** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List ** ** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: ** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ ** ** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral scholarship, kunjungi http://informasi-beasiswa.blogspot.com **http://www.pikiran-rakyat.co.id/cetak/2006/012006/21/0904.htm KPI, Calo atau Jongos? Oleh S. SAHALA TUA SARAGIH ANEH tetapi nyata, banyak produk hukum, terutama undang-undang (UU), yang sesungguhnya sangat bagus tapi tidak dilaksanakan secara konsekuen dan konsisten. Ambil saja dua contoh, UU Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan UU No.32/2002 tentang Penyiaran. DPR, pemerintah, dan berbagai pihak terkait sangat bersemangat membuat kedua UU yang sangat bagus ini, namun setelah dinyatakan berlaku, para pembuatnya langsung "tidur" panjang. Banyak cara atau akal bulus pemerintah untuk tidak melaksanakan UU. Misalnya, suatu UU mengamanatkan agar sebuah/beberapa pasal harus dijabarkan lagi dalam sebuah/beberapa peraturan pemerintah (PP). Nah, kalau pemerintah tidak membuat PP-nya, maka dengan sendirinya UU itu tidak dilaksanakan di lapangan. Atau pemerintah beberapa tahun kemudian membuat PP-nya, namun isinya bertolak belakang dengan isi UU yang dijabarkan. Lalu banyak pihak mengajukan protes, menuduh pemerintah (presiden/menteri yang relevan) sengaja melanggar UU. Kemudian mereka mengajukan gugatan berupa judicial review (uji materil) kepada Mahkamah Konstitusi (MK) atau Mahkamah Agung (MA). Contoh paling aktual adalah empat PP tentang Penyiaran yang ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 16 November 2005. Keempat PP itu merupakan turunan atau penjabaran pasal 33 dan 34 UU Penyiaran yakni tentang Perizinan. Seperti diketahui, UU Penyiaran disahkan pada 28 Desember 2002. Masa sosialisasinya dua tahun (2002-2004). Ini berarti, sejak 28 Desember 2004 UU tersebut seharusnya sudah mulai dilaksanakan secara konsekuen dan konsisten oleh semua perusahaan/lembaga penyiaran di tanah air. Akan tetapi karena pemerintah tidak/belum membuat PP-nya, maka UU yang dibuat selama empat tahun tersebut terpaksa menganggur saja. Pada awal tahun ini pemerintah mengeluarkan tiga PP Penyiaran sebagai turunan atau penjabaran pasal 14 dan 15 UU Penyiaran yakni tentang Lembaga Penyiaran Publik. Oleh karena isi ketiga PP tersebut bertentangan dengan isi UU Penyiaran, maka pada 15 Juni 2005 Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mengajukan gugatan uji materil kepada MA. Namun hingga tulisan ini dibuat MA tidak/belum mengambil sikap dan keputusan. Dengan demikian, ketiga PP tentang Lembaga Penyiaran Publik tersebut belum/tidak dilaksanakan. Ini berarti, lembaga penyiaran publik, dalam hal ini Radio Republik Indonesia dan Televisi Republik Indonesia, tidak/belum terikat oleh ketiga PP tersebut. Peristiwa yang sama terjadi lagi baru-baru ini. Pemerintah mengeluarkan PP No. 49/2005 tentang Pedoman Kegiatan Peliputan Lembaga Penyiaran Asing, PP No. 50/2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta, No. 51/2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Komunitas, dan PP No. 52/2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Berlangganan. Tanpa diperintah, keempat PP penyiaran ini langsung diprotes keras oleh berbagai pihak, terutama KPI (pusat) dan semua KPI Daerah, para anggota Komisi I DPR serta para pakar komunikasi massa. Mereka memprotes keras pemerintah, terutama Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), Dr. Sofyan A. Djahil selaku "otak" pembuatan keempat PP Penyiaran ini. Sofyan baru-baru ini berkata, "kalau tak puas, minta pendapat MA." (Kompas, 1/12). Hal yang sama juga dikatakannya kepada wartawan koran Seputar Indonesia (Sindo, 4/12). Ini dapat diartikan, Sofyan seolah-olah berkata begini, "kalau Anda tak puas dengan PP kami ini, silakan mengadu kepada MA. Ketua MA itu 'kan konco kami. Anda sudah dijamin kalah." Setelah terjadi perdebatan sengit antara para anggota Komisi I DPR dengan Menkominfo, maka disepakati pelaksanaan keempat PP Penyiaran itu ditunda dua bulan (Kompas, 6/12). Padahal, sesungguhnya KPI, DPR, dan para pakar komunikasi massa menuntut pemerintah untuk membatalkan atau mencabut semua PP Penyiaran itu. Apa gunanya ditunda tanpa perubahan mendasar? Ada apa sebenarnya dengan PP Penyiaran yang diprotes keras tersebut? Mengapa isi keempat PP itu dikatakan bertentangan dengan isi UU Penyiaran? Tampaknya pemerintah sekarang tidak tahu persis sejarah pembuatan atau keluarnya UU Penyiaran. Mungkin mereka tak tahu isi UU No. 24/1997 tentang Penyiaran yang memberikan kewenangan penuh kepada pemerintah (Menteri Penerangan) untuk menguasai dunia penyiaran. Agaknya pemerintah kini (Menkominfo) dan jajarannya perlu dengan jujur dan berjiwa besar untuk menelaah proses pembuatan UU Penyiaran pascakejatuhan Presiden Soeharto (1998-2002). Andaikata pemerintah sekarang benar-benar tahu dan memahami jiwa dan semangat pembuatan UU tersebut, maka isi keempat PP itu tak perlu melahirkan "keributan" nasional. Negara = pemerintah? Menkominfo sebagai representasi pemerintah dengan sadar menyalahartikan kata negara dalam