[nasional_list] [ppiindia] Jangan Bicara jika Tanpa Data

  • From: "Ambon" <sea@xxxxxxxxxx>
  • To: <"Undisclosed-Recipient:;"@freelists.org>
  • Date: Thu, 19 Jan 2006 01:13:49 +0100

** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com 
**http://www.suarapembaruan.com/News/2006/01/18/index.html

SUARA PEMBARUAN DAILY 
Debat Impor Beras: 

Jangan Bicara jika Tanpa Data
Oleh A Ristanto 

AKHIRNYA pemerintah menerbitkan izin impor 110.000 ton beras kepada Perum 
Bulog. Dengan berbagai alasan dan berdasarkan hasil kajian, pemerintah kukuh 
mendatangkan beras asal Vietnam di suasana para petani mulai memetik hasil 
panen padi mereka. Januari sampai Maret adalah masa panen. Namun, karena 
beriringan dengan musim hujan, hampir dapat dipastikan hasil mereka tidak 
optimal karena karena penjemuran tidak maksimal. Oleh sebab itu kualitas gabah 
kering giling dikhawatirkan merosot, sehingga akan mengurangi nilai jika harus 
dibeli Perum Bulog. Barangkali karena pengalaman itulah, maka gagasan impor 
dalam rangka menjaga stok pangan nasional sesuatu keniscayaan. 

Debat publik masalah impor beras memang belum berakhir. Tetapi adanya izin 
pemerintah, memberikan indikasi bahwa sebagian dari mereka yng mengkritisi 
masalah ini kurang memiliki data akurat. Kontroversi impor beras tetap dapat 
dipahami, karena umumnya hanya beralasan kekhawatiran bahwa beras luar negeri 
itu akan membanjiri pasar. 

Karena dari data produksi padi Indonesia yang disebutkan sekitar 33 juta ton 
per tahun, ternyata konsumsi hanya 30 juta ton lebih. Jadi semestinya ada 
surplus beras sekitar 3 juta ton. Jika itu data akurat, dan bukan sekedar 
buatan instansi tertentu atau berdasarkan perkiraan, mungkin sudah sejak lama 
seharusnya kita surplus. 

Namun, data dari Badan Pusat Statistik (BPS) berkata lain. Jika mencatat 
produksi padi dari tahun 2001 sampai dengan perkiraan produksi 2005, maka 
ternyata total kisaran produksi padi kita menurut BPS satu-satunya badan yang 
ditugasi pemerintah mencatat angka-angka statistik ternyata pada kisaran 50-an 
juta ton. 

Tepatnya pada 2001 produksi padi kita 50.460.782 ton, kemudian menjadi 
51.489.694 ton (2002), 52.137.604 ton (2003), dan 54.088.468 ton pada tahun 
2004. Sedangkan angka perkiraan produksi padi tahun 2005 menurut BPS adalah, 
53.984.590 ton atau lebih kecil 0,19 persen dari tahun sebelumnya, tepatnya 
diperkirakan lebih rendah 103.878 ton. 


GKG-Nonpangan 

Berbicara produksi beras 2005 bertolak dari angka di atas, maka uraiannya 
adalah, produksi padi (Gabah Kering Giling) sebanyak 53.984.590 ton. Ternyata 
dari padi sebanyak itu tidak seluruhnya dijadikan bahan pangan, karena ada 
penggunaan GKG-nonpangan sebanyak 3.940.875 ton. Dengan demikian jumlah GKG 
yang diolah menjadi beras hanya 50.043.715 ton. 

Hasil olahan GKG sebesar itu adalah, 31.627.628 ton beras. Namun dari jumlah 
produksi beras tersebut, sebanyak 1.053.200 ton digunakan untuk beras 
non-pangan. Dengan demikian produksi beras untuk pangan hanya sebesar 
30.574.428 ton. Jika ketersediaan beras 2005 itu dikonsumsi 219.898.000 jiwa 
rakyat Indonesia dan masing-masing sebanyak 139,27 kg/tahun/kapita, maka 
kebutuhan beras pangan nasional kita seharusnya 30.625.194 ton. 

