[nasional_list] [ppiindia] Anakmu Bukanlah Milikmu

  • From: "Ambon" <sea@xxxxxxxxxx>
  • To: <"Undisclosed-Recipient:;"@freelists.org>
  • Date: Tue, 24 Jan 2006 00:53:13 +0100

** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com 
**http://www.pikiran-rakyat.co.id/cetak/2006/012006/24/0902.htm

      Mencermati Maraknya Kasus Kekerasan terhadap Anak
      Anakmu Bukanlah Milikmu
      Oleh NENI UTAMI ADININGSIH 

      BEBERAPA hari lalu, ketika sedang menyetrika baju secara tak sengaja, 
tangan kiri saya tersundut setrika, hanya sedikit dan sekejap, tetapi sudah 
mampu menimbulkan lepuh. Jangan ditanya rasanya, hingga sekarangpun masih 
terbayang bagaimana panasnya. Apalagi ketika kulit lepuh itu mengelupas, wow 
pedihnya luar biasa. 

      Saya sungguh tak bisa membayangkan bagaimana rasa panas dan rasa pedih 
yang mesti ditanggung oleh Siti Ihtiatun Soleha (8). Gadis kecil warga Sunter 
(Jakarta Utara) yang biasa dipanggil Tia itu, dua kaki dan tangan kanannya 
telah disetrika oleh ayah kandungnya sendiri, Muhammad Juhandi alias Wandi 
(34). Bayangkan, disetrika. Masya Allah. Tidak itu saja, Tia juga dipukul 
dengan tambang tali jemuran, ditampar, dan disundut dengan rokok.

      Kasus Tia di atas dipastikan semakin menambah panjang deret kasus 
kekerasan terhadap anak-anak oleh orang tua. Semakin memperkukuh prediksi bahwa 
kian hari kian banyak saja anak yang menjadi korban kekerasan. 

      Berdasarkan data Komnas Perlindungan Anak, tercatat 481 kasus kekerasan 
terhadap anak sepanjang tahun 2003. Angkanya meningkat menjadi 544 kasus pada 
2004, baik itu berupa kekerasan seksual, fisik, psikologis, serta ekonomi. 
Kondisi ini tentu saja harus segera menjadi atensi kita, setidaknya karena tiga 
alasan. 

      Pertama, bila menyimak kenyataan bahwa belum banyak anggota masyarakat 
yang memahami jenis-jenis tindakan yang termasuk dalam kategori kekerasan 
terhadap anak. Orang tua masih kerap menganggap wajar bila memukul, menjewer, 
mencubit atau menghina anaknya. Terlebih bila didasarkan pada alasan untuk 
"mendidik anak". Belum lagi masih kokohnya dinding ruang domestik, yang membuat 
orang luar enggan untuk menegur, sekalipun telah ada anak yang mengalami 
kekerasan. Itu sebabnya, hanya kekerasan yang parah, yang telah berdarah-darah 
saja yang saat ini bisa diungkap.

      Kedua, bila menyimak dampak yang akan dialami anak, baik secara fisik 
maupun mental. Tia misalnya, selain mengalami luka bakar, memar, ia juga 
mengalami trauma psikis yang membuatnya enggan kembali ke rumahnya. Saat ini ia 
tinggal bersama neneknya, sekira 100 meter dari rumahnya. Bisa jadi, ketika 
masuk ke ruangan di mana ia pernah disiksa maka segera terbayangkan kembali 
peristiwa keji itu. Ketika melihat setrika yang dipakai untuk menyiksanya, 
segera terbayang rasa panasnya. 

      Ketiga, bila menyimak kenyataan bahwa orang tualah yang umumnya menjadi 
pelaku kekerasan. Data yang diungkapkan oleh Seto Mulyadi, Ketua Komnas 
Perlindungan Anak menunjukkan bila 60 persen dari pelaku kekerasan terhadap 
anak, baik secara fisik, psikis, seksual maupun ekonomi adalah orang tuanya 
sendiri. 

      Hak penuh

      Ada banyak alasan yang membuka peluang terjadinya kekerasan oleh orang 
tua terhadap anaknya. Salah satu di antaranya adalah masih kuatnya pemahaman 
bahwa orang tua mempunyai hak penuh atas anaknya. Seakan hidup-mati anak berada 
di tangan orang tua. Akibatnya orang tua menempatkan diri sebagai sosok dominan 
dan boleh berbuat apa saja terhadap anaknya. Orang tua kerap memanfaatkan 
kenyataan bahwa ialah yang melahirkan, membesarkan serta membiayai kebutuhan 
anak. Tentu saja anak tidak akan bisa menolak kenyataan tersebut. 

      Ditambah lagi dengan usianya yang jauh lebih tua daripada anaknya membuat 
orang tua kerap merasa lebih kuat, lebih pintar, lebih berpengalaman bahkan 
dengan alasan "dulu juga pernah jadi anak - anak" maka orang tua juga sering 
menganggap kalau dirinya lebih tahu kebutuhan anaknya daripada anaknya sendiri. 

      Dengan kondisi-kondisi seperti ini, maka ketika si anak tidak melakukan 
sesuatu sebagaimana yang diinginkannya apalagi bila berani membantah maka 
dengan sangat mudah orang tua merasa tersinggung, merasa tidak dihormati, 
merasa harga dirinya dilecehkan oleh anak. Padahal bisa jadi, dan besar 
kemungkinan, hal itu lebih disebabkan oleh belum tahunya anak. Atau mungkin 
karena si anak sedang masuk ke tahap di mana ia mulai menunjukkan keberadaan 
dirinya. 