UU Penyiaran. Sofyan menegaskan, yang berhak memberikan izin penyelenggaraan penyiaran (IPP) adalah negara, sedangkan negara diwakili pemerintah, dan pemerintah diwakili Menkominfo (Seputar Indonesia, 4/12). Ini sama persis dengan pemahaman dan praktik pemerintahan yang dilakukan dengan sangat efektif dan konsekuen oleh rezim Orde Baru di bawah Presiden Soeharto. Selama 32 tahun pemerintah diidentikkan dengan negara. Pemerintah = negara, dan negara = pemerintah. Padahal siapa pun tahu, pemerintah hanyalah salah satu komponen atau unsur dalam sebuah negara. Pasal 7 ayat 2 UU Penyiaran menegaskan, "KPI sebagai lembaga negara yang bersifat independen mengatur hal-hal mengenai penyiaran." Apakah mungkin pemerintah menjadi lembaga negara yang bersifat independen? Di negara mana ada pemerintah yang bersifat independen? Siapa pun tahu, KPI sebagai lembaga regulator dunia penyiaran yang benar-benar independen pastilah bukan perpanjangan tangan atau bawahan pemerintah (Depkoinfo). Salah satu fungsi utama media massa elektronik adalah mengontrol pemerintah. Apakah mungkin pemerintah rela memberi kebebasan (melalui PP Penyiaran) kepada media massa elektronik untuk mengontrol dirinya sebagai penguasa? KPI justru sengaja dibentuk dalam rangka lebih memberdayakan rakyat untuk melakukan kontrol sosial dan berpartisipasi dalam memajukan penyiaran nasional. KPI bertugas untuk menampung aspirasi rakyat dan mewakili kepentingan publik akan penyiaran. Apakah mungkin KPI melaksanakan dengan konsekuen amanat UU Penyiaran ini bila keempat PP Penyiaran itu diberlakukan? Mari kita lihat sejenak beberapa isi pokok PP Penyiaran yang menuai hujan badai protes itu. Dalam PP No. 50, 51, dan 52 tersebut kita menemukan kalimat-kalimat berikut ini: "Untuk memperoleh izin penyelenggaraan penyiaran Lembaga Penyiaran..., pemohon mengajukan permohonan izin tertulis kepada Menteri melalui KPI,... Setelah menerima berkas surat permohonan, KPI melakukan pemeriksaan kelengkapan program siaran sesuai dengan persyaratan... Dalam jangka waktu paling lama 30 hari kerja sejak dipenuhinya persyaratan dan kelengkapan permohonan, KPI melakukan evaluasi dengar pendapat dengan pemohon. Dalam jangka waktu paling lama 15 hari kerja terhitung setelah selesai evaluasi dengar pendapat, KPI menerbitkan rekomendasi kelayakan penyelenggaraan penyiaran dan mengusulkan alokasi dan penggunaan spektrum frekuensi radio kepada Menteri. Menteri dalam jangka waktu paling lama 15 hari kerja terhitung sejak diterima rekomendasi kelayakan penyelenggaraan penyiaran dan usulan alokasi dan penggunaan spektrum frekuensi radio dari KPI, mengundang KPI dan instansi terkait untuk mengadakan forum rapat bersama. Menteri menerbitkan keputusan persetujuan atau penolakan izin penyelenggaraan penyiaran sesuai dengan hasil kesepakatan dari Forum Rapat Bersama. Keputusan persetujuan atau penolakan izin penyelenggaraan penyiaran disampaikan kepada pemohon melalui KPI." Di bagian lain ketiga PP Penyiaran tersebut kita menemukan kalimat-kalimat begini, "Menteri menerbitkan keputusan izin tetap penyelenggaraan penyiaran paling lambat 14 hari kerja setelah uji coba siaran dinyatakan lulus. Keputusan izin tetap penyelenggaraan penyiaran disampaikan kepada pemohon melalui KPI." (semua huruf tebal oleh penulis). Bila kita sedikit saja cermat membaca ketiga PP Penyiaran ini, maka orang-orang yang awam dalam ilmu hukum pun pasti dengan cepat berkesimpulan, pemerintah telah mengebiri KPI secara terang-terangan. Tidak hanya dikebiri, KPI pun telah diposisikan sebagai calo atau dipaksa menjadi pialang murahan (pialang resmi antara pemerintah dengan pemodal atau pengusaha yang mengajukan permohonan IPP). Bahkan yang lebih parah lagi, KPI sudah dijadikan jongos pemerintah (Menkominfo). Tanpa menunggu dua bulan, sebenarnya sekarang pun pemerintah (Presiden SBY) dengan sikap ksatria dapat mencabut keempat PP Penyiaran tersebut. Sudah waktunya sekarang pemerintah harus memberi contoh konkret atau keteladanan kepada rakyat dalam hal menjalankan hukum atau UU, yang jelas dibuat sendiri oleh pemerintah dan DPR. Kalau pemerintah saja tak mau melaksanakan UU dengan murni dan konsekuen, apalagi rakyat? Lalu bagaimana bila MA kelak menolak gugatan uji materil keempat PP Penyiaran yang diajukan oleh KPI tersebut? Kemudian bagaimana bila ternyata nanti pemerintah tak mau mencabut keempat PP Penyiaran itu? Hanya satu kata: Lawan! Bersama kita pasti bisa melawan yang tidak benar. Percayalah! *** Penulis, Ketua Subprogram Studi Penyiaran, Fikom Unpad, Jatinangor, Sumedang. [Non-text portions of this message have been removed] *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://groups.yahoo.com/group/ppiindia *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx 5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx 6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/ ** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List ** ** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: ** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ ** ** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral scholarship, kunjungi http://informasi-beasiswa.blogspot.com **