[nasional_list] [ppiindia] Siapa Bilang Swasta Pasti Untung dan BUMN Pasti Rugi? Tantangan BUMN 2010: Tranparansi: teori khayalan dari mana?

  • From: A Nizami <nizaminz@xxxxxxxxx>
  • To: ekonomi-nasional@xxxxxxxxxxxxxxx, ppiindia@xxxxxxxxxxxxxxx, lisi <lisi@xxxxxxxxxxxxxxx>, sabili <sabili@xxxxxxxxxxxxxxx>, istiqlal@xxxxxxxxxxxxxxx, Indonesia Raya <indonesiaraya@xxxxxxxxxxxxxxx>
  • Date: Fri, 12 Feb 2010 16:00:38 +0800 (SGT)

Telkom dan Indosat sebelum diprivatisasi, itu sudah untung trilyunan per tahun. 
Harap diingat, ketika go public di BEJ waktu itu persyaratan yang bisa Go 
public adalah perusahaan harus untung 3 tahun terakhir selama berturut-turut.

Sebaliknya jika diprivatisasi, belum tentu transparan dan untung. Contohnya 
Enron di AS ternyata akhirnya bangkrut meski sudah Go Public dan auditornya 
bilang untung dan auditnya wajar. BHS Bank habis dirampok pemiliknya Hendra 
Rahardja, Belum lagi Bank Century dan Summa Bank....

Buang jauh2 pikiran yang swasta itu pasti untung dan transparan.


Sering orang-orang Neoliberalis
mendesak pemerintah untuk memprivatisasi BUMN-BUMN untuk dijual ke
asing dengan alasan rugi segala macam. Padahal tidak semuanya benar.
Justru banyak BUMN yang untung sampai
Rp 80 trilyun/tahun. Celakanya justru BUMN-BUMN yang untung itu yang
diprivatisasi/dijual sehingga 85% kepemilikan sahamnya dimiliki oleh
asing.
Padahal tahun 2009 saja BUMN menyumbang sebagian keuntungannya ke negara 
sebesar Rp 29 trilyun.
Jadi kalau menjual BUMN, itu sama
dengan menjual angsa bertelur emas. Dapat hasil penjualan sekali,
setelah itu tidak dapat uang lagi. Beda jika dikelola terus sehingga
mendapat keuntungan setiap tahun.

Banyak orang berkata bahwa jika BUMN
diprivatisasi jadi perusahaan Swasta, maka akan lebih baik. Karena
Swasta menggunakan dananya sendiri, maka mereka jadi lebih hati-hati.
Begitu alasannya.
Namun pendapat tersebut tidak
sepenuhnya benar. Karena kalau perusahaan tersebut menengah kecil,
mungkin masih murni memakai uang sendiri. Tapi umumnya perusahaan
swasta menengah atas, apalagi asetnya sudah sampai trilyunan rupiah
lebih, hanya sebagian kecil yang menggunakan uang pribadi. Umumnya
menggunakan dana pihak lain atau uang rakyat mulai dari sekedar
pinjaman Bank, atau pun dengan menarik dana masyarakat dengan melempar
saham di Bursa Saham.
Bahkan jika perusahaan tersebut berupa
Bank Swasta atau pun Pialang Saham Swasta, mereka dengan mudah menarik
dana masyarakat yang menjadi nasabahnya sampai ratusan trilyun lebih.
Apakah perusahaan Swasta tersebut jadi bagus dan tidak rugi?
Kita lihat betapa banyak perusahaan
swasta yang merugi. BHS Bank bangkrut dan pemiliknya kabur dengan
trilyunan uang nasabah. Lehman Brothers juga bangkrut dengan kerugian
300 milyar dollar AS. Sarijaya Securities bangkrut dengan menghilangkan
Rp 245 milyar uang nasabahnya. Enron yang sudah Go Public dan Chrysler
bangkrut, sementara AIG harus “dinasionalisasi” dengan dana US$ 85
milyar dari uang rakyat AS.
Pada Krisis Moneter di tahun 1998,
pemerintah harus menalangi Bank-bank Swasta seperti BCA, Danamon,
Lippo, dan sebagainya dengan uang rakyat sebesar Rp 600 trilyun melalui
KLBI/BLBI. Itu adalah jumlah yang sangat besar karena melampaui jumlah
APBN Indonesia saat itu. Bank-bank Swasta tersebut merugi dan
diambil-alih pihak lain.
Banyak perusahaan swasta yang
kreditnya macet. Meski perusahaan merugi, namun pemilik perusahaan
tetap bebas menikmati kekayaannya yang mungkin berasal dari kredit
tersebut (misalnya berupa deviden/gaji sebagai komisaris/direktur)
karena sebagai PT, tanggung-jawabnya hanya sebatas PT (Perseroan
Terbatas). Harta pribadinya tidak bisa diganggu-gugat.
Perusahaan yang Go Public pun yang
katanya akan jadi bagus dan sulit bangkrut karena dimiliki publik
sehingga lebih transparan dan terawasi, tetap saja bangkrut. Contohnya
adalah Enron, Daya Guna Samudera (DGSA), Bintuni Minaraya (BMRA), Super
Mitory (SUMI), dan sebagainya.
Perusahaan Inggris Thames yang
mengambil alih PAM Jaya jadi TPJ (Thames Pam Jaya), ternyata merugi dan
diambil-alih oleh AETRA. Padahal seluruh infrastruktur PAM dari
jaringan pipa di Jakarta atau pun fasilitas penyaringan air sudah
dibangun oleh BUMD PAM Jaya. Namun TPJ tetap merugi padahal perbaikan
untuk meningkatkan mutu air PAM nyaris tidak ada.
http://infoindonesia.wordpress.com/2009/08/26/siapa-bilang-swasta-tidak-bisa-rugi-atau-bangkrut/
http://infoindonesia.wordpress.com/2009/05/25/apa-itu-neoliberalisme/
http://infoindonesia.wordpress.com/2009/07/30/siapa-bilang-bumn-selalu-rugi-dan-harus-diprivatisasi/

