** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List ** ** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: ** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ ** ** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral scholarship, kunjungi http://informasi-beasiswa.blogspot.com **http://www.suarapembaruan.com/News/2006/01/18/index.html SUARA PEMBARUAN DAILY Debat Impor Beras: Jangan Bicara jika Tanpa Data Oleh A Ristanto AKHIRNYA pemerintah menerbitkan izin impor 110.000 ton beras kepada Perum Bulog. Dengan berbagai alasan dan berdasarkan hasil kajian, pemerintah kukuh mendatangkan beras asal Vietnam di suasana para petani mulai memetik hasil panen padi mereka. Januari sampai Maret adalah masa panen. Namun, karena beriringan dengan musim hujan, hampir dapat dipastikan hasil mereka tidak optimal karena karena penjemuran tidak maksimal. Oleh sebab itu kualitas gabah kering giling dikhawatirkan merosot, sehingga akan mengurangi nilai jika harus dibeli Perum Bulog. Barangkali karena pengalaman itulah, maka gagasan impor dalam rangka menjaga stok pangan nasional sesuatu keniscayaan. Debat publik masalah impor beras memang belum berakhir. Tetapi adanya izin pemerintah, memberikan indikasi bahwa sebagian dari mereka yng mengkritisi masalah ini kurang memiliki data akurat. Kontroversi impor beras tetap dapat dipahami, karena umumnya hanya beralasan kekhawatiran bahwa beras luar negeri itu akan membanjiri pasar. Karena dari data produksi padi Indonesia yang disebutkan sekitar 33 juta ton per tahun, ternyata konsumsi hanya 30 juta ton lebih. Jadi semestinya ada surplus beras sekitar 3 juta ton. Jika itu data akurat, dan bukan sekedar buatan instansi tertentu atau berdasarkan perkiraan, mungkin sudah sejak lama seharusnya kita surplus. Namun, data dari Badan Pusat Statistik (BPS) berkata lain. Jika mencatat produksi padi dari tahun 2001 sampai dengan perkiraan produksi 2005, maka ternyata total kisaran produksi padi kita menurut BPS satu-satunya badan yang ditugasi pemerintah mencatat angka-angka statistik ternyata pada kisaran 50-an juta ton. Tepatnya pada 2001 produksi padi kita 50.460.782 ton, kemudian menjadi 51.489.694 ton (2002), 52.137.604 ton (2003), dan 54.088.468 ton pada tahun 2004. Sedangkan angka perkiraan produksi padi tahun 2005 menurut BPS adalah, 53.984.590 ton atau lebih kecil 0,19 persen dari tahun sebelumnya, tepatnya diperkirakan lebih rendah 103.878 ton. GKG-Nonpangan Berbicara produksi beras 2005 bertolak dari angka di atas, maka uraiannya adalah, produksi padi (Gabah Kering Giling) sebanyak 53.984.590 ton. Ternyata dari padi sebanyak itu tidak seluruhnya dijadikan bahan pangan, karena ada penggunaan GKG-nonpangan sebanyak 3.940.875 ton. Dengan demikian jumlah GKG yang diolah menjadi beras hanya 50.043.715 ton. Hasil olahan GKG sebesar itu adalah, 31.627.628 ton beras. Namun dari jumlah produksi beras tersebut, sebanyak 1.053.200 ton digunakan untuk beras non-pangan. Dengan demikian produksi beras untuk pangan hanya sebesar 30.574.428 ton. Jika ketersediaan beras 2005 itu dikonsumsi 219.898.000 jiwa rakyat Indonesia dan masing-masing sebanyak 139,27 kg/tahun/kapita, maka kebutuhan beras pangan nasional kita seharusnya 30.625.194 ton. Dengan demikian, dibandingkan jumlah ketersediaan yang ada, maka kita sebenarnya kekurangan 50.766 ton yakni angka hasil selisih antara kebutuhan konsumsi 30.625.194 ton dan produksi hanya 30.574.428 ton. Seharusnya angka-angka ini yang digunakan para pengamat dan komentator dalam berbicara masalah beras impor. Bukan dengan asumsi, perkiraan