[nasional_list] [ppiindia] Tak Perlu "Atas Nama'' Kemiskinan

  • From: "Ambon" <sea@xxxxxxxxxx>
  • To: <"Undisclosed-Recipient:;"@freelists.org>
  • Date: Fri, 6 Jan 2006 01:25:37 +0100

** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com **RIAU POS

      Tak Perlu "Atas Nama'' Kemiskinan        


      Kamis, 05 Januari 2006  
      Laporan Jarir Amrun, j ariramrun@xxxxxxxxxxx Alamat Email inidilindungi 
dari bot spam, Anda Harus Mengaktifkan Javascript Untuk Melihatnya 

      Ada lagu Iwan Fals, yang sangat cocok bagaimana menggambarkan kemiskinan 
yang melanda negeri ini. Lagu itu diberi judul Galang Rambu Anarki. Begini 
liriknya: 

      Maafkan kedua orang tua mu kalau 
      tak mampu beli susu
      BBM naik tinggi 
      susu tak terbeli 
      Orang pintar tarik subsidi
      bayi kami kurang gizi 

      Bicara soal kemiskinan dan kebodohan, bagaikan dua sisi mata uang logam 
yang tidak bisa dipisahkan. Ceritanya diawali tahun 2002, masih segar dalam 
ingatan kita, dana pengentasan kemiskinan pada masa awal Gubri H Saleh Djasit 
Rp75 miliar. Dana itu disalurkan melalui enam dinas dan badan di lingkungan 
Pemprov Riau dan sekitar Rp18 miliar disalurkan melalui Bank Bukopin, yakni 
untuk pembangunan koperasi swamitra yang jumlahnya sekitar 36 unit, atau 
masing-masing swamitra mendapat Rp500 juta.

      Dengan modal Rp500 juta bagi suatu koperasi sebenarnya banyak yang dapat 
dilakukan, tetapi sepertinya gaung swamitra kurang terdengar (sayup-sayup), 
yang menjadi masalah adakah semua swamitra itu masih eksis atau tidak ada lagi. 
Memang pernah pihak Bank Bukopin Riau menyatakan untung, tapi apakah publik 
mengetahuinya, jangan-jangan buntung lagi, sebab kabarnya swamitra dan Bank 
Bukopin masih rugi karena pada tahap awal dana yang Rp500 juta untuk 
masing-masing koperasi habis untuk menggaji karyawan yang baru saja direkrut 
dan penyediaan alat-alat kantor baru. Alangkah naifnya, jika Bank Bukopin harus 
mendirikan swamitra yang baru, padahal masih banyak koperasi simpang pinjam 
yang sehat yang bisa diberi label swamitra lalu diberi bantuan, dari pada harus 
mempersiapkan kantor baru, peralatan komputer baru, meja dan karyawan baru. 
Bukankah karyawan yang koperasi lama itu sangat layak dan sudah terbukti 
berhasil.

      Ada sejumlah koperasi yang sebelumnya sudah eksis terpaksa harus mati dan 
para pegawainya diganti dengan yang baru, termasuk kantor pun harus baru, 
pokoknya serba baru. Nah, soal yang baru-baru ini kan proyek namanya, minimal 
penyediaan komputer baru, meja baru dan lainnya, itu lah peluang orang zalim 
mendapatkan keuntungan. Bayangkan, jumlahnya 36 koperasi swamitra yang harus 
diisi meja baru, komputer baru dan yang serba baru lainnya.

      Belum lagi dana untuk pelatihan karyawan baru, tentunya mereka harus 
menguasai seluk beluk sistem online antara koperasi Swamitra dengan Bank 
Bukopin di Pekanbaru. Dana-dana untuk pelatihan dan pengadaan yang serba baru 
ini lah yang menyebabkan program ekonomi kerakyatan itu ''gagal''. Sebab, 
seharusnya dana itu bisa disalurkan langsung pada pelaku usaha mikro dan kecil 
di sekitar koperasi, tapi sayang dana itu pun habis hanya untuk pengadaan 
kantor dan peralatan kantor yang serba baru, termasuk karyawan barunya.

