[nasional_list] [ppiindia] Matinya Pe(r)tani(an)

  • From: "Ambon" <sea@xxxxxxxxxx>
  • To: <"Undisclosed-Recipient:;"@freelists.org>
  • Date: Sun, 15 Jan 2006 02:24:20 +0100

** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com 
**http://www.suarapembaruan.com/News/2006/01/14/index.html

SUARA PEMBARUAN DAILY 
Matinya Pe(r)tani(an)
Oleh 
Imam Cahyono 

SEPRONO-seprene, mboten wonten ceritane pemerintah mbela petani. Daripada 
disiksa terus, luwih becik dipateni mawon!" (Dari dulu hingga sekarang, 
pemerintah tidak pernah membela petani. Daripada disiksa terus, lebih baik 
dibunuh saja!) tandas Karjo, warga Desa Ngadiluwih, Kediri, dalam wawancara di 
sebuah stasiun televisi. Karjo hanyalah satu dari sekian banyak petani yang 
berteriak, menjerit kesakitan menanggapi kebijakan impor beras. 

Sejak awal, rencana membuka kran impor beras penuh keganjilan. Sejumlah data 
menyebutkan, stok beras cukup memadai. Produksi gabah nasional, bahkan 
mengalami surplus alias melampaui target. 

Keputusan impor beras Menteri Perdagangan dinilai melompati prosedur, keluar 
tanpa tahapan yang benar. Celakanya, impor resmi belum dilakukan, tapi beras 
impor telah beredar di pasaran. 

Kekayaan sumber daya alam yang melimpah ruah di negara berkembang tidak 
seketika memberi garansi keberhasilan dalam pembangunan. Umumnya, negara yang 
kaya sumber alam justru gagal, sementara negara yang miskin sumber alam malah 
berhasil dalam pembangunan. Kebutuhan dan tuntutan untuk mengatasi kemiskinan 
sumber daya alam memaksa negara seperti Korsel dan Taiwan membuat kebijakan 
yang memihak kepentingan rakyat. 

Bagi negara berkembang, kekayaan sumber alam menimbulkan paradoks. Ibarat pisau 
bermata dua, kekayaan itu menjadi kekuatan sekaligus kelemahan, rahmat 
sekaligus laknat. Dan, yang terjadi dalam pembangunan Indonesia selama ini 
adalah paradoks kelimpahan. 

Terry Lynn Karl dalam Paradox of Plenty Oil Booms and Petro-States (1997) 
menyatakan, Indonesia -di masa Orde Baru- sangat tergantung pada sektor migas 
sebagai sumber keuangan utama dalam pembiayaan pembangunan. Ketergantungan pada 
sektor migas memperlemah mekanisme kontrol, minimnya transparansi dan 
akuntabilitas publik, sembari menyediakan ruang lebar tumbuhnya virus-virus 
korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). 

Strategi industrialisasi pembangunan yang berorientasi pada sektor migas 
membuat minimnya keberpihakan pemerintah terhadap kondisi objektif masyarakat 
yang membiayai proses pembangunan itu. 

Sebuah negara, menurut Peter Evans (1995), dapat menjadi penguasa yang bersifat 
predator atau developmental, tergantung pada sumber pembiayaan utama untuk 
menjalankan roda pemerintahan. Ketergantungan Indonesia pada sektor migas 
membuat sektor yang lain diabaikan. 

Pemerintah seringkali membuat kebijakan yang timpang, terutama terhadap sektor 
pertanian yang menjadi mata pencaharian utama sebagian besar rakyatnya. Hal ini 
tentu berbeda dengan Brazil, yang sukses meraih predikat negara raksasa 
pertanian (the agricultural superpower). Keberhasilan Brazil tak lepas dari 
perhatian khusus dari negara terhadap sektor pertanian (The Economist, 
5/10/2005) 


Negara Predator 

Seiring dengan perkembangan zaman, persoalan yang dihadapi petani -terutama 
petani gurem (petani penggarap)- tidak lagi berkutat dengan tuan tanah (pemilik 
tanah). Saat ini, petani berhadapan langsung, dan dihimpit oleh negara dan 
pasar (tengkulak). Kebijakan negara yang tidak memihak petani menampilkan ciri 
khas negara sebagai pemangsa (predatory). 