 ===
Belajar Islam sesuai Al Qur'an dan Hadits
http://media-islam.or.id
Milis Ekonomi Nasional: ekonomi-nasional-subscribe@xxxxxxxxxxxxxxx



----- Pesan Asli ----
> Dari: Harlizon MBAu <harlizon@xxxxxxxxx>
> Kepada: ekonomi-nasional@xxxxxxxxxxxxxxx
> Cc: indonesia@xxxxxxxxxxxxxx
> Terkirim: Jum, 12 Februari, 2010 14:42:15
> Judul: Re: [ekonomi-nasional] Tantangan BUMN 2010: Tranparansi: teori  
> khayalan dari mana?
> 
> Om infobank,
> 
> Semoga pembenahannya akan baik buat BUMN ybs dan rakyat Indonesia...
> Saya juga ex-bumn, barangkali bisa dibilang ex bumn terbaik di Indonesia...
> Juga banyak menghabiskan waktu kerja di pengembangan bisnis Internasional
> (dan lokal)...
> Yang saya mau tanyakan, darimana dapat doktrin "privatisasi" akan lebih
> transparant?
> Juga, darimana dapat teori khayalan bahwa "transparansi" adalah selalu lebih
> baik?
> Coba kita lihat BUMN-BUMN atau perusahaan publik yang menyimpan dananya di
> Bank Century...
> Pertanyaannya, atas dasar pertimbangan benefit bisnis apa mereka dulu
> menyimpan dananya disana?
> 
> Kenapa anda tidak membandingkannya dengan BUMN Singapore yang sebahagian
> besarnya dikuasai negara?
> Bukankan agenda privatisasi justru memperlihatkan "ketidak mampuan
> pemerintah" mengatur ?
> Kalau banar-benar anda pelajari, dalam berdiri dan beroperasinya BUMN
> mendapat begitu banyak "priviledge" dari negara (yang notabene adalah
> pemberian asset-asset milik masyarakat banyak)...
> Apalagi jika banyak daiantara asset-asset ini yang tidak ikut dihitung dalam
> proses penjualannya...
> Atas dasar apa asset-asset milik bersama ini kemudian di berikan kepada
> "pribadi-pribadi"?
> 
> Bagaimana kalau transparansi ditawarkan dimulai dari perbankan dahulu?
> Misalnya membuka rekening-rekening pejabat atau para penyedot kekayaan
> negara ini?
> Atau setidaknya, mengumumkan grafik distibusi rekening para nasabah
> berdasarkan segmennya?
> 
> Sudahlah, tipu-tipu seperti ini sudah banyak orang yang tahu...
> Saya khawatir, orang banyak yang ketipu bisa lebih ganas lagi..
> 
> Jika menterinya betul-betul menginginkan bumn bagi kesejahteraan rakyat
> Indonesia,
> barangkali strateginya banyak yang perlu di perbaiki...
> Banyak teman-teman dari BUMN yang cukup piawai untuk bisa membantu beliau...
> Dan lebih lama pengalamannya di BUMN dibanding sang menterinya sendiri...
> 
> Salam Z
> 
> 2010/2/11 Infobank infobanknews.com 
> 
> > http://www.infobanknews.com/index.php?mib=mib_news.detail&id=1593
> > Tanggal: 11 Februari 2010 - 14:49 WIB
> > Sumber: infobanknews.com
> >
> > Suka tidak suka, kita perlu menyadari bahwa BUMN kita jauh tertinggal.
> > Bahkan, dibandingkan dengan BUMN negara lain, khususnya BUMN negeri jiran
> > yang dulu belajar dari kita. Riant Nugroho
> >
> > Mustafa Abubakar, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), memulai
> > pekerjaannya dengan prinsip yang patut diapresiasi: transparansi. Sebuah
> > konferensi awal tahun Kementerian BUMN dengan tema “Refleksi 2009 dan
> > Proyeksi 2010” dihelat pada awal Januari 2010.
> >
> > Dipaparkan bahwa target BUMN 2010, laba bersih Rp90 triliun, naik dari laba