      Selanjutnya Bagaimana?
      Bagaimana program ekonomi kerakyatan selanjutnya? Sampai akhir masa 
jabatan Gubernur Saleh Djasit, program ekonomi kerakyatan yang disetujui dewan 
Rp175 miliar. Dana tersebut dianggarkan selama dua tahun, tahun pertama Rp75 
miliar dan tahun berikutnya Rp100 miliar, walau yang diusulkan tahun kedua ini 
sebenarnya Rp125 miliar tetapi yang disetujui hanya Rp100 miliar.

      Swamitra tidak lagi mendapatkan jatah untuk pengentasan kemiskinan, semua 
dana disalurkan melalui dinas dan badan. Sejumlah dinas yang dipercaya 
menyalurkan dana ekonomi kerakyatan ini antara lain, Dinas Perikanan, Dinas 
Tanaman Pangan, Dinas Perkebunan, Dinas Peternakan, Dinas Koperasi dan UKM, 
Dinas Perdagangan dan Industri dan Badan Perlindungan dan Pemberdayaan 
Masyarakat (BPPM).

      Masing-masing dinas sudah berupaya menjalankan amanahnya, tetapi tetap 
saja selalu mengalami kendala, kalau di Dinas Peternakan kasusnya banyak 
kambing dan lembu mati. Alasan si petani, kambing yang diberi dinas terlalu 
kecil, seperti hidup segan mati tak mau. Permasalahannya, sampai hati lah Dinas 
Peternakan menyediakan anak kambing yang kurus itu dari Lampung. Nah, di sini 
lah ''proyek membodohi'' rakyat miskin itu pun berjalan. Padahal, kalau uang 
Rp300 ribu diserahkan pada si peternak, pasti dia sudah bisa membeli kambing 
perawan yang sehat dan bukan lagi anak kambing yang kurus ceking. Makanya, 
jangan heran kalau ada petani yang menolak anak kambing dan anak lembu itu. 
Petani yang berani menolak ini lah sebenarnya petani yang ''bertanggung 
jawab'', dia berpikir lebih baik tidak menerima dana ekonomi kerakyatan berupa 
anak kambing kerdil dari pada harus memelihara kambing kurus dan tentunya 
menanggung utang di kemudian hari.

      Indikasi penyimpangan penyaluran dana ekonomi kerakyatan ini terlihat 
dari kerja para dinas yang terkesan masih projec oreinted. Kalau mau jujur, 
hampir di setiap dinas terjadi penyimpangan, walaupun kecil-kecilan. Misalnya 
di Dinas Perkebunan, pembangunan perkebunan rakyat di Kuansing terkendala 
akibat ulah pengembang, padahal dana sudah dicairkan. Untung saja rakyat 
melaporkan kasus ini ke publik (mass media) dan pihak-pihak yang terkait proyek 
perkebunan sawit di Kuansing tersebut dipanggil Gubri ketika itu, Saleh Djasit, 
kalau tidak, dana sudah tersalurkan tetapi perkebunan tinggal di alam mimpi 
petani.

      Demikian juga di dinas lainnya, penyaluran dana ekonomi kerakyatan banyak 
yang belum tepat sasaran. Ada pelaku ekonomi yang usahanya tidak jelas tetapi 
mendapatkan pinjaman dana ekonomi kerakyatan. Mengapa banyak peminatnya? Mau 
tahu ya, bunga pinjaman dana ekonomi kerakyatan ini sangat murah yakni tiga 
persen per tahun. Bayangkan, mana ada bank yang mau memberikan bunga semurah 
ini.

      Tapi tidak semuanya buruk periode Saleh Djasit ini, banyak sisi 
positipnya, keburukan yang ada itu menjadi pelajaran bagi kita ke depan. Upaya 
pengentasan kemiskinan ini tidak hanya masa satu gubernur, tapi berkelanjutan 
sampai puluhan gubernur berikutnya, maka hal-hal yang buruk tersebut jangan 
sampai terulang kembali dan seharusnya pula dana ekonomi kerakyatan ini tidak 
dihapuskan, walau bentuknya bukan dana ekonomi kerakyatan namanya tetapi 
pemberdayaan ekonomi rakyat ini harus dianggarkan. Setiap tahun, siapa pun 
gubernurnya, dana untuk pengentasan kemiskinan ini harus tetap ada, seperti 
pada masa Gubernur Riau HM Rusli Zainal SE saat ini, dana pengentasan 
kemiskinan ini dikenal dengan prograam K21, yakni pengentasan kemiskinan, 
kebodohan dan pembangunan infrastruktur.