Dengan demikian, dibandingkan jumlah ketersediaan yang ada, maka kita 
sebenarnya kekurangan 50.766 ton yakni angka hasil selisih antara kebutuhan 
konsumsi 30.625.194 ton dan produksi hanya 30.574.428 ton. Seharusnya 
angka-angka ini yang digunakan para pengamat dan komentator dalam berbicara 
masalah beras impor. Bukan dengan asumsi, perkiraan apalagi sekadar dugaan. 

Berbicara masalah pangan, kita harus senantiasa konsisten dan komprhensif 
apalagi jika untuk kepentingan informasi yang kemudian dipublikasikan. Berbagai 
pemberitaan yang bersumber dari pernyataan apakah itu pengamat ekonomi bahkan 
sampai anggota DPR termasuk komentator awam, sering tidak terdengar pernyataan 
berdasarkan data produksi maupun konsumsi. 


Data Impor 

Beras merupakan komoditas strategis. Sebagai bahan pangan nasional, akan selalu 
dibicarakan apalagi dikaitkan dengan keadaan petani sebagai pihak yang 
disebut-sebut akan menderita, jika pasar dibanjiri beras impor. Kita belum 
bicara data impor selain yang diputuskan pemerintah 110.000 ton untuk Perum 
Bulog. Padahal tercatat tidak kurang 23 importir beras yang mendapat izin impor 
beras dari Departemen Perdagangan. 

Pada Juni sampai Desember tahun 2005 lalu, Departemen Perdagangan bahkan sudah 
memberi izin impor kepada mereka sebesar 71.550 ton. Juga enam importir bahkan 
mendapat persetujuan impor sebanyak 124.600 ton. Bahkan ada persetujuan impor 
sebanyak 62.321,55 ton beras hibah kepada tiga lembaga masing-masing World Food 
Programme (WF), Yayasan Budha Tzu Chi Indonesia dan Kedubes Jepang untuk 
Indonesia. Walaupun dalam keterangan jenis beras disebutkan beras ketan, tepung 
beras, beras pecah bahkan tepung beras ketan. 

Artinya dalam mempermasalahkan impor beras, seharusnya pihak-pihak terkait juga 
bersedia mengungkap para importir beras swasta tersebut. Jika mengabaikannya, 
maka kurang fair menyoroti izin impor beras ini hanya pada pihak tertentu. Kita 
juga harus adil menyoroti perlakuan kita terhadap para petani. 

Sudahkah mereka mendapat pelayanan dan perlindungan sebagaimana mestinya. Sudah 
adilkah pemerintah menentukan harga pupuk, atau biaya-biaya lain sarana 
produksi padi. Apakah dalam memberikan kredit, bank pemerintah melaksanakannya 
dengan baik. Intinya political will pemerintah terhadap golongan petani ini 
juga harus kita ungkap sejauh mana dampaknya. 

Belum lagi berbicara, apakah mereka betul-betul yang kita bicarakan para 
petani. Bukan sekadar para penggarap karena lahan mereka tidak mencukupi untuk 
ditanam secara ekonomis. Belum lagi jumlah tenaga kerja pertanian yang 
dirasakan makin berkurang. Istilah petani gurem yang menjadi konotasi jika 
berbicara masalah pangan, adalah mereka yang memiliki tanah kurang dari? ha. 
Jadi jika ingin berbicara dan membela para petani, seharusnya memiliki data 
akurat. 



Sekadar ilustrasi di depan kamera televisi, seorang anggota DPR dengan 
berapi-api menentang impor beras. Intinya hanya menyatakan, jika impor tetap 
dilaksanakan maka para petani akan mati. 

Sungguh naif pernyataan seorang wakil rakyat yang notabene memiliki latar 
belakang pendidikan tinggi, berbicara tanpa fakta dan hanya sekadar menjadikan 
impor beras sebagai isu politik . Jujur harus diakui sekarang ini sebagai 
negara agraris, para petani kita masih menjadi obyek politis, sementara 
kebijakan yang ada belum benar-benar menyentuh apalagi meningkatkan 
kesejahteraan mereka. 


