** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List ** ** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: ** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ ** ** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral scholarship, kunjungi http://informasi-beasiswa.blogspot.com **MEDIA INDONESIA Senin, 16 Januari 2006 Peristiwa Malari dan Nasionalisme Ekonomi Asvi Warman Adam, Ahli Peneliti Utama LIPI KASUS 15 Januari 1974 yang lebih dikenal dengan Peristiwa Malari, biasanya dikaitkan dengan penentangan modal asing, khususnya Jepang di Indonesia. Saat itu memang mobil dan motor buatan Jepang dibakar di mana-mana. Tercatat 807 buah mobil dan 187 sepeda motor yang dirusak atau disulut api. Selain itu jatuh korban manusia, sedikitnya 11 orang meninggal, 300 luka-luka, 775 orang ditahan. Sebanyak 144 buah bangunan rusak berat dan 160 kg emas hilang dari sejumlah tokoh perhiasan. Peristiwa itu terjadi ketika Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka sedang berkunjung ke Jakarta (14-17 Januari 1974). Mahasiswa merencanakan menyambut kedatangannya dengan berdemonstrasi di Halim Perdana Kusumah, Jakarta. Karena dijaga ketat, rombongan mahasiswa tidak berhasil menerobos masuk pangkalan udara. Kemudian meletuslah kerusuhan dan pembakaran di Senen, Jakarta Pusat, dan di beberapa tempat lain di Jakarta. Ketika pulang ke Jepang, tanggal 17 Januari 1974 pukul 08.00 WIB PM Tanaka berangkat dari Istana tidak dengan mobil, tetapi diantar Presiden Soeharto dengan helikopter dari gedung Bina Graha ke pangkalan udara. Itu memperlihatkan bahwa suasana Kota Jakarta masih mencekam. Apakah betul peristiwa merupakan perwujudan dari sentimen antimodal Jepang? Tulisan ini akan menggambarkan bahwa hipotesis itu tidak tepat, aktivitas pembakaran barang-barang buatan/merek Jepang itu hanya alasan untuk kepentingan lain dari pihak yang bertikai, bahkan bersaing meraih kekuasaan yang lebih tinggi. Kasus ini mencerminkan friksi elite militer, khususnya rivalitas antara Jenderal Soemitro dan Ali Moertopo. Sebagaimana diketahui, kecenderungan serupa juga tampak di kemudian hari dalam kasus Mei 1998 (Wiranto versus Prabowo). Kedua kasus ini--meminjam ungkapan Chalmers Johnson (Blowback, 2000) dapat kiranya disebut permainan 'jenderal kalajengking' (scorpion general). Beberapa pengamat melihat peristiwa itu sebagai ketidaksenangan kaum intelektual terhadap Asisten Pribadi (Aspri) Presiden Soeharto (Ali Moertopo, Soedjono Humardani, dan lain-lain) yang memiliki kekuasaan teramat besar. Setelah terjadi demonstrasi yang disertai di tempat lain dengan kerusuhan, pembakaran dan penjarahan, Jakarta pun menjadi berasap. Soeharto memberhentikan Soemitro sebagai Pangkopkamtib dan langsung mengambil alih jabatan tersebut. Aspri Presiden dibubarkan. Kepala BAKIN Sutopo Juwono didubeskan dan diganti Yoga Sugama. Bagi Soeharto, kerusuhan 15 Januari 1974 telah mencoreng keningnya karena peristiwa itu terjadi di depan hidung tamu negara, PM Jepang. Malu yang tak tertahankan itu menyebabkan ia untuk selanjutnya sangat waspada terhadap semua orang/golongan serta melakukan sanksi tak berampun terhadap pihak yang bisa mengusik pemerintah. Selanjutnya ia sangat selektif memilih pembantu dekatnya antara lain dengan kriteria 'pernah jadi ajudan presiden'. Segala upaya dijalankan untuk mempertahankan dan mengawetkan kekuasaan, baik secara fisik maupun secara mental. Jadi dari sudut ini, Peristiwa 15 Januari 1974 dapat disebut sebagai salah satu tonggak sejarah kekerasan Orde Baru. Sejak itu represi dijalankan secara lebih sistematis. Nasionalisme ekonomi Kedatangan Ketua IGGI JP Pronk akhir 1973 