      Menguji ''Jurus'' K21
      Mirip dengan priode sebelumnya, masa Gubri HM Rusli Zainal ini 
menjalankan jurus-jurus pengentasan kemiskinannya agak lambat tapi bukan karena 
faktor pribadi Gubri, hambatannya dari luar, selain para dewan yang terhomat, 
juga hambatan internal dinas yang seharusnya membantu Gubri menjalankan tugas 
pengentaskan kemiskinan dan kebodohan ini. Yang terkesan lebih banyak kasus 
perebutan tendernya atau berebut ''kue anggaran'' daripada kinerja, bahkan tak 
jarang harus ''berkelahi'' membawa ''algojo'' untuk mendapatkan proyek, seperti 
kasus di Dinas Pendidikan yang memakan korban jiwa akibat perebutan proyek.

      Selanjutnya, mengapa dewan dianggap penghambat program pengentasan 
kemiskinan? Dewan yang ''terhormat'' ini lebih banyak menuntut haknya daripada 
hak rakyat yang diwakilinya, mereka menuntut mobil baru (mungkin untuk istri 
baru), tunjangan, honor tambahan dan hak-hak lainnya. Dan yang paling fenomenal 
adalah tuntutan mantan anggota dewan soal dana Purnabakti yang jumlahnya Rp800 
juta lebih, tapi sayang sampai sekarang tidak tahu kabarnya, mungkin diam-diam 
sudah cair. Idealnya dewan jangan terlalu sering mem-pending anggaran untuk 
rakyat miskin, nanti bisa terhambat rezekinya.

      Tapi sepertinya dewan yang terhormat sekarang tetap berani membatalkan 
anggaran yang terkait dengan keperluan rakyat langsung, artinya sering tarik 
ulur, apakah ada kepentingannya atau tidak Wallah A'lam. Sementara dalam waktu 
yang sama anggaran pembelian mobil dinas baik untuk pejabat eksekutif apa lagi 
untuk legislatif, semuanya berjalan mulus tidak perlu ada tanda bintang, walau 
anggaran ini sangat kontras dengan kemiskinan yang melanda bumi lancang kuning 
ini.

      Betapa tidak ironi, ketika panen raya padi misalnya, pejabat eksekutif 
dan legislatifnya mengunjungi petani dengan mobil mewah- entah apa namanya 
Terrano King, pokoknya mahal-, sementara petani miskin yang didatangi pejabat 
ini kondisinya sangat memprihatinkan perlu modal dan tidak mendapatkan sentuhan 
bantuan dana dari pemerintah. Dan paling menyakit kan lagi, si petani miskin 
yang harus patungan menyediakan makanan dan minuman untuk menjamu pejabat yang 
datang itu. Ya Allah, ampuni lah dosa mereka.

      Kembali soal K21, paradigma yang dibangun Rusli Zainal memang agak 
berbeda dengan gubernur sebelumnya, dia memahami pengentasan kemiskinan di 
negeri ini tidak harus memberikan pinjaman, tetapi memberi fasilitas yang 
mendukung si miskin dapat berinteraksi dengan dunia luar. Dan diharapkan dengan 
terbuka wilayah terisolir tempat si miskin bermukim, dapat mengubah 
kehidupannya. 

      Mungkin lebih tepatnya seperti orang yang bermain bilyar, bola yang 
disodok dengan stik itu bukan sasaran, tetapi sasaran itu adalah bola 
berikutnya. Dalam kenyataanya, misalnya pembangunan jalan antara 
Dumai-Sungaipakning (anggaran multi years), yang diharapkan dampaknya bagi 
masyarakat, yakni sebagai alat transfortasi untuk mengangkut hasil pertanian 
pedesaan, dan akan berpengaruh dalam mengurangi angka kemiskinan di daerah 
terisolir. Maka posisi infrastruktur di sini sangat penting, sebagai alat untuk 
pengentasan kemiskinan dan kebodohan.

