[nasional_list] Re: [ppiindia] Re: [keluarga-islam] Misteri Islamisasi Jawa

  • From: "Ari Condro" <masarcon@xxxxxxx>
  • To: <ppiindia@xxxxxxxxxxxxxxx>
  • Date: Wed, 4 Jan 2006 12:54:22 +0700

** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com **saya ada filenya nih ....

salam,
Ari Condro

Misteri Islamisasi Jawa

Tulisan ini merupakan makalah yang disampaikan oleh Prof. Hasanu Simon dan
telah mendapat izin dari beliau untuk disebarluaskan. Terlepas dari
kelemahan-kelemahan yang mungkin masih ada di dalam makalah tersebut,
tentunya ini merupakan usaha yang patut didukung oleh da'i-da'i Islam yang
lurus dan benar manhajnya.

Penyelenggara mengundang tiga orang pembicara yangmemang cukup berkompeten
pada bidang tersebut bahkan merupakan ahlinya, yaitu Dr. Damarjati Supajar,
Dr. Abdul Munir Mulkhan (pengarang buku tersebut) dan Prof. Hasanu Simon
(guru besar sosiologi kehutanan dan lingkungan UGM).

Singkat cerita, pada diskusi tersebut dua pembicara pertama, yaitu Dr.
Damarjati Supajar dan Dr. Abdul Munir Mulkhan berusaha untuk mendukung
ajaran-ajaran Syeikh Siti Jenar. Hal tersebut dibuktikan dengan pembelaaan
tanpa cela terhadap syekh tersebut dan juga pengajuan alternatif wacana
terhadap para peserta bahwa ajaran tersebut silahkan bila mau diikuti, toh
dalam dunia Islam tokoh seperti itu sudah pernah ada, seperti misalnya
Al-Hallaj dan tokoh-tokoh sufi lain. Mereka juga memberi pilihan tersebut
dengan alasan ajaran-ajaran Islam sendiri pada hakikatnya dipraktekkan
sebagai rutinitas dan sebagai tafsir dari para pengikutnya, sehingga sholat
dan syariat-syariat lainnya bisa saja diganti dengan bentuk-bentuk lainnya
(jelas ini pendapat yang salah). Menurut mereka lagi, syariat dalam ajaran
Syekh Siti Jenar itu dipraktekkan oleh orang yang hidup, sedangkan hidup
yang sebenarnya bagi manusia itu adalah nanti di akherat. Sedangkan di dunia
pada hakekatnya adalah mati. Sehingga sholat,puasa, zakat haji itu tidak
perlu.

Ajaran tersebut nampak semakin subur diikuti oleh umat Islam dewasa ini,
apalagi dengan pemimpin Indonesia pada saat itu (mantan Presiden Gus dur)
termasuk yang menyetujui dan mendukung ajaran tersebut
(sufi/kebatinan/kejawen). Pendukung yang lain yang cukup dikenal adalah
Anand Khrisna. Bila terus dibiarkan, ajaran tersebut akan semakin
mengaburkan Islam sebagai agama yang murni dari kesyirikan dan bid'ah ,
menjunjung tinggi akal manusia, dan menyeimbangkan antara kehidupan dunia
dan akhirat. Sebagai andil dalam pemberantasan penyakit TBC (Takhayul, Bid'
ah dan Churafat), kami tampilkan sebuah tanggapan dalam acara tersebut.

Saya masuk Fakultas Kehutanan UGM tahun 1965, memilih jurusan Manajemen
Hutan. Sebelum lulus saya diangkat menjadi asisten, setelah lulus mengajar
Perencanaan dan Pengelolaan Hutan. Pada waktu ada Kongres Kehutanan Dunia
VII di Jakarta tahun 1978, orientasi system pengelolaan hutan mengalami
perubahansecara fundamental. Kehutanan tidak lagi hanya dirancang
berdasarkan ilmu teknik kehutanan konvensional, melainkan harus melibatkan
ilmu sosial ekonomi masyarakat. Sebagai dosen bidang itu saya lalu banyak
mempelajari hubungan hutan dengan masyarakat sejak zaman kuno dulu. Disitu
saya banyak berkenalan dengan sosiologi dan antropologi. Khusus dalam
mempelajari sejarah hutan di Jawa, banyak masalah sosiologi dan antropologi
yang amat menarik. Kehutanan di Jawa telah menyajikan sejarah yang amat
panjang dan menarik untuk menjadi acuan pengembangan strategi kehutanan
sosial (socialforestry strategy) yang sekarang sedang dan masih dicari oleh
para ilmuwan.

Belajar sejarah kehutanan Jawa tidak dapat melepaskan diri dengan sejarah
bangsa Belanda. Dalam mempelajari sejarah Belanda itu, penulis sangat
tertarik dengan kisah dibawanya buku-buku Sunan Mbonang di Tuban ke negeri
Belanda. Peristiwa itu sudah terjadi hanya dua tahun setelah bangsa Belanda
mendarat di Banten. Sampai sekarang buku tersebut masih tersimpan rapi di
Leiden, diberi nama Het Book van Mbonang, yang menjadi sumber acuan bagi
para peneliti sosiologi dan antropologi. Buku serupa tidak dijumpai sama
sekali di Indonesia. Kolektor buku serupa juga tidak dijumpai yang
berkebangsaan Indonesia.