Teriakan, bahkan tangisan petani padi, bisa jadi tak terdengar lagi oleh 
pemerintah, yang lebih berpihak kepada kelompok pengusaha industri yang 
menginginkan harga pangan murah. Pemerintah (baca: Departemen Perdagangan dan 
Bulog) nampaknya lebih suka menghamburkan devisa negara untuk petani negara 
lain, ketimbang menggunakan anggaran negara untuk membeli beras produksi petani 
sendiri. 

Celakanya, Bulog sebagai lembaga penyangga stok pangan, bukan badan yang bebas 
dari praktik kongkalikong berbau KKN. Tanpa disadari, kebijakan yang tidak 
memihak petani cenderung untuk membunuh sektor pertanian itu sendiri. 

Pada saat yang sama, sektor pertanian juga tak bisa lepas dari intervensi 
mekanisme pasar. Hukum pasar menyediakan ruang seluas-luasnya bagi naluri 
pedagang untuk mengeruk laba sebesar-besarnya. Biasanya, begitu panen, padi 
yang masih terhampar di sawah langsung ditebas tengkulak dengan harga murah. 

Baru mendengar rencana impor, para pedagang menimbun beras, menyembunyikan 
beras dari peredaran. Dan sesuai hukum permintaan dan penawaran, jika harga 
beras dalam negeri rendah dari pasaran luar negeri, mereka akan menyelundupkan 
keluar. Sebaliknya, jika harga di pasar internasional lebih rendah dari dalam 
negeri, mereka akan menyelundupkan ke dalam. Penyelundupan itu berpotensi 
menjatuhkan harga beras di tingkat konsumen. 

Salah satu faktor penyebab runtuhnya peradaban, menurut Jared Diamond (2005), 
adalah buruknya penyelesaian persoalan melalui kerangka institusi politik, 
ekonomi, sosial dan nilai-nilai budaya. Institusi sosial, ekonomi, dan politik 
yang semakin kompleks, tidak serta merta berpihak pada mereka yang lemah. 

Impor beras sejatinya mengandung dimensi luas, yakni politik ekonomi. Impor 
beras tak sekadar urusan ekonomi, tetapi juga menyangkut persoalan politik dan 
kedaulatan pangan. Tragis, bila negara yang mengklaim dirinya agraris tapi tak 
mampu memenuhi swasembada pangan. Sangat berbahaya, bila sebuah negara 
menggantungkan pasokan pangan dari negara lain. 

Kebijakan impor besar tatkala petani mengalami surplus beras, merupakan wujud 
tidak adanya keberpihakan pemerintah. Masuknya beras impor dipastikan merugikan 
petani, menyebabkan harga jual beras dan gabah menurun. Kendati mereka sudah 
mengorbankan apa saja untuk menanam padi, harapan harga yang bagus saat panen 
menjadi sirna. Naiknya harga bahan bakar minyak (BBM), ikut mendongkrak ongkos 
tanam dan harga pupuk. Kondisi itu cenderung membuat petani tak bergairah lagi 
menanam padi. 

Banyak petani memilih menanam padi sebagai pakan sapi ketimbang menunggu panen. 
Ini juga menjadi ironi strategi industrialisasi pembangunan tatkala sektor 
pertanian mulai ditinggalkan, tapi sektor industri yang menjadi prioritas tak 
kunjung ditemukan. 

Pelan tapi pasti, sektor pertanian menunggu sakaratul maut. Anak-anak petani 
enggan mengikuti jejak nenek-moyangnya, karena bertani dianggap tidak 
prospektif dan tidak bergengsi, alias udik. Anak-anak petani -meski tanpa skill 
memadai- memilih ber-urbanisasi menjadi kuli bangunan, atau mengais rejeki di 
negeri orang, menjadi TKI. Padahal, menjadi petani adalah profesi mulia yang 
menopang kehidupan jutaan warga republik. 

Tapi, siapa mau bertani dan menjadi petani, yang hanya cukup untuk sekadar 
survive. Selebihnya menderita, saat panen berhasil harus menangis, tatkala 
panen gagal harus meringis. Semoga Presiden Yudhoyono tidak lupa bahwa ia 
meraih gelar doktoralnya di bidang pertanian. * 


Penulis adalah Koordinator Riset al Maun Institute, Jakarta 


Last modified: 14/1/06 

[Non-text portions of this message have been removed]



***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com **

Other related posts:

  • » [nasional_list] [ppiindia] Matinya Pe(r)tani(an)