      Di sisi lain, memang ada dana untuk pengentasan kemiskinan dan kebodohan, 
tapi tidak lagi dana pinjaman bergulir, karena dianggap dana pinjaman bergulir 
yang dikelola PT PER sudah cukup, yakni Rp60 miliar. Dana yang disediakan untuk 
pengentasan kemiskinan ini misalnya, dana otonomi desa yang dititipkan melalui 
BPPM, yakni untuk pengentasan kemiskinan di 22 desa sebagai pilot project-nya 
masing-masing desa akan mendapatkan dana Rp500 juta, total keseluruhan Rp11 
miliar. Dana ini sebaiknya didampingi tenaga penyuluh di desa, agar tidak hilas 
seperti asap.

      Bagaimana dengan tugas dinas-dinas yang berkaitan langsung dengan rakyat 
miskin? Masing-masing tetap mendapatkan jatah program pengentasan kemiskinan, 
tapi tidak ada satu pun dana pinjaman bergulir. Misalnya tahun 2005 ini Dinas 
Pertanian Riau menganggarkan pembangunan terminal agrobisnis di Dumai dengan 
total anggaran Rp15 miliar, pembangunan pusat pengolahan besat (rice processing 
complex) di Inhil dan Rohil Rp15,6 miliar. Demikian juga di Dinas Perikanan dan 
Kelautan Riau, tersedianya anggaran operasional tenaga pendamping program 
ekonomi kerakyatan Rp288 juta, peningkatan kualitas SDM petani, nelayan dan 
instruktur Balai Pelatihan Perikanan Rp1,378,800.000. Di Dinas Peternakan, 
dianggarkan dana operasional petugas penyuluh lapangan pemberdayaan ekonomi 
kerakyatan Rp390 juta. Tapi  banyak menyedot dana APBD adalah di Disbun, yakni 
pembangunan kebun sawit seluas 4.800 hektare dengan anggaran Rp87,12 miliar. 
Dana pemeliharaan kebun karet di Koto Panjang Rp2,5 miliar da
 n ari beberapa anggaran pengentasan kemiskinan sejumlah dinas dan badan 
tersebut, yang  menonjol program kebun sawit, yakni Rp87 miliar lebih, 
pembangunan terminal agribisnis di Dumai Rp15 miliar, pembangunan pusat 
pengolahan beras Rp15,6 miliar  dan juga program otonomi desa Rp11 miliar yang 
dititipkan di BPPM. Empat program ini sangat rawan terjadinya penyimpangan, 
terutama pembangunan perkebunan, sebagaimana dialami program ekonomi kerakyatan 
masa gubernur sebelumnya, bahwa penanggung jawab pengolahan perkebunan ini 
selalu abai atau mau mendapatkan keuntungan besar. Tak jarang dana sudah cair, 
tetapi lahan perkebunan tidak terurus atau belum digarap sama sekali. Belum 
lagi kasus persengketaan tanah yang akan digunakan untuk perkebunan rakyat 
seluas 4.800 Ha di 10 kabupaten itu, sampai setakat ini masih banyak yang belum 
jelas. Dana sudah ada, tapi kerja belum ada. Nah, ini lah yang menjadi 
pertanyaan untuk Dinas Perkebunan Riau.

      Khusus pembangunan terminal agrobisnir di Dumai memang diperlukan petani, 
tapi peluang terbengkalainya terminal ini pun cukup besar, bahkan bukan hanya 
terbengkalai, terminal ini akan memerlukan biaya perawatan yang cukup tinggi 
setiap tahunnya. Alangkah baiknya jika dana ini digunakan untuk memperbaiki 
pasar-pasar tradisional yang sudah ada, apakah di dekat Pelabuhan Dumai atau 
daerah lain. Artinya  bukan lagi membangun pasar yang megah tetapi 
mengembangkan pasar-pasar tradisional yang sudah ada, menjadi tempat transaksi 
hasil-hasil pertanian yang lebih lengkap lagi. Jumlah pasar tradisional ini 
sangat banyak, hampir ada di setiap kabupaten ada, misalnya Pasar Ujungbatu, 
Pasar Tandun, Pasar Sorek, Pasar Taluk, Psar Pangkalankerinci, Pasar Perawang. 
Pasar-pasar tradisional ini sangat bererti bagi petani dan pelaku pasar 
setempat. Kalau tidak percaya, coba saja melihat pasar tradisonal ini pada 
pukul 04.00 WIB pagi, berapa ton sayur yang masuk ke pasar ini. Memang khusus
  untuk pasar ekspor perlu pelabuhan, tetapi selama ini ekspor di Riau baru 
sayur dan ekspor sayur dari Riau itu pun cukup menggunakan pelabuhan eks Caltex 
saja di Rumbai, bahkan pengirimannya pun menumpang dengan kapal milik sebuah 
perusahaan swasta yakni pemilik Pasar Buah Pekanbaru dan semuanya berjalan 
lancar, sesuai dengan fluktuatif permintaan pasar Singapura. 