apalagi sekadar dugaan. Berbicara masalah pangan, kita harus senantiasa konsisten dan komprhensif apalagi jika untuk kepentingan informasi yang kemudian dipublikasikan. Berbagai pemberitaan yang bersumber dari pernyataan apakah itu pengamat ekonomi bahkan sampai anggota DPR termasuk komentator awam, sering tidak terdengar pernyataan berdasarkan data produksi maupun konsumsi. Data Impor Beras merupakan komoditas strategis. Sebagai bahan pangan nasional, akan selalu dibicarakan apalagi dikaitkan dengan keadaan petani sebagai pihak yang disebut-sebut akan menderita, jika pasar dibanjiri beras impor. Kita belum bicara data impor selain yang diputuskan pemerintah 110.000 ton untuk Perum Bulog. Padahal tercatat tidak kurang 23 importir beras yang mendapat izin impor beras dari Departemen Perdagangan. Pada Juni sampai Desember tahun 2005 lalu, Departemen Perdagangan bahkan sudah memberi izin impor kepada mereka sebesar 71.550 ton. Juga enam importir bahkan mendapat persetujuan impor sebanyak 124.600 ton. Bahkan ada persetujuan impor sebanyak 62.321,55 ton beras hibah kepada tiga lembaga masing-masing World Food Programme (WF), Yayasan Budha Tzu Chi Indonesia dan Kedubes Jepang untuk Indonesia. Walaupun dalam keterangan jenis beras disebutkan beras ketan, tepung beras, beras pecah bahkan tepung beras ketan. Artinya dalam mempermasalahkan impor beras, seharusnya pihak-pihak terkait juga bersedia mengungkap para importir beras swasta tersebut. Jika mengabaikannya, maka kurang fair menyoroti izin impor beras ini hanya pada pihak tertentu. Kita juga harus adil menyoroti perlakuan kita terhadap para petani. Sudahkah mereka mendapat pelayanan dan perlindungan sebagaimana mestinya. Sudah adilkah pemerintah menentukan harga pupuk, atau biaya-biaya lain sarana produksi padi. Apakah dalam memberikan kredit, bank pemerintah melaksanakannya dengan baik. Intinya political will pemerintah terhadap golongan petani ini juga harus kita ungkap sejauh mana dampaknya. Belum lagi berbicara, apakah mereka betul-betul yang kita bicarakan para petani. Bukan sekadar para penggarap karena lahan mereka tidak mencukupi untuk ditanam secara ekonomis. Belum lagi jumlah tenaga kerja pertanian yang dirasakan makin berkurang. Istilah petani gurem yang menjadi konotasi jika berbicara masalah pangan, adalah mereka yang memiliki tanah kurang dari? ha. Jadi jika ingin berbicara dan membela para petani, seharusnya memiliki data akurat. Sekadar ilustrasi di depan kamera televisi, seorang anggota DPR dengan berapi-api menentang impor beras. Intinya hanya menyatakan, jika impor tetap dilaksanakan maka para petani akan mati. Sungguh naif pernyataan seorang wakil rakyat yang notabene memiliki latar belakang pendidikan tinggi, berbicara tanpa fakta dan hanya sekadar menjadikan impor beras sebagai isu politik . Jujur harus diakui sekarang ini sebagai negara agraris, para petani kita masih menjadi obyek politis, sementara kebijakan yang ada belum benar-benar menyentuh apalagi meningkatkan kesejahteraan mereka. Pahami Liku-liku Pangan Konsistensi dan komprehensif didasari berbagai hasil kajian dalam analisis, harus tercermin dalam pernyataan. Bahkan sebelum berkomentar seyogyanya juga memahami lika-liku keterkaitan pangan, pertanian dan infrastruktur (baca irigasi), sampai kepada pemasaran, harga dan gross margin petani sebagai satu kesatuan analisis meski pun diberitakan dalam momen berbeda-beda. Tapi jelas, bahwa sesungguhnya kita harus memiliki sumber informasi masalah pangan nasional kita sebagai pendidikan politik (di bidang pertanian) bagi