Pahami Liku-liku Pangan 

Konsistensi dan komprehensif didasari berbagai hasil kajian dalam analisis, 
harus tercermin dalam pernyataan. Bahkan sebelum berkomentar seyogyanya juga 
memahami lika-liku keterkaitan pangan, pertanian dan infrastruktur (baca 
irigasi), sampai kepada pemasaran, harga dan gross margin petani sebagai satu 
kesatuan analisis meski pun diberitakan dalam momen berbeda-beda. Tapi jelas, 
bahwa sesungguhnya kita harus memiliki sumber informasi masalah pangan nasional 
kita sebagai pendidikan politik (di bidang pertanian) bagi masyarakat. 

Dalam rapat kerja antara Menteri Pertanian, Menteri Perdagangan dan Perum Bulog 
dengan Komisi IV DPR tanggal 21 November 2005 seperti kemudian diberitakan 
media massa, sangat jelas ada indikasi kesimpangsiuran atau mix-up atas 
beberapa hal, yaitu data yang tidak akurat serta kurangnya jaminan akurasi data 
antara Departemen Pertanian untuk proyeksi produksi dibandingkan keyakinan 
Perum Bulog atas data yang mereka miliki; serta mix-up dalam hal penerapan 
instrumen kebijakan pemerintah. 

Akurasi data tampak menjadi persoalan penting selama pembahasan sehingga tampak 
sulit untuk diambil keputusan yang tajam dalam rapat kerja DPR Komisi IV yang 
hanya satu atau dua kali tersebut (rapat siang hari, dilanjutkan malam hari). 
Tampak juga mix-up dalam melihat instrumen-instrumen kebijakan mana, untuk 
menjawab persoalan apa. 

Seharusnya semua pihak pada posisi yang jelas, bahwa kebijakan impor beras oleh 
pemerintah semata bertujuan untuk stock pangan nasional. Rujukannya ialah 
kebutuhan untuk stabilitas nasional dalam hal ketersediaan pangan. 

Kemudian dalam bahasannya pada raker berkembang tercampur aduk dengan persoalan 
kemungkinan kebocoran supply dari impor ke pasaran, sehingga dikhawatirkan akan 
mengganggu harga dan mengurangi margin yang akan diterima petani. 

Kalau itu masalahnya, maka instrumen kebijakannya adalah pengawasan yang 
diperketat termasuk pengawasan sosial masyarakat atau lembaga-lembaga 
independen yang juga ikut mengkritisi dan berpolemik sekarang. Jelas di situ 
untuk mengatasi kecurigaan akan kebocoran supply ke pasaran serta pengaruhnya 
kepada harga gabah membutuhkan instrumen yang lain, yaitu pengawasan. 

Sedangkan kebijakan impor beras merupakan instrumen kebijakan untuk kepentingan 
stabilitas nasional, stabilitas politik. Bisa dibayangkan kalau tiba-tiba 
terjadi kekurangan pangan di tengah kondisi bangsa kita yang sedang seperti 
ini, akibatnya akan sangat fatal bagi eksistensi negara. Oleh karena itu 
kebijakan impor beras untuk stabilitas nasional dan menjaga eksistensi negara 
adalah konstitusional, sesuai dengan tujuan dan fungsi konstitusi. 

Mungkin Departemen Pertanian atau Badan Ketahanan Pangan perlu lebih belajar 
dari Zambia, Malawi, Zimbabwe dan sekitarnya (yang dalam analisis pangannya 
ternyata dibantu penuh oleh kerja sama teknis luar negeri dan preperasi 
kebijakannya juga sangat matang seperti dipersiapkan lembaga tersebut). 

Pengalaman Zambia dalam mendeteksi, memantau dan mengatasi krisis pangan dari 
waktu ke waktu sejak tahun 2002, 2003 dan seterusnya sampai Mei 2005 dan 
kembali mereka lakukan analisis di bulan September serta terakhir sekali 
seminar tanggal 17 November 2005, sangat terkait dengan keamanan pangan (food 
security) di negara-negara Afrika Selatan. Dan pada akhirnya tanggal 21 
November 2005 Presiden atas dukungan Parlemen Zambia melakukan deklarasi 
kondisi kerawanan pangan (food disaster) dan meminta dukungan bantuan masuknya 
bahan makanan pokok dari negara asing (dalam hal ini makanan pokok mereka 
adalah jagung) ke negara tersebut (diberitakan Jakarta Post, 22 November 2005) 
guna memenuhi kebutuhan pangan 1,7 juta penduduk pada 27 distrik yang mengalami 
kerawanan pangan (data lengkap pada Sekretariat Wakil Presiden Zambia). Sambil 
dengan perasaan risi dengan anggapan bahwa sangatlah tidak manusiawi bila 
mengemis untuk pangan dari bangsa asing. 