      Soal pembangunan pusat pengolahan beras memang begitu berarti bagi 
petani. Yang dikhawatirkan manajemen pusat pengolahan beras ini tidak becus. 
Selama ini petani lebih suka menggiling padinya ke penggilingan padi milik 
swasta daripada ke koperasi, walau failitasnya dengan alat prosessing yang 
canggih. Jadi dikhawatirkan akan terjadi pemborosan anggaran. Untuk itu, 
Pemprov bersama Pemda Inhil dan Rohil harus mengawasi dan menempatkan 
orang-orang yang benar-benar dan mau kerja seluruh waktunya untuk pusat 
pengolahan beras. Kalau tidak menemukan orang yang tepat, sebaiknya pusat 
pengolahan beras tersebut diserahkan saja pada swasta. Biasanya swasta tak mau 
rugi, jadi bagaimana pun pengelolaan beras ini akan berhasil.

      Demikian juga mengenai anggaran otonomi desa, dana yang totalnya Rp11 
miliar ini rawan kabur, karena anggaran ini diperuntukan modal usaha desa bukan 
pembangunan fisik desa. Asal jangan pula menjadi modal usaha kepala desa. Nah, 
SDM kepala desa ini masih banyak yang belum siap menerima dana sebanyak itu, 
maka perlu pengawasan. Ketika penulis meliput ke sejumlah daerah terisolir di 
Riau, masih banyak kepala desa yang belum siap menerima dana yang jumlahnya 
ratusan juta itu, walau pun uang bantuan desa yang memegangnya adalah bendahara 
desa bukan kepala desa. Ada kabar, sebelum uang diambil melalui bendahara desa, 
di tengah jalan bendahara desa dicegat kepala desa dan meminta uang bantuan 
desa itu. Uang pun habis digunakan untuk keperluan pribadi. 

      Perlu Tim Independen
      Semua program-program K2I tersebut khususnya di enam dinas dan satu badan 
ini, sangat rentan penyimpangan, artinya perlu tim independen -unsur wartawan, 
dosen, LSM, kepolisian dan kejaksaan- yang mengawasi dan menilai setiap langkah 
jalannya proyek. Sebelum nasi menjadi bubur, lebih baik jangan ditanak dulu 
kan. Semakin banyak yang mengawasi, akan semakin sedikit pula terjadinya 
penyimpangan. Asal jangan, tim pengawas menjadi pagar makan tanaman pula. 

      K2I bisa bisa menjadi jargon-jargon yang tidak berarti apa apa bagi 
rakyat miskin di Riau. Sama halnya dengan sebutan program-program kemiskinan 
sebelumnya, apakah program pengentasan kemiskinan atau program lainnya ''atas 
nama'' rakyat miskin.

      Rakyat miskin sudah lama menjadi ''setempel'' proyek. Proyek ratusan 
miliar habis sementara kemiskinan tetap saja meningkat. Tentunya ada yang 
salah, apakah pelaksana proyek atau si miskinnya. Kalau si miskin yang 
disalahkan, berarti pelaksana proyeknya yang korupsi atau kerjanya asal-asalan.

      Jika selama ini proyek tidak bisa berjalan baik, tentunya pengawasnya pun 
tidak baik. Dan sebaiknya, pemerintah membentuk tim pengawas yang baru, minimal 
bisa membuat hati pelaksana proyek ini takut, tidak lagi sembarangan kerja, 
''selesai proyek ya sudah''. Yang kita inginkan, proyek itu benar-benar 
bermanfaat bagi rakyat dan dapat mengangkat tingkat kehidupan rakyat, bukan 
sekadar proyek.