masyarakat. Dalam rapat kerja antara Menteri Pertanian, Menteri Perdagangan dan Perum Bulog dengan Komisi IV DPR tanggal 21 November 2005 seperti kemudian diberitakan media massa, sangat jelas ada indikasi kesimpangsiuran atau mix-up atas beberapa hal, yaitu data yang tidak akurat serta kurangnya jaminan akurasi data antara Departemen Pertanian untuk proyeksi produksi dibandingkan keyakinan Perum Bulog atas data yang mereka miliki; serta mix-up dalam hal penerapan instrumen kebijakan pemerintah. Akurasi data tampak menjadi persoalan penting selama pembahasan sehingga tampak sulit untuk diambil keputusan yang tajam dalam rapat kerja DPR Komisi IV yang hanya satu atau dua kali tersebut (rapat siang hari, dilanjutkan malam hari). Tampak juga mix-up dalam melihat instrumen-instrumen kebijakan mana, untuk menjawab persoalan apa. Seharusnya semua pihak pada posisi yang jelas, bahwa kebijakan impor beras oleh pemerintah semata bertujuan untuk stock pangan nasional. Rujukannya ialah kebutuhan untuk stabilitas nasional dalam hal ketersediaan pangan. Kemudian dalam bahasannya pada raker berkembang tercampur aduk dengan persoalan kemungkinan kebocoran supply dari impor ke pasaran, sehingga dikhawatirkan akan mengganggu harga dan mengurangi margin yang akan diterima petani. Kalau itu masalahnya, maka instrumen kebijakannya adalah pengawasan yang diperketat termasuk pengawasan sosial masyarakat atau lembaga-lembaga independen yang juga ikut mengkritisi dan berpolemik sekarang. Jelas di situ untuk mengatasi kecurigaan akan kebocoran supply ke pasaran serta pengaruhnya kepada harga gabah membutuhkan instrumen yang lain, yaitu pengawasan. Sedangkan kebijakan impor beras merupakan instrumen kebijakan untuk kepentingan stabilitas nasional, stabilitas politik. Bisa dibayangkan kalau tiba-tiba terjadi kekurangan pangan di tengah kondisi bangsa kita yang sedang seperti ini, akibatnya akan sangat fatal bagi eksistensi negara. Oleh karena itu kebijakan impor beras untuk stabilitas nasional dan menjaga eksistensi negara adalah konstitusional, sesuai dengan tujuan dan fungsi konstitusi. Mungkin Departemen Pertanian atau Badan Ketahanan Pangan perlu lebih belajar dari Zambia, Malawi, Zimbabwe dan sekitarnya (yang dalam analisis pangannya ternyata dibantu penuh oleh kerja sama teknis luar negeri dan preperasi kebijakannya juga sangat matang seperti dipersiapkan lembaga tersebut). Pengalaman Zambia dalam mendeteksi, memantau dan mengatasi krisis pangan dari waktu ke waktu sejak tahun 2002, 2003 dan seterusnya sampai Mei 2005 dan kembali mereka lakukan analisis di bulan September serta terakhir sekali seminar tanggal 17 November 2005, sangat terkait dengan keamanan pangan (food security) di negara-negara Afrika Selatan. Dan pada akhirnya tanggal 21 November 2005 Presiden atas dukungan Parlemen Zambia melakukan deklarasi kondisi kerawanan pangan (food disaster) dan meminta dukungan bantuan masuknya bahan makanan pokok dari negara asing (dalam hal ini makanan pokok mereka adalah jagung) ke negara tersebut (diberitakan Jakarta Post, 22 November 2005) guna memenuhi kebutuhan pangan 1,7 juta penduduk pada 27 distrik yang mengalami kerawanan pangan (data lengkap pada Sekretariat Wakil Presiden Zambia). Sambil dengan perasaan risi dengan anggapan bahwa sangatlah tidak manusiawi bila mengemis untuk pangan dari bangsa asing. Selanjutnya dengan persoalan data kita, sangat jelas harusnya bisa diungkapkan oleh Departemen Pertanian bagaimana cara memperoleh data proyeksi beras dalam setahun, mulai dari plot panen dikalikan faktor ekstrapolasi