** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List ** ** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: ** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ ** ** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral scholarship, kunjungi http://informasi-beasiswa.blogspot.com **RIAU POS Tak Perlu "Atas Nama'' Kemiskinan Kamis, 05 Januari 2006 Laporan Jarir Amrun, j ariramrun@xxxxxxxxxxx Alamat Email inidilindungi dari bot spam, Anda Harus Mengaktifkan Javascript Untuk Melihatnya Ada lagu Iwan Fals, yang sangat cocok bagaimana menggambarkan kemiskinan yang melanda negeri ini. Lagu itu diberi judul Galang Rambu Anarki. Begini liriknya: Maafkan kedua orang tua mu kalau tak mampu beli susu BBM naik tinggi susu tak terbeli Orang pintar tarik subsidi bayi kami kurang gizi Bicara soal kemiskinan dan kebodohan, bagaikan dua sisi mata uang logam yang tidak bisa dipisahkan. Ceritanya diawali tahun 2002, masih segar dalam ingatan kita, dana pengentasan kemiskinan pada masa awal Gubri H Saleh Djasit Rp75 miliar. Dana itu disalurkan melalui enam dinas dan badan di lingkungan Pemprov Riau dan sekitar Rp18 miliar disalurkan melalui Bank Bukopin, yakni untuk pembangunan koperasi swamitra yang jumlahnya sekitar 36 unit, atau masing-masing swamitra mendapat Rp500 juta. Dengan modal Rp500 juta bagi suatu koperasi sebenarnya banyak yang dapat dilakukan, tetapi sepertinya gaung swamitra kurang terdengar (sayup-sayup), yang menjadi masalah adakah semua swamitra itu masih eksis atau tidak ada lagi. Memang pernah pihak Bank Bukopin Riau menyatakan untung, tapi apakah publik mengetahuinya, jangan-jangan buntung lagi, sebab kabarnya swamitra dan Bank Bukopin masih rugi karena pada tahap awal dana yang Rp500 juta untuk masing-masing koperasi habis untuk menggaji karyawan yang baru saja direkrut dan penyediaan alat-alat kantor baru. Alangkah naifnya, jika Bank Bukopin harus mendirikan swamitra yang baru, padahal masih banyak koperasi simpang pinjam yang sehat yang bisa diberi label swamitra lalu diberi bantuan, dari pada harus mempersiapkan kantor baru, peralatan komputer baru, meja dan karyawan baru. Bukankah karyawan yang koperasi lama itu sangat layak dan sudah terbukti berhasil. Ada sejumlah koperasi yang sebelumnya sudah eksis terpaksa harus mati dan para pegawainya diganti dengan yang baru, termasuk kantor pun harus baru, pokoknya serba baru. Nah, soal yang baru-baru ini kan proyek namanya, minimal penyediaan komputer baru, meja baru dan lainnya, itu lah peluang orang zalim mendapatkan keuntungan. Bayangkan, jumlahnya 36 koperasi swamitra yang harus diisi meja baru, komputer baru dan yang serba baru lainnya. Belum lagi dana untuk pelatihan karyawan baru, tentunya mereka harus menguasai seluk beluk sistem online antara koperasi Swamitra dengan Bank Bukopin di Pekanbaru. Dana-dana untuk pelatihan dan pengadaan yang serba baru ini lah yang menyebabkan program ekonomi kerakyatan itu ''gagal''. Sebab, seharusnya dana itu bisa disalurkan langsung pada pelaku usaha mikro dan kecil di sekitar koperasi, tapi sayang dana itu pun habis hanya untuk pengadaan kantor dan peralatan kantor yang serba baru, termasuk karyawan barunya. Selanjutnya Bagaimana? Bagaimana program ekonomi kerakyatan selanjutnya? Sampai akhir masa jabatan Gubernur Saleh Djasit, program ekonomi kerakyatan yang disetujui dewan Rp175 miliar. Dana tersebut dianggarkan selama dua tahun, tahun pertama Rp75 miliar