Jadi, seandainya tidak ada Het Book van MBonang, kita tidak mengenal sama
sekali sejarah abad ke-16 yang dilandasi data obyektif. Kenyataan sampai
kita tidak memiliki data obyektif tentang Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan
Kalijogo dan juga tentang Syekh Siti Jenar. Oleh karena itu, yang berkembang
adalah kisah-kisah mistik bercampur takhayul, termasuk misteri Syek Siti
Jenar yang hari ini akan kita bicarakan.

Walisongo Dalam Dunia Mitos

Kisah walisongo yang penuh dengan mistik dan takhayul itu amat ironis,
karena kisah tentang awal perkembangan Islam di Indonesia, sebuah agama yang
sangat keras anti kemusyrikan. Pembawa risalah Islam, Muhammad SAW. Yang
lahir 9 abad sebelum era Walisongo tidak mengenal mistik. Beliau terluka
ketika berdakwah di tho'if, beliau juga terluka dan hampir terbunuh ketika
perang uhud. Tidak seperti kisah Sunan Giri, yang ketika diserang pasukan
majapahit hanya melawan tentara yang jumlahnya lebih banyak itu dengan
melemparkan sebuah bolpoin ke pasukan majapahit. Begitu dilemparkan bolpoin
tersebut, segera berubah menjadi keris sakti, lalu berputar-putar menyerang
pasukan majapahit dan bubar serta kalahlah mereka. Keris itu kemudian
diberinama keris kolomunyeng, yang oleh kyai Langitan diberikan kepada
presiden Gus Dur beberapa bulan lalu yang antara lain untuk menghadapi
Sidang Istimewa MPR yang sekarang sudah digelar dan ternyata tidak ampuh.

Kisah sunan Kalijogo yang paling terkenal adalah kemampuannya untuk membuat
tiang masjid dari tatal (serpihan potongan kayu) dan sebagai penjual rumput
di Semarang yang diambil dari gunung Jabalkat. Kisah Sunan Ampel lebih hebat
lagi dan heboh ; salah seorang pembantunya dapat melihat Masjidil Haram dari
Surabaya untuk menentukan arah kiblat. Pembuat cerita ini jelas belum tahu
kalau bumi berbentuk elips sehingga permukaan bumi ini melengkung. Oleh
karena itu, tidak mungkin dapat melihat Masjidil Haram dari Surabaya.

Islam juga mengajarkan bahwa Nabi Ibrahim as, yang hidup sekitar 45 abad
sebelum era Walisongo yang lahir dari keluarga penyembah berhala, sepanjang
hidupnya berdakwa untuk anti berhala. Ini menunjukkan bahwa kisah para wali
di Jawa sangat ketinggalan zaman dibandingkan kisah orang-orang yang menjadi
panutannya, padahal selisih waktu hidup mereka sangat jauh.

Het Book van Mbonang yang telah melahirkan dua orang Doktor dan belasan
Master bangsa Belanda itu memberikan petunjuk pada saya, pentingnya menulis
sejarah berdasarkan fakta yang obyektif. Het Book van Mbonang tidak
menghasilkan kisah keris Kolomunyeng, kisah Cagak daritatal, kisah orang
berubah menjadi cacing, dan sebagainya. Itulah ketertarikan saya dengan
Syekh Siti Jenar sebagai bagian dari sejarah Islam di Indonesia. Saya
tertarik untuk menulis tentang Syekh Siti Jenar dan Walisongo. Tulisan saya
belum selesai, tetapi niat saya untuk terlibat adalah untuk membersihkan
sejarah Islam di Jawa ini dari takhayul, mistik, khurofat dan kemusyrikan.

Itulah sebabnya, saya terima tawaran panitia untuk ikut membahas buku
tentang Syekh Siti Jenar karya Dr. Abdul Munir Mulkhan ini. Saya ingin ikut
mengajak masyarakat untuk segera meninggalkan dunia mitos dan memasuki dunia
ilmu. Dunia mitos tidak saja bertentangan dengan aqidah Islamiyah, tetapi
sudah ketinggalan zaman ditinjau dari aspek perkembangan ilmu pengetahuan.

Secara umum, dunia mitos telah ditinggalkan akhir abad ke-19 yang lalu, atau
setidak-tidaknya awal abad ke-20. Apakah kita justru ingin kembali ke
belakang ? Kalau kita masih berkutat dengan dunia mitos, masyarakat kita
juga hanya akan menghasilkan pemimpin mitos yang selalu membingungkan dan
tidak menghasilkan sesuatu.