dan seterusnya dikalikan faktor konversi gabah ke beras dan seterusnya untuk masing-masing daerah di seluruh Indonesia. Belum lagi bagaimana asumsi-asumsi yang harus justified tergambarkan, misalnya tingkat bencana alam dan kerawanan karena iklim, juga faktor rendahnya kualitas pasokan air irigasi, karena rusaknya saluran tersier (bahkan sangat besar kemungkinan air di seluruh tersier efektivitasnya sudah jauh di bawah 50 persen akibat saluran tidak terpelihara), termasuk akibat leaching irigasi di saluran primer, dan sekunder. Tambah lagi perhitungan beberapa daerah yang mengalami bencana banjir maupun longsor yang jelas-jelas memberikan indikasi losses atau kehilangan yang cukup signifikan. Bagaiman hal-hal seperti ini dijelaskan kepada DPR atau kepada rakyat oleh Departemen Pertanian atau Departemen PU atau pun penanggung jawab bancana alam dan sebagainya (semuanya adalah elemen pemerintah). Segala Kemungkinan Aspek lain mari kita lihat, bahwa jelas Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla menyatakan, bahwa kebijakan impor untuk tujuan stabilitas pangan, karena Indonesia harus bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan termasuk bila kondisi rawan pangan akibat segala macam hal. Jelas instrumennya adalah stabilitas pangan dan posisi politik dalam negeri serta bangsa kita di mata internasional yang harus tetap terjaga. Kembali ditekankan di sini pada kasus Zambia yang saat sekarang juga mereka sedang mengalaminya (deklarasi oleh Presiden dan parlemen tanggal 21 November 2005) disertai visinya bahwa it is dehumanizing to beg for food. Oleh karenannya tidak tepat apabila ada pejabat departemen mendorong lebih dahulu pelaksanaan operasi pasar secara konkret di lapangan dan tunggu hasilnya, baru kemudian memutuskan impor atau tidak. Di sini bukan soal salah atau benar, tetapi jelas instrumen kebijakan yang berbeda yang dipakai untuk situasi apa, serta jelas ada pandangan yang berbeda dalam degree of magnitude instrument tersebut. Oleh sebab itu kepada yang terhormat para anggota De-wan Perwakilan Rakyat (DPR) dan anggota masyarakat seharusnya dapat diberikan informasi yang cukup di samping pemahaman yang jelas (dibaca termasuk loyalitas) dari para pejabat atas kebijakan yang telah digariskan oleh pemimpin puncak dalam hal ini Presiden dan wakil presiden republik Indonesia. Kita bersyukur polemik impor beras ini sudah mereda. Apa yang bisa kita pelajari, ternyata pemerintah tidak terlalu mudah menentukan kebijakan impor beras. Rentang waktu penerbitan izin impor, dalam rangka mengakomodasi semua pendapat. Dari kurun waktu perdebatan impor dan tidak impor yang sudah berlangsung sejak tahun lalu, fakta akhirnya membuktikan perlunya ditempuh kebijakan tersebut. Walau jujur harus kita katakan, masih ada pihak yang tetap ingin mempermasalahkan impor beras ini. * Penulis adalah mantan wartawan, kini berkiprah dalam kegiatan sebuah lembaga swadaya masyarakat Last modified: 18/1/06 [Non-text portions of this message have been removed] *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://groups.yahoo.com/group/ppiindia *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx 5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx 6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/ ** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List ** ** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: ** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ ** ** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral scholarship, kunjungi http://informasi-beasiswa.blogspot.com **