[nasional_list] [ppiindia] Tanggapan atas tulisan The Great Land Giveaway:

  • From: Mira Wijaya Kusuma <la_luta@xxxxxxxxx>
  • To: sastra pembebasan <sastra-pembebasan@xxxxxxxxxxxxxxx>, wahana-news-owner <wahana-news-owner@xxxxxxxxxxxxxxx>, Kana Dianto <kanadianto@xxxxxxxxx>, "H.Sayono" <hsayono@xxxxxxxxx>, Aktivis Bicara <aktivis_bicara@xxxxxxxxxxxxxxx>, herilatief@xxxxxxxxx
  • Date: Wed, 11 Mar 2009 08:09:33 -0700 (PDT)

Tanggapan atas tulisan

Judul   :       The Great Land Giveaway:
                Neo-Colonialism by Invitation
Oleh    :       James Petras - Axis of Logic
Tanggal :       30 November 2008, jam: 18.23
Sumber  :       http://axisoflogic.com/artman/publish/article_28905.shtml 
Judul Baru      :       Penyerobotan Tanah Secara Besar-besaran:
                Undangan Kepada Yang Terhormat Tuan Neo-kolonialis.
Penterjemah     :       Hinu Endro Sayono
Tanggal :       22 Desember 2008

Judul Tanggapan :       Penguasaan Lahan Tak Terbatas:
                Matilah Kau Rakyat, Aku Bersyukur Kalau
 Kau Mampus.
Penanggap       :       * Kanadianto
Tanggal :       11 Maret 2009


Setelah
mencermati tulisan diatas, baik naskah asli maupun terjemahannya, saya
menyadari bahwa apa yang tertulis disana memang benar adanya dan saat
ini semakin meluas. Dengan adanya krisis global yang terjadi saat ini
bukan berarti kejayaan kelompok neo-kolonial telah berakhir. Salah,
mereka hanya slow-down atau take a rest a while menunggu momentum
lanjutan yang akan memakan korban rakyat kecil yang miskin dan makin
termiskinkan oleh peraturan dan kebijakan pemerintah.

Dalam
tanggapan saya, saya hanya akan melihat dalam skop yang lebih kecil,
yaitu skup dalam negeri Indonesia. Karena itu adalah negaraku, yang
rakyatnya termiskinkan oleh neo-kolonial, bangsa sendiri, bangsa asing
maupun bangsa asing keturunan. Mereka membentuk
konglomerasi-konglomerasi (imperium) kekuasan atas tanah dan hasil
buminya untuk kepentingan mereka dan negara asal mereka saja dan
mengabaikan kepentingan rakyat dimana mereka berusaha.

Imperium
asing, setengah asing (asing keturunan) dan pribumi (bangsa sendiri)
secara bersama-sama dan sendiri-sendiri berusaha melakukan penguasaan
atas lahan rakyat secara perlahan tetapi paksa untuk melakukan usahanya
tanpa pernah memikirkan kepentingan dan nasib rakyat kecil setempat.
Rakyat hanya diberikan iming-iming pekerjaan tetapi nyatanya pekerjaan
diberikan dengan perjanjian yang sangat memberatkan kehidupan ekonomi
rakyat. Mereka, rakyat miskin yang lugu semakin termiskinkan. Sebuah
skenario pemiskinan jangka panjang dan bertahap, sehingga akan
melahirkan ketergantungan rakyat kepada kaum imperialis baru
(neo-imperialis). Semakin miskin rakyat semakin baik bagi para
imperialis baru tersebut.

Neo-imperialis akan meneriakkan dalam
hatinya; “Matilah kau rakyat, Aku bersyukur kalau kau mampus”, karena
semakin sengasara rakyat maka semakin berkuasalah para neo-imperialis
tersebut dan akan segera melahirkan Neo-kolonial. Kenyataan di lapangan
memang begitu adanya, tetapi pemerintah tidak berusaha sedikitpun untuk
rakyatnya. Alasannya klasik, Negara memerlukan dana pembangunan yang
dikucurkan oleh negara donator, yang telah perjanjiannya selalu saja
tidak berpihak kepada Indonesia.

Bentuk bantuan dan perjanjian
inikah yang diperlukan oleh negara ini? Sebenarnya tidak, karena rakyat
tidak menghendakinya, yang menghendaki adalah para imperium lokal dan
keturunan. Lantas dimana posisi rakyat yang katanya kekuasaan tertinggi
di tangan rakyat (demokrasi) melalui perwakilannya. Para wakil inilah
yang kemudian mengambil keuntungan atas posisinya dan menjadi imperium
kelas menengah atas atau lebih tepatnya sebenarnya mereka peran mereka
adalah “perantara” antara neo-imperium dan rakyat yang seharusnya
mereka bela tetapi demi status barunya maka keberpihakannya lebih
kepada para neo-imperialis.

