa itu sendiri akan berkembang menurut alur jalannya sendiri sekalipun memang ada faktor penataan profesional, tapi bukan dengan UU yang mengandung sanksi dan atau ganjaran jika terjadi pelanggaran. Barangkali yang paling banyak terkena sanksi dan ganjaran. UU tidak gubris akan 'licence poétique' [kebebasan berpuisi]. Sebaliknya, adanya pasal UUD 1945 yang merumuskan bahwa kebudayaan nasional adalah puncak-puncak kebudayaan daerah" saya kira telah membuka peluang legal bagi berkembangnya dominasi budaya mayoritas dan mengerangkeng perkembangan budaya lokal. Bertolak dari latarbelakang sejarah dan kenyataan berkembangnya suatu bahasa, khususnya bahasa Indonesia dan bahasa-bahasa lokal Indonesia, apakah tepat mengundang-undangkan penggunaan bahasa seperti yang dirancangkan oleh Menteri Pendidikan Nasional sekarang? Tidak akankah pengundang-pengundangan begini akan mengganggu perkembangan wajar bahasa nasional dan daerah? Jacques Toubon, menteri kebudayaan Prancis pada masa Jacques Chirac menjadi Perdana Menteri di masa pemerintah kohatitasi pernah mengundangkan pembatasan, bahkan mendekati pelarangan penggunaan istilah-istilah asing, terutama dari bahasa Inggris, tapi perkembangan nyata di lingkup Prancis dan Masyarakat Eropa telah menggagalkan UU Toubon yang disindir oleh pers asing [baca:Anglo-Saxon] sebagai 'tous est bon' [segalanya baik]. Saya tidak menyangkal bahwa penggunaan bahasa Indonesia sekarang ini tidak mendapat perhatian sungguh. Tapi keadaan ini saya kira tidak lepas dari masalah mentalitas bangsa. Ujud dari adanya rendah diri [bukan rendah hati]. Orang-orang merasa kurang gagah , kurang bermartabat jika tidak menggunakan bahasa asing. Dengan menggunakan sekecap dua bahasa asing sipengguna bahasa merasa martabatnya meningkat dan gagah. Hal begini saya pernah dapatkan di Harian Kalteng Pos Palangka Raya di mana seorang penulis mengatakan seakan-akan orang Dayak Oot Danom yang tinggal di pedalaman pulau fasih berbahasa Inggris dan di koran yang sama saya sering mendapatkan penggunaan istilah-istilah asing dalam makna yang keliru. Tidak usah jauh-jauh, pernah saya berhadapan dengan seorang lulusan fakultas sastra di Jawa yang keliru membedakan arti istilah 'klasifikasi' dan 'terminologi'. Ini terjadi pada saat ia mendebat saya dalam soal 'sastra eksil'. Hal-hal ini menunjukkan bahwa orang akan merasa lebih bermartabat dan hebat jika sudah bisa menggunakan sekecap dua bahasa asing. Masih banyak persediaan contoh di lumbung pengalaman kongkret saya selama berada di Indonesia. Sebaliknya, saya sering dikritik sebagai berbahasa Indonesia terlalu baku. Padahal yang saya lakukan adalah buah pendidikan yang saya dapati selama di SMP Kristen Sampit di bawah Charles Kiting dan SMA St. Thomas Yogya di bawah Pak Situmorang. Mereka inilah yang bertahun-tahun. Merekalah yang mengajarku tentang kesadaran berbahasa. Saya kira kesadaran berbahasa ini pulalah inti anjuran Badudu agar kita berbahasa 'Indonesia yang baik dan benar'. Kesadaran berbahasa, kiranya, tidak mungkin dilakukan melalui UU. Barangkali dalam hal ini yang penting adalah masalah pendidikan, cara ajar-mengajar bahasa , masalah yang menyangkut kualitas guru dan kurikulum, jadi bukan masalah pengundang-undangan. Demikian juga halnya dengan pengembangan bahasa daerah. Daripada di UU kan tidakkah lebih baik dimasukkan ke dalam kurikulum? Saya khawatir, UU hanya menimbulkan masalah sanksi yang mentertawakan dan pembatasan yang menentang perkembangan serta ciri bahasa. Pengundang-undangan dengan dalih melindungi bahasa nasional dan bahasa daerah saya kira tidak sesuai dengan kenyataan dan bukan cara tepat mengkoreksi kesalahan politik bahasa Orba. Barangkali pengundang-undangan bagaimana berbahasa hanyalah varian dari suatu bentuk penindasan budaya juga adanya jika dilihat dari segi hakekat. Yang positif dari keinginan Menteri Pendidikan Nasional adalah kesadaran beliau akan arti penting bahasa -- hanya sejauh mana secara teoritis dan pemahaman masih perlu dipertanyakan, sampai ia perlu merancangkan suatu UU penggunaan bahasa. Dalam hal ini barangkali menarik pengalaman Akademi Prancis yang terdiri dari ahli berbagai bidang. Kamus Bahasa Perancis standar diarahkan dan diperbaharui serta diperkaya oleh Akademi ini tapi tidak melalui UU. Saya tidak tahu, apakah status Akademi Jakarta serupa dengan Akademi Prancis. Jika sama, mengapa cuma Jakarta? Barangkali daripada mengundang-undangkan bagaimana berbahasa, tidakkah lebih efektif jika menteri menangani masalah akademi ini atau mengefektifkan Dewan Pembinaan Bahasa dan soal kurikulum di sekolah-sekolah. Barangkali melalui lembaga dan cara-cara inilah kesadaran berbahasa ditumbuhkan secara wajar dan bukan dengan menggunakan UU yang cenderung membatasi dan membuat mandeg perkembangan. "Kekhawatiran terhadap haridepan Bahasa Indonesia oleh meluasnya pemaiakain istilah-istilah asing, seperti Bahasa Ingris, di Indonesia, hendaknya tidak usah dilebihy-lebihkan. Sebaliknya, keluwesan bahasa akan membantu daya hidup bahasa itu sendiri di tengah-tengah gelombang globalisasi", demikian Ahmad Qisai dari Aligarh Muslim University in Aligarh, India dalam artikelnya "Language flexibility ensures survival'[Lihat: http://www.thejakartapost.com/detaileditorial.asp?fileid= 20060125. E03 &irec=2 Sekedar suatu pandangan.*** Paris, Januari 2006. JJ. Kusni [Non-text portions of this message have been removed] *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://groups.yahoo.com/group/ppiindia *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx 5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx 6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/ ** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List ** ** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: ** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ ** ** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral scholarship, kunjungi http://informasi-beasiswa.blogspot.com **