dan tahun berikutnya Rp100 miliar, walau yang diusulkan tahun kedua ini sebenarnya Rp125 miliar tetapi yang disetujui hanya Rp100 miliar. Swamitra tidak lagi mendapatkan jatah untuk pengentasan kemiskinan, semua dana disalurkan melalui dinas dan badan. Sejumlah dinas yang dipercaya menyalurkan dana ekonomi kerakyatan ini antara lain, Dinas Perikanan, Dinas Tanaman Pangan, Dinas Perkebunan, Dinas Peternakan, Dinas Koperasi dan UKM, Dinas Perdagangan dan Industri dan Badan Perlindungan dan Pemberdayaan Masyarakat (BPPM). Masing-masing dinas sudah berupaya menjalankan amanahnya, tetapi tetap saja selalu mengalami kendala, kalau di Dinas Peternakan kasusnya banyak kambing dan lembu mati. Alasan si petani, kambing yang diberi dinas terlalu kecil, seperti hidup segan mati tak mau. Permasalahannya, sampai hati lah Dinas Peternakan menyediakan anak kambing yang kurus itu dari Lampung. Nah, di sini lah ''proyek membodohi'' rakyat miskin itu pun berjalan. Padahal, kalau uang Rp300 ribu diserahkan pada si peternak, pasti dia sudah bisa membeli kambing perawan yang sehat dan bukan lagi anak kambing yang kurus ceking. Makanya, jangan heran kalau ada petani yang menolak anak kambing dan anak lembu itu. Petani yang berani menolak ini lah sebenarnya petani yang ''bertanggung jawab'', dia berpikir lebih baik tidak menerima dana ekonomi kerakyatan berupa anak kambing kerdil dari pada harus memelihara kambing kurus dan tentunya menanggung utang di kemudian hari. Indikasi penyimpangan penyaluran dana ekonomi kerakyatan ini terlihat dari kerja para dinas yang terkesan masih projec oreinted. Kalau mau jujur, hampir di setiap dinas terjadi penyimpangan, walaupun kecil-kecilan. Misalnya di Dinas Perkebunan, pembangunan perkebunan rakyat di Kuansing terkendala akibat ulah pengembang, padahal dana sudah dicairkan. Untung saja rakyat melaporkan kasus ini ke publik (mass media) dan pihak-pihak yang terkait proyek perkebunan sawit di Kuansing tersebut dipanggil Gubri ketika itu, Saleh Djasit, kalau tidak, dana sudah tersalurkan tetapi perkebunan tinggal di alam mimpi petani. Demikian juga di dinas lainnya, penyaluran dana ekonomi kerakyatan banyak yang belum tepat sasaran. Ada pelaku ekonomi yang usahanya tidak jelas tetapi mendapatkan pinjaman dana ekonomi kerakyatan. Mengapa banyak peminatnya? Mau tahu ya, bunga pinjaman dana ekonomi kerakyatan ini sangat murah yakni tiga persen per tahun. Bayangkan, mana ada bank yang mau memberikan bunga semurah ini. Tapi tidak semuanya buruk periode Saleh Djasit ini, banyak sisi positipnya, keburukan yang ada itu menjadi pelajaran bagi kita ke depan. Upaya pengentasan kemiskinan ini tidak hanya masa satu gubernur, tapi berkelanjutan sampai puluhan gubernur berikutnya, maka hal-hal yang buruk tersebut jangan sampai terulang kembali dan seharusnya pula dana ekonomi kerakyatan ini tidak dihapuskan, walau bentuknya bukan dana ekonomi kerakyatan namanya tetapi pemberdayaan ekonomi rakyat ini harus dianggarkan. Setiap tahun, siapa pun gubernurnya, dana untuk pengentasan kemiskinan ini harus tetap ada, seperti pada masa Gubernur Riau HM Rusli Zainal SE saat ini, dana pengentasan kemiskinan ini dikenal dengan prograam K21, yakni pengentasan kemiskinan, kebodohan dan pembangunan infrastruktur. Menguji ''Jurus'' K21 Mirip dengan priode sebelumnya, masa Gubri HM Rusli Zainal ini menjalankan jurus-jurus pengentasan kemiskinannya agak lambat tapi bukan karena faktor