> > (prognosis) 2009 senilai Rp74 triliun, sedangkan pendapatan usaha naik 13%
> > dibandingkan dengan 2009 (prognosis) senilai Rp930 triliun menjadi Rp1.050
> > triliun.
> >
> > Menarik pendekatan yang ditawarkan Menneg BUMN, yakni mengurangi jumlah
> > BUMN yang merugi, dari 20 BUMN menjadi 10 BUMN (separuhnya). Strategi yang
> > ditawarkan, antara lain rightsizing, merger, hingga penyuntikan modal
> > antar-BUMN.
> >
> > Sebelum menilik strategi yang ditawarkan Menneg BUMN tersebut, ada baiknya
> > kita menilik BUMN milik negara tetangga. Salah satu yang hendak kita jadikan
> > perbandingan adalah Petronas, perusahaan pertambangan minyak bumi dan gas
> > alam milik Malaysia, perusahaan yang didirikan dengan belajar dari
> > Indonesia.
> >
> > Fortune edisi Juli 2009 menampilkan 500 perusahaan terbesar dunia. Petronas
> > berada pada ranking 80 dengan total revenue dalam rupiah sekitar Rp750
> > triliun dan laba sekitar Rp150 triliun.
> >
> > Dalam hal pendapatan usaha, Petronas “seorang diri” saja sudah 75% dari
> > total pendapatan BUMN yang ditargetkan pada 2010. Laba bersih Petronas pun
> > lebih besar daripada laba seluruh BUMN yang ditargetkan pada 2010.
> >
> > Belum lagi dibandingkan dengan Sinopec, “Pertamina”-nya Cina yang pada 2009
> > dilaporkan memiliki pendapatan usaha US$207 miliar (setara dengan Rp2.000
> > triliun), mendekati aset total BUMN 2009, yaitu Rp2.150 triliun.
> >
> > Ada tiga pelajaran yang dapat kita petik. Satu, suka atau tidak, kita perlu
> > menyadari bahwa BUMN kita jauh tertinggal. Bahkan, dibandingkan dengan BUMN
> > negara lain, khususnya BUMN negeri jiran yang dahulu belajar dari kita.
> >
> > Saya teringat, pada pertemuan chief executive officer (CEO) BUMN di Bali
> > pada 2003, seorang pejabat tinggi Petronas diundang sebagai pembicara untuk
> > menceritakan kisah suksesnya.
> >
> > Dengan suara merendah, ia berkata, “Bagaimana saya harus bercerita, karena
> > kami dulu diajari oleh Indonesia.” Saya percaya, beliau tidak bermaksud
> > menyinggung, apalagi menyakiti. Tapi, di situ saya tetap terpukul malu.
> >
> > Dua, korporasi tetap korporasi. Jadi, untuk maju tetap relevan melakukan
> > benchmarking kepada korporasi lain. Pernah seorang pejabat tinggi BUMN
> > berkata, “BUMN Indonesia itu berbeda dengan BUMN di negara lain mana pun.
> > Jadi, jangan pernah membuat perbandingan. Tidak ada gunanya.” Mungkin ada
> > benarnya.
> >
> > Namun, tampaknya pelajaran terbaik untuk maju adalah belajar kepada yang
> > lebih baik. Benchmarking mencegah kita terbelenggu tempurung keyakinan semu.
> >
> > Tiga, strategi yang dikemukakan di atas adalah baik. Namun, sesungguhnya
> > kita memerlukan lebih dari sekadar strategi tersebut untuk membuat BUMN
> > benar-benar menjadi korporasi yang dapat dibanggakan.
> >
> > Untuk itu, ditawarkan empat strategi. Pertama, reorientasi, yaitu
> > sungguh-sungguh mengubah cara pandang tentang BUMN. BUMN adalah korporasi
> > atau entitas bisnis, terlepas dari apa pun amanat kebangsaan yang dilekatkan
> > kepadanya.
> >
> > Inti dari reorientasi adalah korporatisasi BUMN. Konsekuensinya, BUMN tidak
> > boleh secara sewenang-wenang diintervensi oleh politik dan birokrasi.