Siapa Syekh Siti Jenar Itu

Kalau seorang menulis buku, tentu para pembaca berusaha untuk mengenal
jatidiri penulis tersebut, minimal bidang keilmuannya. Oleh karena itu, isi
buku dapat dijadikan tolak ukur tentang kadar keilmuan dan identitas
penulisnya. Kalau ternyata buku itu berwarna kuning, penulisnya juga
berwarna kuning. Sedikit sekali seorang yang berpaham atheis dapat menulis
buku yang bersifat relijius karena dua hal tersebut sangat bertentangan.
Seorang sarjana pertanian dapat saja menulis buku tentang sosiologi karena
bidang pertanian dan sosiologi sering bersinggungan. Jadi, tidak mustahil
kalau isi sebuah buku tentu telah digambarkan secara singkat oleh judulnya.
Buku tentang berternak Kambing Ettawa menerangkan tentang seluk beluk
binatang tersebut, manfaatnya, jenis pakan, dan sebagainya yang mempunyai
kaitan erat dengan kambing Ettawa. Judul buku karya Dr. Abdul Munir Mulkhan
ini adalah : "Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar". Pembaca tentu
sudah membayangkan akan memperoleh informasi tentang kedua hal itu, yaitu
ajaran Syekh Siti Jenar dan bagaimana dia mati. Penulis juga setia dengan
ketentuan seperti itu.

Bertitik tolak dari ketentuan umum itu, paragraf 3 sampai 6 pada bab 1 tidak
relevan. Bab 1 diberi judul : "Melongok jalan sufi : Humanisme Islam Bagi
Semua". Mungkin penulis ingin mengaktualisasikan ajaran Syekh Siti Jenar
dengan situasi kini, tetapi apa yang ditulis tidak mengena sama sekali.
Bahkan di dalam paragraf 3-6 itu banyak pernyataan yang mencengangkan saya
sebagai seorang muslim.

Pernyataan di dalam sebuah tulisan, termasuk buku, dapat berasal dari diri
sendiri atau dari orang lain. Pernyataan orang lain mesti disebutkan
sumbernya; oleh karena itu pernyataan yang tidak ada sumbernya dianggap oleh
pembaca sebagai pernyataan dari penulis. Pernyataan orang lain dapat berbeda
dengan sikap, watak, dan pendapat penulis, tetapi pernyataan penulis jelas
menentukan sikap, watak dan pendapatnya. Pernyataan-pernyataan di dalam
sebuah buku tidak lepas satu dengan yang lain. Rangkaiannya, sistematika
penyajiannya, merupakan sebuah bangunan yang menentukan kadar ilmu dan
kualitas buku tersebut. Rangkaian dan sistematika pernyataan mesti disusun
menurut logika keilmuan yang dapat diterima dan dibenarkan oleh masyarakat
ilmu.

Untuk mengenal atau menguraikan ajaran Syekh Siti Jenar, adalah logis kalau
didahului dengan uraian tentang asal usul yang empunya ajaran. Ini juga
dilakukan oleh Dr. Abdul Munir Mulkhan (paragraf 1 bab 1 hal. 3-10). Di
dalam paragraf tersebut, diterangkan asal usul Syekh Siti Jenar yang tidak
jelas. Seperti telah diterangkan, karena tidak ada sumber obyektif maka
kisah asal-usul ini juga penuh dengan versi-versi. Di halaman 3, dengan
mengutip penelitian Dalhar Shodiq untuk skripsi S-1 Fakultas Filsafat UGM,
diterangkan bahwa Syekh Siti Jenar adalah seorang putra raja pendeta dari
Cirebon yang bernama Resi Bungsu. Nama asli Syekh Siti Jenar adalah Hasan
Ali alias Abdul Jalil.

Kalau seseorang menulis buku, apalagi ada hubungannya dengan hasil
penelitian, pembahasan secara ilmiah dengan menyandarkan pada logika amat
penting. Tidak semua berita dikutip begitu saja tanpa analisis. Didalam
uraian tentang asal-usul Syekh Siti Jenar di halaman 3-10 ini jelas sekali
penuh dengan kejanggalan, tanpa secuil analisis pun untuk memvalidasi berita
tersebut.

Kejanggalan-kejanggalan itu adalah :

1) Ayah Syekh Siti Jenar adalah seorang raja pendeta yang bernama Resi
Bungsu. Istilah raja pendeta ini tidak jelas. Apakah dia seorang raja, atau
pendeta. Jadi, beritanya saja sudah tidak jelas sehingga meragukan.

2) Dihalaman 62, dengan mengutip sumber Serat Syekh Siti Jenar, diterangkan
bahwa ayah Syekh Siti Jenar adalah seorang elite agama Hindu-Budha. Agama
yang disebutkan ini juga tidak jelas. Agama Hindu tidak sama dengan agama
Budha. Setelah Islam muncul menjadi agama mayoritas penduduk pulau Jawa,
persepsi umum masyarakat memang menganggap agama Hindu dan Budha sama.
Padahal ajaran kedua agama itu sangat berbeda dan antar keduanya pernah
terjadi perseteruan akut selama berabad-abad. Runtuhnya Mataram Hindu pada
abad ke-10 disebabkan oleh perseteruan akut tersebut. Runtuhnya Mataram
Hindu berakibat sangat fatal bagi perkembangan Indonesia. Setelah itu
kerajaan-kerajaan Jawa terus menerus terlibat dengan pertikaian-pertikaian
yang membuat kemunduran. Kemajuan teknologi bangsa Jawa yang pada abad ke-10
sudah di atas Eropa, pada abad ke-20 ini jauh di bawahnya. Tidak hanya itu,
bahkan selama beberapa abad Indonesia (termasuk Jawa) ada di bawah
bayang-bayang bangsa Eropa.