pribadi Gubri, hambatannya dari luar, selain para dewan yang terhomat, juga hambatan internal dinas yang seharusnya membantu Gubri menjalankan tugas pengentaskan kemiskinan dan kebodohan ini. Yang terkesan lebih banyak kasus perebutan tendernya atau berebut ''kue anggaran'' daripada kinerja, bahkan tak jarang harus ''berkelahi'' membawa ''algojo'' untuk mendapatkan proyek, seperti kasus di Dinas Pendidikan yang memakan korban jiwa akibat perebutan proyek. Selanjutnya, mengapa dewan dianggap penghambat program pengentasan kemiskinan? Dewan yang ''terhormat'' ini lebih banyak menuntut haknya daripada hak rakyat yang diwakilinya, mereka menuntut mobil baru (mungkin untuk istri baru), tunjangan, honor tambahan dan hak-hak lainnya. Dan yang paling fenomenal adalah tuntutan mantan anggota dewan soal dana Purnabakti yang jumlahnya Rp800 juta lebih, tapi sayang sampai sekarang tidak tahu kabarnya, mungkin diam-diam sudah cair. Idealnya dewan jangan terlalu sering mem-pending anggaran untuk rakyat miskin, nanti bisa terhambat rezekinya. Tapi sepertinya dewan yang terhormat sekarang tetap berani membatalkan anggaran yang terkait dengan keperluan rakyat langsung, artinya sering tarik ulur, apakah ada kepentingannya atau tidak Wallah A'lam. Sementara dalam waktu yang sama anggaran pembelian mobil dinas baik untuk pejabat eksekutif apa lagi untuk legislatif, semuanya berjalan mulus tidak perlu ada tanda bintang, walau anggaran ini sangat kontras dengan kemiskinan yang melanda bumi lancang kuning ini. Betapa tidak ironi, ketika panen raya padi misalnya, pejabat eksekutif dan legislatifnya mengunjungi petani dengan mobil mewah- entah apa namanya Terrano King, pokoknya mahal-, sementara petani miskin yang didatangi pejabat ini kondisinya sangat memprihatinkan perlu modal dan tidak mendapatkan sentuhan bantuan dana dari pemerintah. Dan paling menyakit kan lagi, si petani miskin yang harus patungan menyediakan makanan dan minuman untuk menjamu pejabat yang datang itu. Ya Allah, ampuni lah dosa mereka. Kembali soal K21, paradigma yang dibangun Rusli Zainal memang agak berbeda dengan gubernur sebelumnya, dia memahami pengentasan kemiskinan di negeri ini tidak harus memberikan pinjaman, tetapi memberi fasilitas yang mendukung si miskin dapat berinteraksi dengan dunia luar. Dan diharapkan dengan terbuka wilayah terisolir tempat si miskin bermukim, dapat mengubah kehidupannya. Mungkin lebih tepatnya seperti orang yang bermain bilyar, bola yang disodok dengan stik itu bukan sasaran, tetapi sasaran itu adalah bola berikutnya. Dalam kenyataanya, misalnya pembangunan jalan antara Dumai-Sungaipakning (anggaran multi years), yang diharapkan dampaknya bagi masyarakat, yakni sebagai alat transfortasi untuk mengangkut hasil pertanian pedesaan, dan akan berpengaruh dalam mengurangi angka kemiskinan di daerah terisolir. Maka posisi infrastruktur di sini sangat penting, sebagai alat untuk pengentasan kemiskinan dan kebodohan. Di sisi lain, memang ada dana untuk pengentasan kemiskinan dan kebodohan, tapi tidak lagi dana pinjaman bergulir, karena dianggap dana pinjaman bergulir yang dikelola PT PER sudah cukup, yakni Rp60 miliar. Dana yang disediakan untuk pengentasan kemiskinan ini misalnya, dana otonomi desa yang dititipkan melalui BPPM, yakni untuk pengentasan kemiskinan di 22 desa sebagai pilot project-nya masing-masing desa akan mendapatkan dana Rp500 juta, total keseluruhan Rp11 miliar. Dana ini