> >
> > Penetapan direksi tidak lagi menjadi mandat tunggal dari kekuasaan politik
> > dan birokrasi. Direksi tidak lagi boleh dengan sewenang-wenang dipanggil ke
> > Senayan.
> >
> > Untuk melakukan aksi korporasi, BUMN tidak lagi harus “sowan-sowan” ke
> > birokrasi dan menunggu “kebaikan hati” dari birokrasi untuk mengizinkan BUMN
> > bersangkutan melakukan aksi korporasinya.
> >
> > Selama BUMN dianggap sebagai bagian dari politik dan birokrasi, BUMN tetap
> > merupakan kepanjangan dari badan usaha milik naon wae. Badan usaha milik
> > siapa saja, deh.
> >
> > Kedua, restrukturisasi, yang dimulai dengan memisahkan BUMN yang profit
> > oriented (PO) dan non for profit oriented (NfPO). BUMN PO diarahkan ke
> > strategi holdingisasi ke dalam 10-12 superholding.
> >
> > Teori bisnis klasik: size matter. Baik dalam mencari akses permodalan
> > maupun aksi korporasi yang lain. Holding adalah sinergi, dalam hal ini satu
> > tambah satu hasilnya lebih dari dua. BUMN yang siap membentuk superholding
> > adalah perkebunan dan pupuk.
> >
> > Ketiga, profitisasi, yaitu menjadikan setiap superholding menjadi entitas
> > bisnis yang memberikan laba luar biasa. Jika BUMN sudah menjadi badan usaha
> > yang sehat dan memiliki laba yang besar, ia akan memberikan hasil yang
> > optimal kepada pemegang saham pada saat diprivatisasi.
> >
> > Privatisasi adalah langkah keempat yang perlu dilakukan agar BUMN dipaksa
> > transparan. Seperti kata pepatah, “transparency is the best disinfectant”.
> > Tanpa transparansi, BUMN berpotensi terjebak ke dalam korupsi, kolusi, dan
> > nepotisme (KKN).
> >
> > Privatisasi juga mencegah BUMN untuk dengan sewenang-wenang diintervensi
> > politik dan birokrasi karena ada pemegang saham publik yang menjadi
> > instrumen pencegahnya.
> >
> > Pada 2010 Kementerian BUMN dihadapkan pada agenda mempersiapkan suatu
> > roadmap berupa strategi pemberdayaan dan pendayagunaan BUMN yang tepat, yang
> > lebih dari upaya membangun BUMN, tetapi—dan ini untuk ke sekian
> > kalinya—melakukan turn around.
> >
> > Tahun ini adalah pertaruhan apakah lima tahun ke depan kita akan memiliki
> > BUMN yang world class corporation atau sekadar BUMN yang mampu memberikan
> > pendapatan, laba, dan dividen yang lebih banyak dari tahun-tahun sebelumnya.
> >
> >
> > Penulis adalah Direktur Institute for Policy Reform, pekerja pada BUMN
> > Executive Club. Tulisan ini merupakan pendapat pribadi.
> >
> > [Non-text portions of this message have been removed]
> >
> >  
> >
> 
> 
> [Non-text portions of this message have been removed]
> 
> 
> 
> ------------------------------------
> 
> Ingin bergabung ke milis ekonomi-nasional?
> Kirim email ke ekonomi-nasional-subscribe@xxxxxxxxxxxxxxx
> http://capresindonesia.wordpress.com
> http://infoindonesia.wordpress.comYahoo! Groups Links
> 
> 
> 


      Lebih Bersih, Lebih Baik, Lebih Cepat - Rasakan Yahoo! Mail baru yang 
Lebih Cepat hari ini! http://id.mail.yahoo.com

Other related posts:

  • » [nasional_list] [ppiindia] Siapa Bilang Swasta Pasti Untung dan BUMN Pasti Rugi? Tantangan BUMN 2010: Tranparansi: teori khayalan dari mana? - A Nizami