      Sangat kecil kemungkinan orang tua mendapat penolakan atau bantahan dari 
anaknya yang berusia kurang dari dua tahun. Semua keinginan orang tua akan 
dituruti. Memang saat paling enak menjadi orang tua adalah ketika anaknya belum 
berusia dua tahun, ketika anaknya masih menjadi "anak manis". Sehingga kerap 
kita dengar keinginan "aneh" orang tua agar anaknya tetap kecil sehingga tetap 
menjadi anak penurut.

      Apa yang terjadi ketika anak mulai berusia tiga tahun? Ketika daya 
nalarnya mulai berjalan, ketika rasa percaya dirinya mulai muncul, ketika 
keinginan untuk dihargai mulai menjadi tuntutan, dan ketika kosakata penolakan 
telah memperkaya perbendaharaan kata-katanya, si anak penurut itu mulai berkata 
"nggak mau". Ia mulai melakukan penolakan terhadap keinginan orang tua. Dan 
mulai mengedepankan keinginannya. 

      Kondisi ini jelas menggoyah sendi otoritas orang tua. Untuk 
mempertahankannya maka orang tuapun mengedepankan kekuasaannya, yang antara 
lain berupa kekerasan. Itu sebabnya kasus kekerasan terhadap anak mulai ditemui 
sejak anak berusia tiga tahun. 

      Pemahaman akan hak penuh orang tua terhadap anak ini pula yang membuat 
kasus kekerasan terhadap anak, tidak dibatasi oleh kondisi finansial orang tua. 
Artinya tidak hanya anak orang miskin saja yang kerap mengalami kekerasan atau 
sebaliknya. Selalu saja ada celah anak mengalami kekerasan, tentu saja untuk 
strata ekonomi yang berbeda maka akan berbeda pula bentuk kekerasan yang mereka 
alami. 

      Bagi keluarga berkecukupan, anggapan hak penuh ini membuat orang tua 
memaksa anaknya untuk melakukan / berprestasi sesuai dengan keinginaannya 
semata, tidak peduli apakah anaknya senang atau tidak, apakah anaknya mampu 
atau tidak. Anak dipasok dengan dukungan finansial asalkan mau mengikuti 
cita-cita orang tua, entah itu paksaan untuk mengikuti aneka les (hingga anak 
tak lagi sempat bermain), lecutan agar selalu menjadi juara kelas (bila tidak 
jadi juara dianggap bodoh), dorongan agar terkenal bak selebritis, dsb. Bisa 
juga berupa pengabaian atensi orang tua, entah karena kesibukan atau adanya 
anggapan telah memenuhi kebutuhan finansial anak.

      Sementara bagi orang tua yang kurang mampu, pemahaman hak penuh atas anak 
menjadi senjata bagi orang tua untuk memaksa anaknya tidak atau keluar dari 
sekolah dan bekerja. 

      Data yang dilansir oleh Departemen Pendidikan Nasional mengungkapkan bila 
terdapat 11,7 juta anak berusia 7-15 tahun tidak bersekolah dan putus sekolah. 
Mereka ini sangat rentan menjadi pekerja anak, baik secara formal maupun 
informal. 

      Dengan latar belakang pendidikannya yang rendah dan posisi tawarnya yang 
minim, maka sangatlah sulit bagi anak untuk mendapatkan pekerjaan. Akibatnya 
mereka akan bekerja serabutan yang sangat rawan dengan aneka tindak kekerasan. 
Entah di pabrik, di jermal, di perkebunan, menjadi pembantu rumah tangga, dsb. 
Atau turun ke jalan, menjadi anak jalanan, bahkan menjadi pekerja seks 
komersial (PSK). Saat ini, setidaknya sepertiga dari total jumlah PSK di 
Indonesia, yang diperkirakan sekira 650.000 orang, masih kategori anak-anak 
(belum 18 tahun). Mereka juga rentan menjadi korban trafficking (perdagangan 
manusia).

      Anggapan hak penuh ini pula yang selain berpeluang membuat anak mengalami 
kekerasan fisik dan verbal, juga mengalami kekerasan seksual dari orang tua. 
Ada banyak sekali kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh bapak terhadap anak 
perempuannya. Belum lagi kasus pemaksaan nikah. Sebanyak 12 persen perempuan 
dinikahkan di bawah usia 15 tahun

      Akankah kondisi di atas dibiarkan? Semestinya tidak. Karena dipastikan 
akan memperburuk kualitas anak, yang pada gilirannya akan merobohkan kualitas 
bangsa ini. Mesti dikembangkan paradigma baru bahwa anak bukanlah hak milik 
mutlak orang tua. Anak adalah milik dirinya sendiri dan milik masa depan. 

      Perubahan paradigma ini pada gilirannya akan mereduksi pemahaman nilai 
kepatuhan seorang anak. Bahwa kepatuhan anak pada orang tua bukan lagi dalam 
bentuk patuh an sich, tetapi patuh yang bertanggung jawab artinya kepatuhan 
yang didasari dengan pemahaman atas alasan. Untuk mencapai kondisi seperti ini, 
tidak bisa tidak, mesti dibangun relasi komunikasi imbal balik yang intens 
sejak anak berusia dini. 

      Sekalipun dengan kondisi fisik yang mungkin lebih kecil, usia yang lebih 
muda, namun bagaimanapun juga anak adalah seorang manusia utuh layaknya orang 
tua, yang mempunyai pikiran, perasaan dan tentu saja keinginan. Tanpa itu 
semua, anak bukanlah manusia, ia tak beda dengan robot "hidup". *** 

      Penulis, ibu rumah tangga yang peduli akan masalah seputar anak, 
perempuan, dan keluarga. Penggagas Forum Studi Pemberdayaan Keluarga (Family 
Empowerment Studies Forum).
     
        


[Non-text portions of this message have been removed]



***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com **

Other related posts:

  • » [nasional_list] [ppiindia] Anakmu Bukanlah Milikmu