sebaiknya didampingi tenaga penyuluh di desa, agar tidak hilas seperti asap. Bagaimana dengan tugas dinas-dinas yang berkaitan langsung dengan rakyat miskin? Masing-masing tetap mendapatkan jatah program pengentasan kemiskinan, tapi tidak ada satu pun dana pinjaman bergulir. Misalnya tahun 2005 ini Dinas Pertanian Riau menganggarkan pembangunan terminal agrobisnis di Dumai dengan total anggaran Rp15 miliar, pembangunan pusat pengolahan besat (rice processing complex) di Inhil dan Rohil Rp15,6 miliar. Demikian juga di Dinas Perikanan dan Kelautan Riau, tersedianya anggaran operasional tenaga pendamping program ekonomi kerakyatan Rp288 juta, peningkatan kualitas SDM petani, nelayan dan instruktur Balai Pelatihan Perikanan Rp1,378,800.000. Di Dinas Peternakan, dianggarkan dana operasional petugas penyuluh lapangan pemberdayaan ekonomi kerakyatan Rp390 juta. Tapi banyak menyedot dana APBD adalah di Disbun, yakni pembangunan kebun sawit seluas 4.800 hektare dengan anggaran Rp87,12 miliar. Dana pemeliharaan kebun karet di Koto Panjang Rp2,5 miliar da n ari beberapa anggaran pengentasan kemiskinan sejumlah dinas dan badan tersebut, yang menonjol program kebun sawit, yakni Rp87 miliar lebih, pembangunan terminal agribisnis di Dumai Rp15 miliar, pembangunan pusat pengolahan beras Rp15,6 miliar dan juga program otonomi desa Rp11 miliar yang dititipkan di BPPM. Empat program ini sangat rawan terjadinya penyimpangan, terutama pembangunan perkebunan, sebagaimana dialami program ekonomi kerakyatan masa gubernur sebelumnya, bahwa penanggung jawab pengolahan perkebunan ini selalu abai atau mau mendapatkan keuntungan besar. Tak jarang dana sudah cair, tetapi lahan perkebunan tidak terurus atau belum digarap sama sekali. Belum lagi kasus persengketaan tanah yang akan digunakan untuk perkebunan rakyat seluas 4.800 Ha di 10 kabupaten itu, sampai setakat ini masih banyak yang belum jelas. Dana sudah ada, tapi kerja belum ada. Nah, ini lah yang menjadi pertanyaan untuk Dinas Perkebunan Riau. Khusus pembangunan terminal agrobisnir di Dumai memang diperlukan petani, tapi peluang terbengkalainya terminal ini pun cukup besar, bahkan bukan hanya terbengkalai, terminal ini akan memerlukan biaya perawatan yang cukup tinggi setiap tahunnya. Alangkah baiknya jika dana ini digunakan untuk memperbaiki pasar-pasar tradisional yang sudah ada, apakah di dekat Pelabuhan Dumai atau daerah lain. Artinya bukan lagi membangun pasar yang megah tetapi mengembangkan pasar-pasar tradisional yang sudah ada, menjadi tempat transaksi hasil-hasil pertanian yang lebih lengkap lagi. Jumlah pasar tradisional ini sangat banyak, hampir ada di setiap kabupaten ada, misalnya Pasar Ujungbatu, Pasar Tandun, Pasar Sorek, Pasar Taluk, Psar Pangkalankerinci, Pasar Perawang. Pasar-pasar tradisional ini sangat bererti bagi petani dan pelaku pasar setempat. Kalau tidak percaya, coba saja melihat pasar tradisonal ini pada pukul 04.00 WIB pagi, berapa ton sayur yang masuk ke pasar ini. Memang khusus untuk pasar ekspor perlu pelabuhan, tetapi selama ini ekspor di Riau baru sayur dan ekspor sayur dari Riau itu pun cukup menggunakan pelabuhan eks Caltex saja di Rumbai, bahkan pengirimannya pun menumpang dengan kapal milik sebuah perusahaan swasta yakni pemilik Pasar Buah Pekanbaru dan semuanya berjalan lancar, sesuai dengan fluktuatif permintaan pasar Singapura. Soal pembangunan pusat pengolahan beras memang begitu berarti bagi