3) Kalau ayah Syekh Siti Jenar beragama Hindu atau Budha, mengapa anaknya
diberi nama Arab, Hasan Ali alias Abdul Jalil. Apalagi seorang raja pendeta
yang hidup di era pergeseran mayoritas agama rakyat menuju agama Islam,
tentu hal itu janggal sekali.

4) Atas kesalahan yang dilakukan anaknya, sang ayah menyihir sang anak
menjadi seekor cacing lalu dibuang ke sungai. Di sini tidak disebut apa
kesalahan tersebut, sehingga sang ayah sampai tega menyihir anaknya menjadi
cacing. Masuk akalkah seorang ayah yang raja pendeta menyihir anaknya
menjadi cacing ? Ilmu apakah yang dimiliki raja pendeta Resi Bungsu untuk
mengubah seorang menjadi cacing ? Kalau begitu, mengapa Resi Bungsu tidak
menyihir para penyebar Islam yang pada waktu itu mendepak pengaruh dan
ketentraman batinnya ? Cerita seorang mampu merubah orang menjadi binatang
adalah cerita kuno yang mungkin tidak pernah ada orang yang melihat
buktinya. Ini hanya terjadi di dunia pewayangan yang latar belakang agamanya
Hindu (Mahabarata) dan Budha (Ramayana).

5) Cacing Hasan Ali yang dibuang di sungai di Cirebon tersebut, suatu ketika
terbawa pada tanah yang digunakan untuk menambal perahu Sunan Mbonang yang
bocor. Sunan Mbonang berada di atas perahu sedang mengajar ilmu Ghoib kepada
sunan Kalijogo. Betapa luarbiasa kejanggalan pada kalimat tersebut. Sunan
Mbonang tinggal di Tuban sedang cacing Syekh Siti Jenar di buang di daerah
Cirebon. Di tempat lain, dikatakan bahwa sunan Mbonang mengajar sunan
Kalijogo di perahu yang sedang mengapung di sebuah rawa. Adakah orang
menambal perahu dengan tanah ? Kalau toh menggunakan tanah, tentu dipilih
dan disortir tanah tersebut, termasuk tidak boleh tanah yang membawa cacing.

6) Masih di halaman 4 diterangkan, suatu saat Hasan Ali dilarang Sunan Giri
mengikuti pelajaran ilmu Ghaib. Tidak pernah diterangkan bagaimana hubungan
Hasan Ali dengan sunan Giri yang tinggal di dekat Gresik. Karena tidak
boleh, Hasan Ali kemudian merubah dirinya menjadi seekor burung sehingga
berhasil mendengarkan kuliah Sunan Giri tadi dan memperoleh ilmu Ghaib.
Setelah itu Hasan Ali lalu mendirikan perguruan yang ajarannya dianggap
sesat oleh para wali. Untuk apa Hasan Ali belajar ilmu Ghaib dari Sunan
Giri, padahal dia sudah mampu merubah dirinya menjadi seekor burung ?

Alhasil, seperti dikatakan oleh Dr. Abdul Munir Mulkhan sendiri dan banyak
penulis yang lain, asal-usul Syekh Siti Jenar memang tidak jelas. Karena
itu, banyak pula orang yang meragukan, sebenarnya Syekh Siti Jenar itu
pernah ada atau tidak. Pertanyaan ini akan saya jawab di belakang. Keraguan
tersebut juga berkaitan dengan, tempat lahirnya, dimana sebenarnya tempat
tinggal Syekh Siti Jenar. Banyak penulis selalu menerangkan bahwa nama lain
Syekh Siti Jenar adalah : Sitibrit, Lemahbang, Lemah Abang. Kebiasaan waktu,
nama, sering dikaitkan dengan tempat tinggal. Dimana letak Siti Jenar atau
Lemah Abang tersebut sampai sekarang tidak pernah jelas ; padahal tokoh
terkenal yang hidup pada zaman itu semuanya diketahui tempat tinggalnya.
Syekh Siti Jenar tidak meninggalkan satupun petilasan.

Karena keraguan dan ketidakjelasan itu, saya setuju dengan pendapat bahwa
Syekh Siti Jenar memang tidak pernah ada. Lalu, apa sebenarnya Syekh Siti
Jenar itu ? Sekali lagi pertanyaan ini akan saya jawab di belakang nanti.

Kalau Syekh Siti Jenar tidak pernah ada., mengapa kita bertele-tele
membicarakan ajarannya. Untuk apa kita berdiskusi tentang sesuatu yang tidak
pernah ada. Apalagi diskusi itu dalam rangka memperbandingkan dengan Al-Qur'
an dan Hadits yang jelas asal-usulnya, mulia kandungannya, jauh kedepan
jangkauannya, tinggi muatan IPTEKnya., sakral dan di hormati oleh masyrakat
dunia. Sebaliknya, Syekh Siti Jenar hanya menjadi pembicaraan sangat
terbatas di kalangan orang Jawa. Tetapi karena begitu sinis dan menusuk
perasaan orang Islam yang telah kaffah bertauhid maka mau tidak mau lalu
sebagian orang Islam harus melayaninya. Oleh karena itu, sebagai orang Islam
yang tidak lagi ragu terhadap kebenaran Al-Qur'an dan kerasulan Muhammad
SAW, saya akan berkali-kali mengajak saudara-saudaraku orang Islam untuk
berhati-hati dan jangan terlalu banyak membuang waktu untuk mendiskusikan
ceritera fiktif yang berusaha untuk merusak aqidah Islamiyah ini.

