** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List ** ** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: ** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ ** ** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral scholarship, kunjungi http://informasi-beasiswa.blogspot.com **http://www.pikiran-rakyat.co.id/cetak/2006/012006/24/0902.htm Mencermati Maraknya Kasus Kekerasan terhadap Anak Anakmu Bukanlah Milikmu Oleh NENI UTAMI ADININGSIH BEBERAPA hari lalu, ketika sedang menyetrika baju secara tak sengaja, tangan kiri saya tersundut setrika, hanya sedikit dan sekejap, tetapi sudah mampu menimbulkan lepuh. Jangan ditanya rasanya, hingga sekarangpun masih terbayang bagaimana panasnya. Apalagi ketika kulit lepuh itu mengelupas, wow pedihnya luar biasa. Saya sungguh tak bisa membayangkan bagaimana rasa panas dan rasa pedih yang mesti ditanggung oleh Siti Ihtiatun Soleha (8). Gadis kecil warga Sunter (Jakarta Utara) yang biasa dipanggil Tia itu, dua kaki dan tangan kanannya telah disetrika oleh ayah kandungnya sendiri, Muhammad Juhandi alias Wandi (34). Bayangkan, disetrika. Masya Allah. Tidak itu saja, Tia juga dipukul dengan tambang tali jemuran, ditampar, dan disundut dengan rokok. Kasus Tia di atas dipastikan semakin menambah panjang deret kasus kekerasan terhadap anak-anak oleh orang tua. Semakin memperkukuh prediksi bahwa kian hari kian banyak saja anak yang menjadi korban kekerasan. Berdasarkan data Komnas Perlindungan Anak, tercatat 481 kasus kekerasan terhadap anak sepanjang tahun 2003. Angkanya meningkat menjadi 544 kasus pada 2004, baik itu berupa kekerasan seksual, fisik, psikologis, serta ekonomi. Kondisi ini tentu saja harus segera menjadi atensi kita, setidaknya karena tiga alasan. Pertama, bila menyimak kenyataan bahwa belum banyak anggota masyarakat yang memahami jenis-jenis tindakan yang termasuk dalam kategori kekerasan terhadap anak. Orang tua masih kerap menganggap wajar bila memukul, menjewer, mencubit atau menghina anaknya. Terlebih bila didasarkan pada alasan untuk "mendidik anak". Belum lagi masih kokohnya dinding ruang domestik, yang membuat orang luar enggan untuk menegur, sekalipun telah ada anak yang mengalami kekerasan. Itu sebabnya, hanya kekerasan yang parah, yang telah berdarah-darah saja yang saat ini bisa diungkap. Kedua, bila menyimak dampak yang akan dialami anak, baik secara fisik maupun mental. Tia misalnya, selain mengalami luka bakar, memar, ia juga mengalami trauma psikis yang membuatnya enggan kembali ke rumahnya. Saat ini ia tinggal bersama neneknya, sekira 100 meter dari rumahnya. Bisa jadi, ketika masuk ke ruangan di mana ia pernah disiksa maka segera terbayangkan kembali peristiwa keji itu. Ketika melihat setrika yang dipakai untuk menyiksanya, segera terbayang rasa panasnya. Ketiga, bila menyimak kenyataan bahwa orang tualah yang umumnya menjadi pelaku kekerasan. Data yang diungkapkan oleh Seto Mulyadi, Ketua Komnas Perlindungan Anak menunjukkan bila 60 persen dari pelaku kekerasan terhadap anak, baik secara fisik, psikis, seksual maupun ekonomi adalah orang tuanya sendiri. Hak penuh Ada banyak alasan yang membuka peluang terjadinya kekerasan oleh orang tua terhadap anaknya. Salah satu di antaranya adalah masih kuatnya pemahaman bahwa orang tua mempunyai hak penuh atas anaknya. Seakan hidup-mati anak berada di tangan orang tua. Akibatnya orang tua menempatkan diri sebagai sosok dominan dan boleh berbuat apa saja terhadap anaknya. Orang tua kerap memanfaatkan kenyataan bahwa ialah yang melahirkan, membesarkan serta membiayai kebutuhan anak. Tentu saja anak tidak akan bisa menolak kenyataan tersebut. Ditambah lagi dengan usianya yang jauh lebih tua daripada anaknya membuat orang tua kerap merasa lebih kuat, lebih pintar, lebih berpengalaman bahkan dengan alasan "dulu juga pernah jadi anak - anak" maka orang tua juga sering menganggap kalau dirinya lebih tahu kebutuhan anaknya daripada anaknya sendiri. Dengan kondisi-kondisi seperti ini, maka ketika si anak tidak melakukan sesuatu sebagaimana yang diinginkannya apalagi bila berani membantah maka dengan sangat mudah orang tua merasa tersinggung, merasa tidak dihormati, merasa harga dirinya dilecehkan oleh anak. Padahal bisa jadi, dan besar kemungkinan, hal itu lebih disebabkan oleh belum tahunya anak. Atau mungkin karena si anak sedang masuk ke tahap di mana ia mulai menunjukkan keberadaan dirinya. Sangat kecil kemungkinan orang tua mendapat penolakan atau bantahan dari anaknya yang berusia kurang dari dua tahun. Semua keinginan orang tua akan dituruti. Memang saat paling enak menjadi orang tua adalah ketika anaknya belum berusia dua tahun, ketika anaknya masih menjadi "anak manis". Sehingga kerap kita dengar keinginan "aneh" orang tua agar anaknya tetap kecil sehingga tetap menjadi anak penurut. Apa yang terjadi ketika anak