petani. Yang dikhawatirkan manajemen pusat pengolahan beras ini tidak becus. Selama ini petani lebih suka menggiling padinya ke penggilingan padi milik swasta daripada ke koperasi, walau failitasnya dengan alat prosessing yang canggih. Jadi dikhawatirkan akan terjadi pemborosan anggaran. Untuk itu, Pemprov bersama Pemda Inhil dan Rohil harus mengawasi dan menempatkan orang-orang yang benar-benar dan mau kerja seluruh waktunya untuk pusat pengolahan beras. Kalau tidak menemukan orang yang tepat, sebaiknya pusat pengolahan beras tersebut diserahkan saja pada swasta. Biasanya swasta tak mau rugi, jadi bagaimana pun pengelolaan beras ini akan berhasil. Demikian juga mengenai anggaran otonomi desa, dana yang totalnya Rp11 miliar ini rawan kabur, karena anggaran ini diperuntukan modal usaha desa bukan pembangunan fisik desa. Asal jangan pula menjadi modal usaha kepala desa. Nah, SDM kepala desa ini masih banyak yang belum siap menerima dana sebanyak itu, maka perlu pengawasan. Ketika penulis meliput ke sejumlah daerah terisolir di Riau, masih banyak kepala desa yang belum siap menerima dana yang jumlahnya ratusan juta itu, walau pun uang bantuan desa yang memegangnya adalah bendahara desa bukan kepala desa. Ada kabar, sebelum uang diambil melalui bendahara desa, di tengah jalan bendahara desa dicegat kepala desa dan meminta uang bantuan desa itu. Uang pun habis digunakan untuk keperluan pribadi. Perlu Tim Independen Semua program-program K2I tersebut khususnya di enam dinas dan satu badan ini, sangat rentan penyimpangan, artinya perlu tim independen -unsur wartawan, dosen, LSM, kepolisian dan kejaksaan- yang mengawasi dan menilai setiap langkah jalannya proyek. Sebelum nasi menjadi bubur, lebih baik jangan ditanak dulu kan. Semakin banyak yang mengawasi, akan semakin sedikit pula terjadinya penyimpangan. Asal jangan, tim pengawas menjadi pagar makan tanaman pula. K2I bisa bisa menjadi jargon-jargon yang tidak berarti apa apa bagi rakyat miskin di Riau. Sama halnya dengan sebutan program-program kemiskinan sebelumnya, apakah program pengentasan kemiskinan atau program lainnya ''atas nama'' rakyat miskin. Rakyat miskin sudah lama menjadi ''setempel'' proyek. Proyek ratusan miliar habis sementara kemiskinan tetap saja meningkat. Tentunya ada yang salah, apakah pelaksana proyek atau si miskinnya. Kalau si miskin yang disalahkan, berarti pelaksana proyeknya yang korupsi atau kerjanya asal-asalan. Jika selama ini proyek tidak bisa berjalan baik, tentunya pengawasnya pun tidak baik. Dan sebaiknya, pemerintah membentuk tim pengawas yang baru, minimal bisa membuat hati pelaksana proyek ini takut, tidak lagi sembarangan kerja, ''selesai proyek ya sudah''. Yang kita inginkan, proyek itu benar-benar bermanfaat bagi rakyat dan dapat mengangkat tingkat kehidupan rakyat, bukan sekadar proyek. Diperlukan Keberanian Gubri Tidak bisa dipungkiri, keberanian Rusli Zainal mengubah strategi pengentasan kemiskinan merupakan langkah maju, artinya dia memiliki konsep berbeda dengan pendahulunya. Karena kemiskinan ini dapat dilihat dari berbagai sisi -sisi mental, alam, dan kebijakan pemerintah yang membuat mereka tetap miskin-, maka jurus yang digunakan pun berbeda-beda pula. Penulis memahami pendekatan yang dilakukan Rusli Zainal adalah pendekatan struktural, artinya kemiskinan yang terjadi selama ini disebabkan kesalahan kebijakan pemerintah, sehingga petani, nelayan, pengusaha kecil, buruh, sampai