Sunan Kalijogo

Semua orang di Indonesia, apalagi orang Islam, kenal dengan nama Sunan
Kalijogo yang kecilnya bernama Raden Mas Said ini. Dikatakan dia adalah
putera Adipati Tuban Tumenggung Wilatikta atau Raden Sahur yang beragama
Islam. Silsilah Raden Sahur ke atas adalah Putera Ario Tejo III (Islam),
putera Ario Tejo II (Hindu), putera Ario Tejo I, putera Ronggolawe, putera
Ario Banyak Wide alias Ario Wiraraja, putera Adipati Ponorogo. Itulah
asal-usul Sunan Kalijogo yang banyak ditulis dan diyakini orang, yang
sebenarnya merupakan versi Jawa. Dua versi lainnya tidak pernah ditulis atau
dijumpai dalam media cetak sehingga diketahui masyarakat luas (Imron Abu
Ammar, 1992).

Di depan telah saya singgung bahwa kisah Sunan Kalijogo versi Jawa ini penuh
dengan ceritera mistik. Sumber yang orisinal tentang kisah tersebut tidak
tersedia. Ricklefs, sejarawan Inggris yang banyak meneliti sejarah Jawa,
menyebutkan bahwa sebelum ada catatan bangsa Belanda memang tidak tersedia
data yang dapat dipercaya tentang sejarah Jawa. Sejarah Jawa banyak
bersumber dari catatan atau cerita orang-orang yang pernah menjabat sebagai
Juru Pamekas, lalu sedikit demi sedikit mengalami distorsi setelah melewati
para pengagum dan penentangnya.

Namun demikian sebenarnya Sunan Kalijogo meninggalkan dua buah karya tulis,
yang salah satu sudah lama beredar sehingga dikenal luas oleh masyarakat,
yaitu Serat Dewo Ruci, sedang yang satu lagi belum dikenal luas, yaitu Suluk
Linglung. Serat Dewo Ruci telah terkenal sebagai salah satu lakon wayang.
Saya pertama kali melihat wayang dengan lakon Dewo Ruci pada waktu saya
masih duduk di kelas 5 SD, di desa kelahiran ibu saya Palempayung (Madiun)
yang dimainkan oleh Ki dalang Marijan. Sunan Kalijogo sendiri sudah sering
menggelar lakon yang sebenarnya merupakan kisah hidup yang diangan-angankan
sendiri, setelah kurang puas dengan jawaban Sunan Mbonang atas pertanyaan
yang diajukan. Sampai sekarang Serat Dewo Ruci merupakan kitab suci para
penganut kejawen, yang sebagian besar merupakan pengagum ajaran Syekh Siti
Jenar yang fiktif tadi.

Kalau Serat Dewo Ruci diperbandingkan dengan Suluk Linglung, mungkin para
penganut Serat Dewo Ruci akan kecelek (merasa tertipu). Mengapa demikian ?
Isi Suluk Linglung ternyata hampir sama dengan isi Serat Dewo Ruci, dengan
perbedaan sedikit namun fundamental. Di dalam Suluk Linglung Sunan Kalijogo
telah menyinggung pentingnya orang untuk melakukan sholat dan puasa, sedang
hal itu tidak ada sama sekali dalam Serat Dewo Ruci. Kalau Serat Dewo Ruci
telah lama beredar, Suluk Linglung baru mulai dikenal akhir-akhir ini saja.
Naskah Suluk Linglung disimpan dalam bungkusan rapi oleh keturunan Sunan
Kalijogo. Seorang Pegawai Departemen Agama Kudus, Drs Chafid mendapat
petunjuk untuk mencari buku tersebut, ternyata disimpan oleh Ny. Mursidi,
keturunan Sunan Kalijogo ke-14. Buku tersebut ditulis di atas kulit kambing,
oleh tangan Sunan Kalijogo sendiri menggunakan huruf Arab pegon berbahasa
Jawa. Tahun 1992 buku tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Saat ini saya sedang membahas kedua buku itu, dan untuk sementara saya
sangat bergembira karena menurut kesimpulan saya, menjelang wafat ternyata
Sunan Kalijogo sendiri menjadi kaffah mengimani Islam. Sebelumnya Sunan
Kalijogo tidak setia menjalankan syariat Islam, sehingga orang Jawa hanya
meyakini bahwa yang dilakukan oleh Sunan terkenal ini bukan sholat lima
waktu melainkan sholat Da'im. Menurut Ustadz Mustafa Ismail LC, da'im
berarti terus-menerus. Jadi Sunan Kalijogo tidak sholat lima waktu melainkan
sholat da'im dengan membaca Laa ilaaha illallah kapan saja dan dimana saja
tanpa harus wudhu dan rukuk sujud . Atas dasar itu untuk sementara saya
membuat hipotesis bahwa Syekh Siti Jenar sebenarnya adalah Sunan Kalijogo.
Hipotesis inilah yang akan saya tulis dan sekaligus saya gunakan untuk
mengajak kaum muslimin Indonesia untuk tidak bertele-tele menyesatkan diri
dalam ajaran Syekh Siti Jenar. Sayang, waktu saya masih banyak terampas
(tersita) untuk menyelesaikan buku-buku saya tentang kehutanan sehingga
upaya saya untuk mengkaji dua buku tersebut tidak dapat berjalan lancar.
Atas dasar itu pula saya menganggap bahwa diskusi tentang Syekh Siti Jenar,
seperti yang dilakukan oleh Dr. Abdul Munir Mulkhan ini, menjadi tidak
mempunyai landasan yang kuat kalau tidak mengacu kedua buku karya Sunan
Kalijogo tersebut.