dijadikan momentum untuk demonstrasi antimodal asing. Kumulasi dari aktivitas itu akhirnya mencapai klimaksnya dengan kedatangan PM Jepang Tanaka Januari 1974 yang disertai bukan saja demonstrasi, melainkan juga kerusuhan. Setelah berakhirnya Peristiwa Malari, untuk selanjutnya tidak ada lagi demonstrasi yang besar anti-Jepang. Meskipun dalam 3,5 tahun pendudukan Jepang di Indonesia masih terdapat kesan tentang kekejaman yang dilakukan tentara Jepang yang tidak segan, misalnya, menempeleng orang yang tidak mengikuti perintah mereka. Namun di sisi lain hal itu oleh sebagian masyarakat diterima sebagai suatu sikap penegakan disiplin. Pemerintah berupaya keras agar citra Jepang yang tidak jarang kasar selama masa pendudukan itu tidak sampai menyelusup ke dalam pikiran orang Indonesia. Oleh sebab itu, Departemen Penerangan era Orde Baru langsung melarang pembuatan film Romusa. Alhasil, sampai sekarang--tanpa sentimen antimodal asing--kita masih bisa menikmati fasilitas yang diberikan mobil-mobil dan sepeda motor Jepang dan barang produksi lainnya. Dalam sejarah Indonesia, nasionalisme ekonomi bisa ditelusuri kepada nasionalisasi perusahaan asing, terutama Belanda setelah penyerahan kedaulatan Desember 1949 dan pelarangan pedagang asing (WNA China) untuk berusaha di pedesaan. Pada era Orde Baru memang ada upaya untuk menggalakkan produksi dalam negeri. Nasionalisme ekonomi ini mencuat kembali dengan upaya yang dilakukan pemerintah pada era reformasi untuk melakukan privatisasi sejumlah badan usaha milik negara (BUMN). Pada masa lampau memang perusahaan-perusahaan tersebut boleh dikatakan semacam 'sapi perah' dari departemen teknis. Privatisasi dan nasionalisasi merupakan sesuatu yang lumrah dalam proses pembangunan ekonomi suatu negara. Hanya saja perlu kriteria yang jelas. Perusahaan yang memenuhi hajat orang banyak, strategis dan secara historis terkait dengan perjuangan bangsa, seyogianya tidak masuk dalam daftar privatisasi. Privatisasi Indosat diprotes karena dianggap perusahaan itu memiliki akses terhadap rahasia negara yang pada tingkat tertentu tidak boleh diketahui oleh pihak asing. Ketika ada upaya untuk membeli kembali (buy back) perusahaan itu ternyata tidak mudah dilakukan. Tetapi ironisnya ada upaya untuk menjual Garuda, padahal nama perusahaan penerbangan itu selain menjadi simbol atau lambang negara, tetapi secara historis juga Garuda pernah digunakan untuk perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Perusahaan itu yang secara simbolis dan praktis menghubungkan manusia Indonesia dari suatu pulau ke pulau lainnya di seluruh Tanah Air. Persoalan ini kian runyam bila kepentingan pribadi penguasa yang merangkap pengusaha juga ikut bermain. Namun, masalah yang terbesar mengenai nasionalisme ekonomi tentulah utang pemerintah yang sangat membebani APBN dan tidak akan lunas dibayar selama beberapa generasi. Ironisnya tidak ada sedikit pun upaya untuk menuntut pemotongan utang. Bangsa ini masih minder dalam berhadapan dengan lembaga asing internasional. [Non-text portions of this message have been removed] *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://groups.yahoo.com/group/ppiindia *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx 5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx 6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/ ** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List ** ** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: ** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ ** ** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral scholarship, kunjungi http://informasi-beasiswa.blogspot.com **