Selanjutnya dengan persoalan data kita, sangat jelas harusnya bisa diungkapkan 
oleh Departemen Pertanian bagaimana cara memperoleh data proyeksi beras dalam 
setahun, mulai dari plot panen dikalikan faktor ekstrapolasi dan seterusnya 
dikalikan faktor konversi gabah ke beras dan seterusnya untuk masing-masing 
daerah di seluruh Indonesia. 

Belum lagi bagaimana asumsi-asumsi yang harus justified tergambarkan, misalnya 
tingkat bencana alam dan kerawanan karena iklim, juga faktor rendahnya kualitas 
pasokan air irigasi, karena rusaknya saluran tersier (bahkan sangat besar 
kemungkinan air di seluruh tersier efektivitasnya sudah jauh di bawah 50 persen 
akibat saluran tidak terpelihara), termasuk akibat leaching irigasi di saluran 
primer, dan sekunder. 

Tambah lagi perhitungan beberapa daerah yang mengalami bencana banjir maupun 
longsor yang jelas-jelas memberikan indikasi losses atau kehilangan yang cukup 
signifikan. Bagaiman hal-hal seperti ini dijelaskan kepada DPR atau kepada 
rakyat oleh Departemen Pertanian atau Departemen PU atau pun penanggung jawab 
bancana alam dan sebagainya (semuanya adalah elemen pemerintah). 


Segala Kemungkinan 

Aspek lain mari kita lihat, bahwa jelas Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan 
Wakil Presiden Jusuf Kalla menyatakan, bahwa kebijakan impor untuk tujuan 
stabilitas pangan, karena Indonesia harus bersiap-siap menghadapi segala 
kemungkinan termasuk bila kondisi rawan pangan akibat segala macam hal. Jelas 
instrumennya adalah stabilitas pangan dan posisi politik dalam negeri serta 
bangsa kita di mata internasional yang harus tetap terjaga. 

Kembali ditekankan di sini pada kasus Zambia yang saat sekarang juga mereka 
sedang mengalaminya (deklarasi oleh Presiden dan parlemen tanggal 21 November 
2005) disertai visinya bahwa it is dehumanizing to beg for food. 

Oleh karenannya tidak tepat apabila ada pejabat departemen mendorong lebih 
dahulu pelaksanaan operasi pasar secara konkret di lapangan dan tunggu 
hasilnya, baru kemudian memutuskan impor atau tidak. 

Di sini bukan soal salah atau benar, tetapi jelas instrumen kebijakan yang 
berbeda yang dipakai untuk situasi apa, serta jelas ada pandangan yang berbeda 
dalam degree of magnitude instrument tersebut. 

Oleh sebab itu kepada yang terhormat para anggota De-wan Perwakilan Rakyat 
(DPR) dan anggota masyarakat seharusnya dapat diberikan informasi yang cukup di 
samping pemahaman yang jelas (dibaca termasuk loyalitas) dari para pejabat atas 
kebijakan yang telah digariskan oleh pemimpin puncak dalam hal ini Presiden dan 
wakil presiden republik Indonesia. 

Kita bersyukur polemik impor beras ini sudah mereda. Apa yang bisa kita 
pelajari, ternyata pemerintah tidak terlalu mudah menentukan kebijakan impor 
beras. Rentang waktu penerbitan izin impor, dalam rangka mengakomodasi semua 
pendapat. 

Dari kurun waktu perdebatan impor dan tidak impor yang sudah berlangsung sejak 
tahun lalu, fakta akhirnya membuktikan perlunya ditempuh kebijakan tersebut. 
Walau jujur harus kita katakan, masih ada pihak yang tetap ingin 
mempermasalahkan impor beras ini. * 


Penulis adalah mantan wartawan, kini berkiprah dalam kegiatan sebuah lembaga 
swadaya masyarakat 


Last modified: 18/1/06 

[Non-text portions of this message have been removed]



***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com **

Other related posts:

  • » [nasional_list] [ppiindia] Jangan Bicara jika Tanpa Data