Sebagai tambahan, pada waktu Sunan Kalijogo masih berjati diri seperti
tertulis didalam Serat Dewo Ruci, murid-murid kinasih-nya berpaham
manuggaling kawulo gusti (seperti Sultan Hadiwidjojo, Pemanahan, Sunan
Pandanaran, dan sebagainya), sedang setelah kaffah dengan tauhid murni,
Sunan Kalijogo mengutus muridnya yaitu Joko Katong, yang ditugaskan untuk
mengislamkan Ponorogo. Joko Katong sendiri menurunkan tokoh-tokoh Islam
daerah tersebut yang pengaruhnya amat luas hingga sekarang, termasuk Kyai
Kasan Bestari (guru R. Ng. Ronggowarsito), Kyai Zarkasi (pendiri PS Gontor),
dan mantan Presiden BJ Habibie, termasuk Ny Ainun Habibie.

Walisongo

Sekali lagi, kisah walisongo penuh dengan cerita-cerita yang sarat dengan
mistik. Namun Widji Saksono dalam bukunya "Mengislamkan Tanah Jawa" telah
menyajikan analisis yang memenuhi syarat keilmuan. Widji Saksono tidak
terlarut dalam kisah mistik itu, memberi bahasan yang memadai tentang
hal-hal yang tidak masuk akal atau bertentangan dengan aqidah islamiyyah.
Widji Saksono cukup menonjolkan apa yang dialami oleh Raden Rachmat dengan
dua orang temannya ketika dijamu oleh Prabu Brawidjaya dengan tarian oleh
penari putri yang tidak menutup aurat. Melihat itu Raden Rachmat selalu
komat-kamit, tansah ta'awudz. Yang dimaksudkan, pemuda tampan terus
istighfar melihat putri-putri cantik menari dengan sebagian auratnya
terbuka.

Namun para pengagum Walisongo akan kecelek kalau membaca tulisan Asnan
Wahyudi dan Abu Khalid. Kedua penulis menemukan sebuah naskah yang mengambil
informasi dari sumber orisinal yang tersimpan di musium Istana Istambul,
Turki. Menurut sumber tersebut, ternyata organisasi Walisongo dibentuk oleh
Sultan Muhammad I. Berdasarkan laporan para saudagar Gujarat itu, Sultan
Muhammad I ingin mengirim tim yang beranggotakan sembilan orang, yang
memiliki kemampuan diberbagai bidang, tidak hanya bidang ilmu agama saja.
Untuk itu Sultan Muhammad I mengirim surat kepada pembesar Afrika Utara dan
Timur Tengah, yang isinya minta dikirim beberapa ulama yang mempunyai
karomah. Berdasarkan perintah Sultan Muhammad I itu lalu dibentuk tim yang
beranggotakan 9 orang untuk diberangkatkan ke pulau Jawa pada tahun 1404.
Tim tersebut diketuai oleh Maulana Malik Ibrahim yang merupakan ahli
mengatur negara (ahli tata negara) dari Turki. Berita ini tertulis dalam
kitab Kanzul 'Hum karya Ibnul Bathuthah, yang kemudian dilanjutkan oleh
Syekh Maulana Al-Maghribi.

Secara lengkap, nama, asal dan keahlian 9 orang tersebut adalah sebagai
berikut:

1) Maulana Malik Ibrahim, berasal dari turki, ahli mengatur negara (ahli
tata negara).
2) Maulana Ishaq, berasal dari Samarkand, Rusia Selatan, ahli pengobatan.
3) Maulana Ahmad Jumadil Kubro dari Mesir.
4) Maulana Muhammad Al-Maghrobi, berasal dari Maroko.
5) Maulana Malik Isro'il, dari Turki, Ahli mengatur negara (ahli tata
negara).
6) Maulana Muhammad Ali Akbar, dari Persia (Iran), ahli pengobatan.
7) Maulana Hasanuddin, dari Palestina.
8) Maulana Aliyudin, dari Palestina.
9) Syekh Subakir, dari Iran, Ahli menumbali daerah yang angker yang dihuni
oleh Jin jahat (ahli ruqyah).