mulai berusia tiga tahun? Ketika daya nalarnya mulai berjalan, ketika rasa percaya dirinya mulai muncul, ketika keinginan untuk dihargai mulai menjadi tuntutan, dan ketika kosakata penolakan telah memperkaya perbendaharaan kata-katanya, si anak penurut itu mulai berkata "nggak mau". Ia mulai melakukan penolakan terhadap keinginan orang tua. Dan mulai mengedepankan keinginannya. Kondisi ini jelas menggoyah sendi otoritas orang tua. Untuk mempertahankannya maka orang tuapun mengedepankan kekuasaannya, yang antara lain berupa kekerasan. Itu sebabnya kasus kekerasan terhadap anak mulai ditemui sejak anak berusia tiga tahun. Pemahaman akan hak penuh orang tua terhadap anak ini pula yang membuat kasus kekerasan terhadap anak, tidak dibatasi oleh kondisi finansial orang tua. Artinya tidak hanya anak orang miskin saja yang kerap mengalami kekerasan atau sebaliknya. Selalu saja ada celah anak mengalami kekerasan, tentu saja untuk strata ekonomi yang berbeda maka akan berbeda pula bentuk kekerasan yang mereka alami. Bagi keluarga berkecukupan, anggapan hak penuh ini membuat orang tua memaksa anaknya untuk melakukan / berprestasi sesuai dengan keinginaannya semata, tidak peduli apakah anaknya senang atau tidak, apakah anaknya mampu atau tidak. Anak dipasok dengan dukungan finansial asalkan mau mengikuti cita-cita orang tua, entah itu paksaan untuk mengikuti aneka les (hingga anak tak lagi sempat bermain), lecutan agar selalu menjadi juara kelas (bila tidak jadi juara dianggap bodoh), dorongan agar terkenal bak selebritis, dsb. Bisa juga berupa pengabaian atensi orang tua, entah karena kesibukan atau adanya anggapan telah memenuhi kebutuhan finansial anak. Sementara bagi orang tua yang kurang mampu, pemahaman hak penuh atas anak menjadi senjata bagi orang tua untuk memaksa anaknya tidak atau keluar dari sekolah dan bekerja. Data yang dilansir oleh Departemen Pendidikan Nasional mengungkapkan bila terdapat 11,7 juta anak berusia 7-15 tahun tidak bersekolah dan putus sekolah. Mereka ini sangat rentan menjadi pekerja anak, baik secara formal maupun informal. Dengan latar belakang pendidikannya yang rendah dan posisi tawarnya yang minim, maka sangatlah sulit bagi anak untuk mendapatkan pekerjaan. Akibatnya mereka akan bekerja serabutan yang sangat rawan dengan aneka tindak kekerasan. Entah di pabrik, di jermal, di perkebunan, menjadi pembantu rumah tangga, dsb. Atau turun ke jalan, menjadi anak jalanan, bahkan menjadi pekerja seks komersial (PSK). Saat ini, setidaknya sepertiga dari total jumlah PSK di Indonesia, yang diperkirakan sekira 650.000 orang, masih kategori anak-anak (belum 18 tahun). Mereka juga rentan menjadi korban trafficking (perdagangan manusia). Anggapan hak penuh ini pula yang selain berpeluang membuat anak mengalami kekerasan fisik dan verbal, juga mengalami kekerasan seksual dari orang tua. Ada banyak sekali kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh bapak terhadap anak perempuannya. Belum lagi kasus pemaksaan nikah. Sebanyak 12 persen perempuan dinikahkan di bawah usia 15 tahun Akankah kondisi di atas dibiarkan? Semestinya tidak. Karena dipastikan akan memperburuk kualitas anak, yang pada gilirannya akan merobohkan kualitas bangsa ini. Mesti dikembangkan paradigma baru bahwa anak bukanlah hak milik mutlak orang tua. Anak adalah milik dirinya sendiri dan milik masa depan. Perubahan paradigma ini pada gilirannya akan mereduksi pemahaman nilai kepatuhan seorang anak. Bahwa kepatuhan anak pada orang tua bukan lagi dalam bentuk patuh an sich, tetapi patuh yang bertanggung jawab artinya kepatuhan yang didasari dengan pemahaman atas alasan. Untuk mencapai kondisi seperti ini, tidak bisa tidak, mesti dibangun relasi komunikasi imbal balik yang intens sejak anak berusia dini. Sekalipun dengan kondisi fisik yang mungkin lebih kecil, usia yang lebih muda, namun bagaimanapun juga anak adalah seorang manusia utuh layaknya orang tua, yang mempunyai pikiran, perasaan dan tentu saja keinginan. Tanpa itu semua, anak bukanlah manusia, ia tak beda dengan robot "hidup". *** Penulis, ibu rumah tangga yang peduli akan masalah seputar anak, perempuan, dan keluarga. Penggagas Forum Studi Pemberdayaan Keluarga (Family Empowerment Studies Forum). [Non-text portions of this message have been removed] *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://groups.yahoo.com/group/ppiindia *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx 5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx 6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/ ** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List ** ** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: ** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ ** ** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral scholarship, kunjungi http://informasi-beasiswa.blogspot.com **