      Diperlukan Keberanian Gubri
      Tidak bisa dipungkiri, keberanian Rusli Zainal mengubah strategi 
pengentasan kemiskinan merupakan langkah maju, artinya dia memiliki konsep 
berbeda dengan pendahulunya. Karena kemiskinan ini dapat dilihat dari berbagai 
sisi -sisi mental, alam, dan kebijakan pemerintah yang membuat mereka tetap 
miskin-, maka jurus yang digunakan pun berbeda-beda pula. 

      Penulis memahami pendekatan yang dilakukan Rusli Zainal adalah pendekatan 
struktural, artinya kemiskinan yang terjadi selama ini disebabkan kesalahan 
kebijakan pemerintah, sehingga petani, nelayan, pengusaha kecil, buruh, sampai 
kapan pun tetap saja miskin, hal ini disebabkan kebijakan pemerintah tidak 
memihak pada mereka.

      Untuk itu, perlu mengubah kebijakan, pembangunan tidak lagi hanya di 
perkotaan, tetapi bagaimana caranya membuka isolasi daerah terpinggir seperti 
pembangunan jalan Dumai-Pakning yang menggunakan dana multiyears, pembangunan 
Jalan Simpang Kumu-Duri (60 Km), Jalan Daludalu-Mahato (100 Km), Jalan Bagan 
Jaya-Kuala Enok (187 Km), Jalan Sei Pakning-Teluk Masjid-Sp Pusako (80 Km), 
Jalan Sorek-Guntung (187 Km) dan lainnya, sehingga petani dapat menjual hasil 
pertaniannya ke kota dan sebaliknya investor pun dengan mudah memasuki daerah 
terisolir. 

      Namun seharusnya bukan hanya kebijakan pembangunan ke daerah-daerah 
terisolir atau pembangunan yang menyerap tenaga kerja saja, pemerintah 
hendaknya mengeluarkan kebijakan yang memihak pada peningkatan pendapatan 
rakyat miskin. Misalnya di sektor industri, upah minimun dinaikan, agar 
pengusaha tidak meraup keuntungan yang berlebihan sementara buruh tetap miskin. 
Demikian juga di sektor lainnya, subsidi pupuk (pupuk untuk petani sering 
diselewengkan ke perkebunan besar, kompensasi BBM di bidang pendidikan (dana 
BOS dan lainnya), kesehatan gratis yang sudah ditetapkan pemerintah pusat 
(Jakarta), selalu saja sulit dinikmati rakyat miskin, nah ini perlu mendapat 
pengawalan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten, makanya Gubri harus mengeluarkan 
kebijakan yang dapat melindungi hak-hak orang miskin sehingga mereka dapat 
menikmati haknya. Memang ada benarnya juga, jika dikatakan kemiskinan seseorang 
atau suatu daerah itu disebabkan ada yang membuatnya miskin, jadi kesalahan 
bukan t
 erletak pada si miskin tetapi pada pihak yang membuat dia miskin.

      Selain itu, si miskin juga perlu spirit usaha, atau lebih sering 
didengungkan dengan nama semangat enterpreneurship sebagaimana teori modern 
pengentasan kemiskinan yang dikemukan Schumpeter tentang pentingnya semangat 
kewirausahaan. Schumpeter mengemukakan, majunya perekonomian suatu negara 
tergantung pada segelintir orang yang punya semangat kewirausahaan, yaitu 
semangat untuk mencoba dan menemukan hal-hal baru sekalipun risikonya sangat 
besar. Mereka-mereka yang berani berkorban penuh untuk mengangkat nasib rakyat 
miskin ini lah yang diperlukan Bumi Lancang Kuning ini. Modalnya hanya ikhlas 
dan terus bekerja. 

      Di akhir tulisan ini -dari pengalaman meliput kemiskinan- penulis 
menyimpulkan, dari dulu sampai sekarang, ternyata kemiskinan itu sangat 
''laris'', Apa lagi menjelang Pilkada, banyak yang ''menjual'' kemiskinan. Yang 
pasti untung penjualnya, tapi si miskin, ya tetap miskin. Itu lah nasib miskin, 
paling banter dapat kaos partai dari calon wali kota dan bupatinya.(eca)
     


[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Clean water saves lives.  Help make water safe for our children.
http://us.click.yahoo.com/CHhStB/VREMAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com **

Other related posts:

  • » [nasional_list] [ppiindia] Tak Perlu "Atas Nama'' Kemiskinan