Dengan informasi baru itu terjungkir-baliklah sejarah Walisongo versi Jawa.
Ternyata memang sejarah Walisongo versi non jawa, seperti telah disebutkan
di muka, tidak pernah diekspos, entah oleh Belanda atau siapa saja, agar
orang Jawa, termasuk yang memeluk agama Islam, selamanya terus dan semakin
tersesat dari kenyataan yang sebenarnya. Dengan Infromasi baru itu, menjadi
Jelaslah apa sebenarnya Walisongo itu. Walisongo adalah gerakan berdakwah
untuk menyebarkan Islam.





Latar Belakang Gerakan Syekh Siti Jenar

Tulisan tentang Syekh Siti Jenar sebenarnya hanya bersumber pada satu
tulisan saja, yang mula-mula adalah tanpa pengarang. Tulisan yang ada
pengarangnya juga ada, misalnya Serat Sastro Gendhing oleh Sultan Agung.
Buku berjudul "Ajaran Syekh Siti Jenar" karya Raden Sosrowardojo yang
menjadi buku induk karya Dr. Abdul Munir Mulkhan itu sebenarnya merupakan
gubahan atau tulisan ulang dari buku dengan judul yang sama karya Ki Panji
Notoroto. Nama Panji Notoroto adalah samaran mantan Adipati Mataram penganut
berat ajaran Syekh Siti Jenar.

Ki Panji Notoroto memberi informasi menarik, bahwa rekan-rekan adipati
seangkatannya ternyata tidak ada yang dapat membaca dan menulis. Ini
menunjukkan bahwa setelah era Demak Bintoro, nampaknya pendidikan klasikal
dimasyarakat tidak berkembang sama sekali. Memahami Al-Qur'an dan Hadits
tidak mungkin kalau tidak didasari dengan ilmu. Penafsiran Al-Qur'an tanpa
ilmu akan menghasilkan hukum-hukum yang sesat belaka. Itulah nampaknya yang
terjadi pada era pasca Demak, yang kebetulan sejak Sultan Hadiwidjojo, agama
yang dianut kerajaan adalah agama Manuggaling Kawulo Gusti.

Disamping masalah pendidikan, sejak masuknya agama Hindu di Jawa ternyata
pertentangan agama tidak pernah reda. Hal ini dengan jelas ditulis di dalam
Babad Demak. Karena pertentangan antar agama itulah Mataram Hindu runtuh.
Sampai dengan era Singosari, masih ada tiga agama besar di Jawa yaitu Hindu,
Budha, dan Animisme yang sering disebut agama Jawa. Untuk mencoba meredam
pertentangan agama itu, Prabu Kertonegoro, raja besar dan terakhir
Singosari, mencoba untuk menyatukannya dengan membuat agama baru disebut
agama Syiwa-Boja. Syiwa mewakili agama Hindu, Bo singkatan dari Budha dan Ja
mewakili agama Jawa. Nampaknya sintesa itulah yang ditiru oleh politikus
besar di Indonesia akhir dekade 1950-an dulu, yaitu Nasakom.

Dengan munculnya Islam sebagai agama mayoritas baru, banyak pengikut agama
Hindu, Budha dan Animisme melakukan perlawanan secara tidak terang-terangan
(sembunyi-sembunyi). Mereka lalu membuat berbagai cerita, misalnya
Gatholoco, Darmogandhul, Wali Wolu Wolak-walik, Syekh Bela Belu, dan yang
paling terkenal adalah Syekh Siti Jenar. Untuk yang terakhir itu kebetulan
dapat di domplengkan kepada salah satu anggota wali songo yang terkenal,
yaitu Sunan Kalijogo seperti yang telah disebutkan dimuka. Jadi Syekh Siti
Jenar sebenarnya hanya sebuah gerakan anti reformasi, anti perubahan dari
Hindu-Budha-Jawa ke Islam.

Oleh karena itu isi gerakan itu selalu sinis terhadap ajaran Islam, dan
hanya mengambil potongan-potongan ajarannya yang secara sepintas nampak
tidak masuk akal. Potongan-potongan ini banyak sekali disitir oleh Dr. Abdul
Munir Mulkhan tanpa tela'ah (analisis) yang didasarkan pada dua hal, yaitu
logika dan aqidah.

Pernyataan-Pernyataan

Masalah pernyataan yang dibuat oleh penulis buku ini (Dr. Abdul Munir
Mulkhan) telah saya singgung dimuka. Banyak sekali pernyataan yang saya
sebagai muslim ngeri membacanya, karena buku ini ditulis juga oleh seorang
muslim, malah salah seorang tokoh organisasi Islam di Indonesia
(Muhammadiyah). Misalnya pernyataan yang menyebutkan "ngurusi Tuhan, semakin
dekat dengan Tuhan semakin tidak manusiawi, kelompok syariah yang
dibenturkan dengan kelompok sufi, orang beragama yang mengutamakan
formalitas, dan sebagainya". Setahu saya dulu pernyataan seperti itu memang
banyak diucapkan oleh orang-orang dari gerakan anti Islam, termasuk
orang-orang dari Partai Komunis Indonesia yang pernah menggelar kethoprak
dengan lakon "Patine Gusti Allah" (matinya gusti Allah) di daerah Magelang
pada tahun 1965-an awal. Bahkan ada pernyataan yang menyebutkan bahwa
syahadat, sholat, puasa, membayar zakat dan menunaikan ibadah haji itu tidak
perlu. Yang penting berbuat baik untuk kemanusiaan. Ini jelas pendapat para
penganut agama Jawa yang sedih karena pengaruhnya terdesak oleh Islam.
Rasulallah SAW juga tidak mengajarkan pelaksanaan ibadah hanya secara
formalistik dan secara ritual saja. Islam mengajarkan kepada penganutnya
untuk berbuat baik, karena kehidupan muslim harus memenuhi dua aspek, yaitu
Hablumminallah wa hablum minannas (hubungan mahluk dengan Allah dan hubungan
mahluk dengan sesamanya)