kapan pun tetap saja miskin, hal ini disebabkan kebijakan pemerintah tidak memihak pada mereka. Untuk itu, perlu mengubah kebijakan, pembangunan tidak lagi hanya di perkotaan, tetapi bagaimana caranya membuka isolasi daerah terpinggir seperti pembangunan jalan Dumai-Pakning yang menggunakan dana multiyears, pembangunan Jalan Simpang Kumu-Duri (60 Km), Jalan Daludalu-Mahato (100 Km), Jalan Bagan Jaya-Kuala Enok (187 Km), Jalan Sei Pakning-Teluk Masjid-Sp Pusako (80 Km), Jalan Sorek-Guntung (187 Km) dan lainnya, sehingga petani dapat menjual hasil pertaniannya ke kota dan sebaliknya investor pun dengan mudah memasuki daerah terisolir. Namun seharusnya bukan hanya kebijakan pembangunan ke daerah-daerah terisolir atau pembangunan yang menyerap tenaga kerja saja, pemerintah hendaknya mengeluarkan kebijakan yang memihak pada peningkatan pendapatan rakyat miskin. Misalnya di sektor industri, upah minimun dinaikan, agar pengusaha tidak meraup keuntungan yang berlebihan sementara buruh tetap miskin. Demikian juga di sektor lainnya, subsidi pupuk (pupuk untuk petani sering diselewengkan ke perkebunan besar, kompensasi BBM di bidang pendidikan (dana BOS dan lainnya), kesehatan gratis yang sudah ditetapkan pemerintah pusat (Jakarta), selalu saja sulit dinikmati rakyat miskin, nah ini perlu mendapat pengawalan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten, makanya Gubri harus mengeluarkan kebijakan yang dapat melindungi hak-hak orang miskin sehingga mereka dapat menikmati haknya. Memang ada benarnya juga, jika dikatakan kemiskinan seseorang atau suatu daerah itu disebabkan ada yang membuatnya miskin, jadi kesalahan bukan t erletak pada si miskin tetapi pada pihak yang membuat dia miskin. Selain itu, si miskin juga perlu spirit usaha, atau lebih sering didengungkan dengan nama semangat enterpreneurship sebagaimana teori modern pengentasan kemiskinan yang dikemukan Schumpeter tentang pentingnya semangat kewirausahaan. Schumpeter mengemukakan, majunya perekonomian suatu negara tergantung pada segelintir orang yang punya semangat kewirausahaan, yaitu semangat untuk mencoba dan menemukan hal-hal baru sekalipun risikonya sangat besar. Mereka-mereka yang berani berkorban penuh untuk mengangkat nasib rakyat miskin ini lah yang diperlukan Bumi Lancang Kuning ini. Modalnya hanya ikhlas dan terus bekerja. Di akhir tulisan ini -dari pengalaman meliput kemiskinan- penulis menyimpulkan, dari dulu sampai sekarang, ternyata kemiskinan itu sangat ''laris'', Apa lagi menjelang Pilkada, banyak yang ''menjual'' kemiskinan. Yang pasti untung penjualnya, tapi si miskin, ya tetap miskin. Itu lah nasib miskin, paling banter dapat kaos partai dari calon wali kota dan bupatinya.(eca) [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Clean water saves lives. Help make water safe for our children. http://us.click.yahoo.com/CHhStB/VREMAA/E2hLAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://groups.yahoo.com/group/ppiindia *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx 5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx 6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/ ** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List ** ** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: ** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ ** ** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral scholarship, kunjungi http://informasi-beasiswa.blogspot.com **