Mari kita lihat pola pengembangan
perumahan di kota-kota baru di seputar kota besar, seperti Jakarta,
Bogor, Bandung, Semarang, Surabaya, Denpasar, Makassar, Medan dan
beberapa kota lainnya. Lahan-lahan produktif maupun tak produktif
diubah fungsinya menjadi lahan perumahan tanpa memperdulikan fungsi
ekonomis bagi rakyat kecil dan fungsi ekologisnya. Perumahan dan
pertokoan dibangun, tenaga kasar (tingkat yang ter-rendah) dengan upah
harian terkecil (jauh dibawah batas UMR setempat) tetapi dengan resiko
PHK yang paling rentan. Setelah perumahan dan pertokoan berdiri maka
tenaga setempatlah yang pertama kali berhenti bekerja. Mulailah terjadi
pengangguran, kriminalitas meningkat. Mereka takkan mampu bersaing
untuk memperoleh pekerjaan di pertokoan maupun perkantoran baru yang
ada karena keterbatasan ilmu dan ketrampilan. Kembali mereka menjadi
kelompok pekerja kelas paling bawah dan paling berresiko PHK terbesar.
Yang pada akhirnya memaksa mereka menyingkir lebih jauh ke pelosok
menjauhi kota yang berkembang. Beginikah model pembangunan yang
diharapkan oleh rakyat? Yang pendanaannya dipinjam oleh Negara atas
nama rakyat? Lalu siapa yang menikmati dan siapa yang tersingkirkan?

Mari
kita coba tengok pembangunan lahan-lahan perkebunan yang katanya untuk
menambah devisa Negara demi meningkatkan kesejahteraan rakyat. Imperium
asing didatangkan dengan membawa modal dengan alasan investasi tetapi
nyatanya adalah penjajahan ekonomis oleh para neo-kolonial terhadap
rakyat miskin. Berhektar-hektar lahan yang biasa digarap rakyat untuk
memenuhi kebutuhan ekonomisnya digusur dengan dijanjikan sebagai
karyawan tetapi kenyataannya bahwa mereka diterima bekerja pada posisi
terrendah dengan gaji terrendah pula dan memiliki resiko PHK terbesar.
Padahal selama ini meski mereka ekonomi kehidupannya sangat pas-pasan
tetapi ada kemerdekaan atas pemilikan lahan garapan, tetapi sekarang
kehidupan ekonomisnya sama (bahkan cenderung menurun) tetapi mereka
tidak lagi memiliki lahan garapan. Artinya sebenarnya mereka bertambah
miskin dan semakin tidak sejahtera dengan adanya investasi model
seperti ini.

Belum lagi korban-korban pembangunan yang dilakukan
oleh kaum neo-kolonial ini yang memiliki dampak sosial, kesehatan,
ekonomis dan pendidikan, seperti kasus di Sidoarjo. Kasus yang telah
bertahun-tahun tanpa penyelesaian dari pemerintah yang berpihak kepada
rakyat miskin. Mereka semakin menjadi miskin dari waktu ke waktu, baik
miskin secara ekonomis, pendidikan, moral, kesehatan dan psikologis.
Mereka adalah sebagian saja korban pembangunan yang tak sama sekali
berpihak kepada rakyat, tetapi selalu saja usaha mereka untuk
memperoleh kesejahteraannya kembali diganjar dengan tekanan secara
langsung maupun tidak, dengan diberikannya janji-janji manis nan palsu
yang selalu saja berpihak kepada para neo-kolonial yang terkait.

Apakah
hasil dari Tembaga Pura, Blok Cepu, Tambang emas di NTT, usaha retail
dan super-market asing, eksplorasi laut dan masih banyak lagi, bagi
rakyat Indonesia.?
Adakah rakyat menjadi lebih sejahtera dengan adanya investasi tersebut?
Haruskan investasi seperti ini dilanjutkan? Haruskah diperlukan investasi oleh 
para neo-kolonialis baru?
Tidak adalah jawaban yang paling tepat.

Siapakah
sebenarnya yang memiliki kekayaan seluruh isi bumi nusantara ini?
Rakyat atau para neo-kolonial? Jika rakyat kenapa rakyatnya miskin dan
sengsara tetapi negaranya kaya makmur, sedangkan para neo-kolonial
menjadi semakin kaya. Seharusnya kekayaan bumi nusantara ini adalah
milik rakyat sepenuhnya yang pengelolaannya diserahkan kepada negara
untuk kesejahteraan rakyat banyak. Jadi semua adalah milik semua untuk
kepentingan semua secara bersama-sama dan merata. Sebenarnya ini adalah
pengenjah-wantahan dari sikap dan karakter asli bangsa indonesia, yaitu
”Gotong-royong”, bukan karakter sosialis barat jika hendak dikatakan
sosialis tetapi ”Sosio-Nasionalis”, atau ”Nasionalisme Pancasila”.

Kemudian bagaimana dengan kelanjutan pembangunan yang diperlukan oleh bangsa 
ini?
Adalah solusi lain yang lebih berpihak kepada rakyat miskin?
Pasti ada, itulah jawaban yang tepat.

Pertanyaannya
adalah ”Apakah kita dan rakyat secara bersama-sama berani dan bisa
untuk menyingkirkan para neo-kolonial tersebut”; ”Apakah kita, rakyat
siap untuk miskin dan sengasara bersama-sama untuk menuju kesejahteraan
bersama di kemudian hari”

* Kanadianto - Caleg DPRD-PDIP 2009 - 2014 kab. Tangerang, no 8, dapil ciputat, 
ciputat timur & pamulang.

------------------------------------
AxisofLogic/ Critical AnalysisBron: axisoflogic.comThe Great Land Giveaway: 
Neo-Colonialism by Invitation

Information about KUDETA 65/ Coup d'etat '65, click: http://www.progind.net/  ; 
http://geocities.com/lembaga_sastrapembebasan/ 


      

[Non-text portions of this message have been removed]

Other related posts:

  • » [nasional_list] [ppiindia] Tanggapan atas tulisan The Great Land Giveaway: - Mira Wijaya Kusuma