Di dalam buku, seperti saya sebutkan, hendaknya pernyataan disusun
sedemikian rupa untuk membangun sebuah misi atau pengertian. Apa sebenarnya
misi yang akan dilakukan oleh Dr. Abdul Munir Mulkhan dengan menulis buku
Syekh Siti Jenar itu. Buku ini juga dengan jelas menyiratkan kepada pembaca
bahwa mempelajari ajaran Syekh Siti Jenar itu lebih baik dibandingkan
mempelajari Fiqih atau ilmu agama lainnya. Islam tidak mengkotak-kotakkan
antara Fiqih, Sufi dan sebagainya. Islam adalah satu, yang karena begitu
kompleknya maka orang harus belajar secara bertahap. Belajar tauhid
merupakan tahap awal untuk mengenal Islam.

Penulis (Dr. Abdul Munir Mulkhan) juga membuat pernyataan tentang mengkaji
Al-Qur'an : "Bukan hanya orang Islam dan orang yang tahu bahasa Arab saja
yang boleh mempelajari Al-Qur'an". Disini nampaknya Dr. Abdul Munir Mulkhan
lupa bahwa untuk belajar Al-Qur'an ada dua syarat yang harus dipenuhi, yaitu
muttaqien (Al-Baqoroh ayat 2) dan tahu penjelasannya, yang sebagian telah
dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Jadi sebenarnya boleh saja siapapun
mengkaji Al-Qur'an, tetapi tentu tidak boleh semaunya sendiri, tanpa
melewati dua rambu penting itu. Oleh karena itu saya mengajak kepada
siapapun, apalagi yang beragama Islam, untuk belajar Al-Qur'an yang memenuhi
kedua syarat tersebut. Jangan belajar Al-Qur'an kepada pengikut ajaran Syekh
Siti Jenar, karena pasti akan tersesat sebab Syekh Siti Jenar adalah Gerakan
untuk Melawan Islam.

Catatan Kecil

Untuk mengakhiri tanggapan saya, saya sampaikan beberapa catatan kecil pada
buku Syekh Siti Jenar Karya Abdul Munir Mulkhan ini :

1) Banyak kalimat yang tidak sempurna, tidak mempunyai subyek misalnya. Juga
banyak kalimat yang didahului dengan kata sambung.
2) Banyak pernyataan yang terlalu sering diulang-ulang sehingga terkesan
mengacaukan sistematika penulisan.
3) Bab 1 diakhiri dengan daftar kepustakaan, bab lain tidak, dan buku ini
ditutup dengan Sumber Pustaka. Yang tercantum didalam Daftar kepustakaan Bab
1 hampir sama dengan yang tercantum dalam sumber pustaka.
4) Cara mensitir penulis tidak konsisten, contoh dapat dilihat pada halaman
2 yang menyebut : ..... sejarah Islam (Madjid, Khazanah, 1984), dan di
alinea berikutnya tertulis : .... Menurut Nurcholis Madjid (Khazanah, 1984,
hlm 33).
5) Pada bab 4, seperti diakui oleh penulis, merupakan terjemahan buku karya
Raden Sosrowardoyo yang pernah ditulis didalam buku dengan judul hampir sama
oleh penulis. Di dalam buku ini, bab tersebut mengambil hampir separoh buku
(halaman 179-310). Karena pernah ditulis, sebenarnya di sini tidak perlu
ditulis lagi melainkan cukup disitir saja.

Demikianlah tanggapan saya, kurang lebihnya mohon dima'afkan. Semoga yang
saya lakukan berguna berwasiat-wasiatan (saling menasehati) didalam
kebenaran sesuai dengan perintah Allah Subhanahuwata'ala dalam Surat Al-
'Ashar. Aamiin.

Wassalamu'alaikum Warohmatullahi wabarookaatuh.

Yogyakarta, 24 Juli 2001

Note :
Tulisan ini pernah dipublikasikan di Masjid Pogung Raya Yogyakarta, kemudian
saya ketik ulang untuk disebarluaskan lewat internet.



----- Original Message -----
From: "Nugroho Dewanto" <ndewanto@xxxxxxxxxxxxxxxx>

isi kelihatannya menarik, sayang formatnya hancur lebur.
bisa dikirim ulang pak?

salam,





------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Clean water saves lives.  Help make water safe for our children.
http://us.click.yahoo.com/CHhStB/VREMAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com **

Other related posts: