[UntirtaNet] Geger talangsari - Bag-14

  • From: "untirtanet@xxxxxxxxxxxxxx" <yayantea@xxxxxxxxxxxxx>
  • To: <untirtanet@xxxxxxxxxxxxx>
  • Date: Wed, 28 Aug 2002 22:08:43 -0400

SERPIHAN DARUL ISLAM


SETELAH Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, Proklamator Negara Islam
Indonesia tiada, imam NII dipegang Kahar Muzakkar sampai tahun 1965.
Kemudian dilanjutkan Daud Beureuh atau Tengku Muhammad Daud Beureueh hingga
tahun 1980. Akan tetapi, setelah para tokoh utama meninggal dunia dan
pimpinan beralih ke angkatan berikutnya, mulailah terjadi perselisihan
pendapat dan paham tentang siapakah yang berhak dan pantas melanjutkan tugas
sebagai pemimpin Negara Islam Indonesia, DI-TII.

Sekitar tahun 1978-1979, Darul Islam pecah ke dalam dua kubu. Pertama, kubu
Jamaah Fillah, diketuai oleh Djadja Sujadi. Kedua, Jamaah Sabilillah,
dipimpin oleh Adah Djaelani Tirtapradja. Kedua tokoh ini merupakan petinggi
militer TII, sebagai Anggota Komandemen Tertinggi (AKT) yang diangkat
langsung oleh Kartosoewirjo. Karena "tidak boleh ada dua Imam", Djadja
Sujadi dibunuh oleh Adah Djaelani.

Adah Djaelani dimasukkan ke penjara pada tahun 1980 dan perpecahan dalam
Jamaah Sabilillah tak dapat dicegah. Darul Islam terburai menjadi beberapa
kelompok dengan ketuanya masing-masing. Celakanya, pimpinan kelompok yang
satu dengan lainnya saling membatalkan dan saling tidak mengakuinya.

Di antara buraian itu, ada satu kelompok yang dipimpin oleh Abdullah Sungkar
dan mempunyai pengaruh luas. Basis kekuasaannya meliputi Jawa Tengah,
terutama Solo dan Yogyakarta. Kelompok ini menjadikan Pondok Pesantren
Ngruki di Solo sebagai basis pengkaderan. jamaahnya, Kemudian ditebar ke
berbagai wilayah bila dianggap telah mampu. Banyak kadernya yang sudah
tersebar di berbagai wilayah dan berusaha menghidupkan kembali gerakan Darul
Islam. Salah satunya ialah yang bergabung dengan Warsidi di Talangsari,
Cihideung, Lampung.

Kelompok Atjeng Kurnia, wilayahnya meliputi Bogor, Serang, Purwakarta, dan
Subang. Sementara Ajengan Masduki membangun kejamaahan di Jakarta dan
Lampung. Pembinaan terhadap jamaahnya bukan hanya dalam aqidah, syari 'ah,
dan siyasah, melainkan juga dalam bidang militer. Sebagai instruktur diambil
dari mereka yang sudah pernah terjun di dalam Perang Mujahidin Afghanistan.

Masih ada seorang tokoh tua yang bernama Abdul Fatah Wirananggapati. Tokoh
ini, juga punya pengikut yang cukup banyak dan tersebar di berbagai daerah.
Wirananggapati bukan hanya seorang tokoh tua, dialah pembuka simpul
tersebarnya Darul Islam hingga ke tanah rencong, Aceh, pada masa
Kartosoewirjo masih ada.

Di antara serpihan-serpihan Darul Islam itu, ada seorang tokoh bernama Gaos
Taufik yang membangun pengaruhnya di Sumatera. Pengikut Gaos dipersiapkan
menjadi jundullah atau tentara Allah di daerah pedalaman Sumatera,
kalau-kalau suatu waktu terjadi revolusi di Indonesía. Kelompok ini
disebut-sebut mempunyai hubungan erat dengan mujahidin Moro di Filipina dan
mujahidin Pattani di Thailand.

Tahun 1990-an, terjadi lagi perselisihan paham dalam tubuh Darul Islam.
Ketika itu, Adah Jaelani melimpahkan kekuasaannya kepada Abu Toto atau Toto
Salam. Menurut beberapa sumber, Toto Salam tidak pernah terdaftar sebagai
anggota DI, tetapi selalu memakai nama NII. Dengan segala kemampuannya, ia
melanjutkan pewarisan kepemimpinan Darul Islam yang membawahi jamaah sekitar
50.000 orang. Di bawah pengaruhnya, Abu Toto mendirikan Al-Zaytun, sebuah
mega proyek Pondok Pesantren, di Desa Mekar Jaya, Haurgeulis, Indramayu,
Jawa Barat. Mega proyek yang menempati "ribuan" hektare tanah ini, membuat
iri
beberapa tokoh Darul Islam lainnya.

Sejak itu, sesungguhnya sendi-sendi moral perjuangan Darul Islam sudah
terpuruk dan meringkuk. Kesatuan perjuangannya tidak lagi mengental, tetapi
buyar bersama ambisi pribadi-pribadi. Karena itu, apa yang dikenal rakyat
Indonesia tentang Darul Islam di kemudian hari, sesungguhnya ialah Darul
Islam produk dari manusia-manusia yang kurang berkualitas. Darul Islam masa
kini ialah Darul Islam produk sempalan-sempalan NII yang senantiasa
mengklaim dirinya sebagai "pewaris tunggal" penerus Kartosoewirjo.

* * *


ADUL FATAH WIRANANGGAPATI
Seorang santri yang ingin jadi tentara. Pemegang amanah KUKT dari SM.
Kartosoewirjo, sejak tahun 1949 hingga sekarang.


ABDUL Fatah Wirananggapati, menyiratkan seorang tokoh Darul Islam tulen.
Sebagai seorang Darul Islam ia mengatakan bahwa hingga kini dirinya belum
pernah menyerah. Pria kelahiran Kuningan 1923 ini, kendati telah berusia
lanjut, kata-katanya menyiratkan semangat Darul Islam yang tak pernah lelah,
apalagi kalah. Semangatnya dibangun di atas kakinya yang tetap tegak,
menyangga seonggok tubuhnya yang tinggi ramping, gambaran seorang tokoh yang
lebih mementingkan isi kepala dibanding isi perutnya. Oleh sebab itu, ringan
tubuhnya masih terlihat dari cara kakinya melangkah dengan cepat, secepat
kata-katanya bila berbicara.

Cita-citanya untuk menjadi tentara terkabul ketika santri ini bertemu SM
Kartosoewirjo di hutan Loyang, Jatibarang, Jawa Barat, tahun 1951. Saat itu,
Kartosoewirjo tengah menggalang kekuatan, menyusun barisan untuk meneguhkan
berdirinya NII yang belum lama ia proklamirkan. Imam besar Darul Islam itu
menjadikan Wirananggapati sebagai seorang Tll berpangkat kolonel. Suatu
pangkat yang tak mudah diperoleh, bahkan bagi orang-orang dekat
Kartosoewirjo sekalipun. Inilah yang membuat iri hati tokoh DI lainnya,
seperti Adah Djaelani dan Haji Abidin atau Ajengan Masduki. Adah Djaelani
merupakan seorang pejabat Anggota Komandement Tertinggi (AKT) dan termasuk
salah seorang saksi sejarah ketika Kartosoewirjo memproklamasikan berdirinya
NII di negeri ini.

Kepada Abdul Fatah Wirananggapati, sang Imam tak cuma memberi pangkat
kolonel. Kartosoewirjo malah mengangkatnya menjadi pejabat KUKT (Kuasa
Usaha Komandement Tertinggi), suatu jabatan yang setara dengan AKT (Anggota
Komandemen Tertinggi) atau KSU (Kepala Staf Umum) yang kelak pada situasi
tertentu bisa mewakili atau malah menggantikan kedudukan Kartosoewirjo
sebagai imam NII.

Lebih jauh tentang Abdul Fatah Wirananggapati. Berikut petikan wawancaranya.

Sebagai pejabat KUKT tugas Bapak sebenarnya apa ?
Sebagai penghubung di dalam ataupun di luar negeri. Untuk tugas diplomatik
ke luar, saya pikir, lebih dulu harus menata urusan dalam negeri. Percuma
kalau dalam negeri belum beres. Oleh sebab itu, saya segera konsolidasi
dengan tokoh-tokoh Islam di daerah yang punya semangat sama. Di Aceh ada
Tengku Daud Beureueh,
seorang pemimpin daerah yang disegani oleh Pemerintah RI, selain oleh
kalangannya sendiri. Ke sana saya menemuinya dan menjelaskan bahwa negara
Islam telah lahir di Indonesia bernama NII dan telah diproklamasikan oleh
Kartosoewirjo, pada 7 Agustus 1949.

Apa komentar Tengku Daud Beureueh, ketika itu ?
Alhamdulilllah. Sebab sebelum itu Tengku mengatakan mau mengadakan
pemberontakan kepada RI. Saya bilang, sekarang kan sudah ada Negara Islam
Indonesia, mengapa tidak bergabung saja dengan NII yang sudah
diproklamasikan oleh Imam Kartosoewirjo. Kalau Tengku berontak, bughot
jadinya. Tapi, kalau Tengku bergabung dengan NII tidak kena hukum bughot.
Mendengar pertimbangan itu, Daud Beureueh senang dan langsung menyatakan
ingin mendukung. Dia segera dibaiat sebagai Panglima NII Divisi V Cik Di
Tiro. Di saat yang hampir bersamaan, Pemerintah RI mengirim beberapa utusan
ke Aceh untuk merangkul Tengku Daud Beureueh, tetapi mereka tidak berhasil.
Karena tokoh Aceh itu sudah bergabung dengan Negara Islam Indonesia.

Alasan Bapak, mengapa ke Aceh dan bukan ke daerah lain ?
Karena Aceh sebagai daerah Serambi Mekah, daerah Islam. Untuk kepentingan
diplomasi ke Luar Negeri, melalui Aceh lebih dekat atau malah lebih mudah.
Setidaknya, bila ingin, misalnya ke Malaka, Penang, Trenggano, Johor, atau
ke Negeri Sembilan Malaysia, akan lebih efektif. Aceh menjadi prioritas,
karena saat itu Tengku Daud sudah siap-siap hendak bughot-menyerang
Pemerintah RI. Untung belum terjadi sehingga bisa diajak ke NII.

Setelah itu Bapak ke mana ?
Kembali ke Jakarta. Saya mau pulang sendiri, tetapi tidak boleh. "Panglima
harus dikawal dan diantar", kata Tengku. Dalam perjalanan kembali ke Jakarta
itu saya diantar oleh Mayor Ilyas Lebai atas perintah Tengku Daud. Saya
dibawa ke rumah Hasan Gayo di Mangga Besar II, Jakarta. Hasan Gayo ini
ternyata mata-mata RI dan diam-diam melaporkan, sehingga saya ditangkap.
Siang malam saya diperiksa dan didakwa melakukan kejahatan politik. Seluruh
dokumen disita, dijadikan bukti. Akhimya, saya dibuang ke Nusakambangan
hingga 1962.

Siapa saja dari kalangan DI yang menyerah ?
Semua pasukan DI pendukung Pak Karto, termasuk Adah Djaelani itu. Setelah
Pak Karto tertangkap, keadaan memang berubah dan menjadi kacau. Saya juga
disuruh menyerah, tetapi saya tidak mau. Akhirnya, saya dikucilkan oleh
mereka. Jadi, ketika Ali Murtopo membagi-bagi kue Orde Baru untuk membungkam
orang-orang DI, saya tidak diajak serta. Dan, akhirnya orang-orang DI yang
menyerahkan diri itu umumnya kaya. Malah termasuk Adah Djaelani, punya
perusahan dan apartemen besar di Jakarta.

Setelah keluar dari Nusakambangan, kegiatan Bapak apa ?
Saya kembali ke masyarakat dan menjadi guru ngaji. Lain dengan mereka,
umpamanya Danu, Ateng, H. Abidin, dan lain-lain lagi, mereka rata-rata
menjadi pengusaha. Menurut saya DI harus diperjuangkan dengan mempertajam
ilmu pengetahuan dan mempertinggi akhlak. Oleh karena itu, saya lebih
memilih jadi guru ngaji. Karena dengan cara inilah, kader-kader baru DI bisa
menjadi berkualitas di masa depan.

Bagaimana dengan tokoh muda DI sekarang ?
Mereka orang-orang yang semangatnya tinggi, hanya saja akhlaknya mesti
dijaga, masih payah. Contohnya, Nurhidayat. Kalau dia bisa menjaga
akhlaknya, mungkin dia bisa menjadi kader yang baik. Nurhidayat itu harus
bertobat. Lihatlah, dia itu di mana-mana membuat susah orang, karena ulahnya
membuat gerakan di Lampung 1989 itu. Saya sudah melarang supaya tidak
membuat gerakan di Lampung, tapi dia nekat. Akhirnya banyak orang dibuat
menderita, terutama orang-orang yang dia datangi di Bandung. Mereka itu
binaan saya dan semuanya ditangkap.

Mengapa Bapak melarang kelompok Nurhidayat ke Lampung ?
Mereka ke Lampung itu harus punya alasan dan aturan yang jelas. Di Lampung
itu mau apa? Untuk apa membuat gerakan di sana? Pemimpinnya siapa. Saya pun
tidak mengenalnya. Kalau untuk dakwah seharusnya mereka mempertinggi akidah
dan keilmuan, bukan mempersiapkan diri untuk gerakan perang seperti itu.
Dalang kerusuhan Lampung itu Nurhidayat yang menghasut Warsidi. Jadi,
Nurhidayat itu anak durhaka yang ambisius. Karena geger Talangsari itu, saya
ikut terseret masuk bui lagi dengan tuduhan sebagai tokoh DI di balik
Nurhidayat.


Bapak bangga jadi tokoh NII ?
Tentu saja sebab NII tidak hanya milik DI, tetapi milik semua kita orang
Islam. Lihatlah naskah proklamasinya. Di sana ada Syahadat, Basmalah, dan
Hamdalah. Itu kan milik semua orang Islam. Masalah negara bagi saya bukan
soal nama, tetapi masalah Daulah. Daulah Islam dan berlaku tegaknya hukum
Islam. Itu saja.

Siapa sesungguhnya yang paling berhak menggantikan Kartosoewirjo ?
Sebenarnya sudah ada undang-undang dan Anggaran Dasar NII. Bila Imam
berhalangan, maka calon penggantinya haruslah orang yang cakap dan
purbawasesa. Mereka diambil dari AKT, KSU, dan KUKT. Di antara mereka
diambil yang tertua. Menurut saya Adah Djaelani cocok. Tapi, Adah sudah
menyerah. Oleh karena itu, maka harus diserahkan kepada yang belum menyerah.
Kiai Masduki juga cocok, karena diajuga tokoh tua. Apalagi dia hafal
Alquran, tetapi akhlaknya kurang baik untuk ukuran seorang imam. Contohnya,
di depan orang lain dia menyatakan Abdul Fatah Wirananggapati paling cocok
menjadi imam, tetapi di belakang, dia menyusun kekuatan sendiri. Itu kan
namanya kurang baik dan tidak benar. Akhirnya terbukti, di antara mereka ada
konflik dan pecah menjadi tiga kelompok. Adah Djaelani berkelompok dengan
Toto Abu Salam. Tachmid dengan Mia Ibrahim, sedangkan Ajengan Masduki dengan
Gaos Taufik. Gaos, katanya berbaiat dengan Daud Beureuh.


Berapa kira-kira jumlah anggota atau pendukung NII sekarang ?
Saya tidak tahu, tapi pendukung secara ideologis, saya kira sekarang ini
meliputi hampir semua orang Islam. Mereka menunggu tegaknya Darul Islam.
Sesungguhnya masih banyak, seperti Suryanegara Mansyur. Dia itu kan orang
NII, kalau tidak mau dibilang tokoh NII.

* * *


ABDULLAH SUNGKAR
Kiai Abdullah Sungkar, mempunyai ciri khas yang hingga kini masih melekat di
ubun-ubun bekas para santri dan pengikutnya. la pantang mengatakan benar,
bila apa yang dilihatnya salah. Pemerintahan Soeharto, acap kali dibuat
kalang kabut dengan pernyataan-pernyataannya yang dinilai banyak kalangan,
terlalu keras dan ekstrem.

SUATU hari, subuh. Di mesjid kecil, sisi Timur kompleks Kusumoyudan, kampus
Universitas Tjokroaminoto, Jl. Asrama No.22, Surakarta, seorang ustad
berapi-api, menghangatkan suasana subuh yang hanya dihadiri tak lebih 8
orang. "Memang dimulai dari sedikit, lama-lama akan menjadi banyak," kata
sang ustad, menggembirakan pengurus mesjid yang berkali-kali minta maaf atas
sepinya peserta kuliah subuh itu.

Pada kali yang lain, bersama istri dan anaknya, sang ustad pagi-pagi sudah
sampai di panti anak-anak tuna netra. Ke sana, sang ustad membawa lontong
untuk dimakan bersama-sama dengan penderita tuna netra itu, sambil
mendengarkan ceramah yang juga disampaikannya dengan berapi-api. Entah sudah
berapa kali, ustad ini tetap menyalakan api khotbahnya pada keadaan apa pun,
sepi atau ramai, dilihat orang atau tidak. Dialah K.H. Abdullah Sungkar,
tokoh NII yang mempunyai perawakan tegap, berkulit putih, bersih.
Kata-katanya selalu memompakan semangat yang tak mengenal aroma basa-basi
dalam setiap hujah ceramahnya.


Ceramah-ceramah Abdullah Sungkar dinilai banyak kalangan bernada keras dan
membahayakan. la tak pernah ragu mengkritik pemerintah di saat banyak orang
tak lagi berani bersuara. Bagi Sungkar, berkata benar adalah keniscayaan,
sekalipun harus dibayarnya dengan sering keluar masuk tahanan. Itu sebabnya
setiap berkhotbah, tak hanya pengikutnya yang hadir tetapi para intel gelap
juga tak pernah ketinggalan.


Karena itu, nama Abdullah Sungkar senantiasa tercatat paling atas sebagai
tokoh ekstrem kanan yang harus diberangus dan diringkus. Tak aneh bila ia
tiba-tiba menghilang dan berkucing-kucingan dengan aparat.

Bersama Abu Bakar Ba'syir, ia mendirikan Pesantren Al-Mukimin di Solo
Selatan, pada awal 1973. Pesantren ini dilengkapi dengan pendidikan sekolah
umum dan sebuah studio Radio Dakwah Islam (Radis). Pesantrennya maju pesat,
begitu juga dengan radionya. Inilah pesantren Ngruki yang pernah berjaya di
tengah sempitnya Abdullah Sungkar memperjuangkan keyakinannya.


Pada suatu hari, ketika rencana penangkapan Abdullah Sungkar dilakukan di
Pesantren Ngruki. Sejumlah petugas sudah berjaga-jaga di sekeliling pondok.
Sebagian lain memasuki pondok untuk menggerebek dan menangkap Kiai Sungkar.
Konon, dengan mengenakan kain.sarung dan dibonceng sepeda motor, Abdullah
Sungkar keluar melalui pintu gerbang pondok yang dijaga ketat petugas
keamanan. la keluar Pondok Ngruki, kemudian dengan naik bus langsung ke
Jakarta.


Itulah hari terakhimya di Surakarta, hari terakhir di Pondok Pesantren
Al-Mukmin Ngruki yang dibangunnya. Suatu pelarian yang fantastis. Di sebuah
tempat di Malaysia, ia bercerita kepada penulis bahwa di saku kemejanya
hanya ada uang Rp 10.000,00. Dengan bekal Rp 10.000,00 itulah ia berangkat
ke Jakarta, kemudian ke Pakanbaru (Riau) dan menyeberang hingga ke Malaysia.

Ada juga versi cerita yang lain. Sebelum ke Malaysia, Abdullah Sungkar
disembunyikan oleh "Kelompok Condet", yaitu kelompok pengajian yang
dibinanya atau yang berada di bawah pengaruhnya. Mereka adalah kader-kader
muda pelanjut estafet perjuangan Negara Islam Indonesia. Tokoh-tokohnya,
antara lain Aus Hidayat, Ibnu Thoyyib, Haryono, Dodi Achmad Busubul,
Mukhliansyah, dan Nurhidayat. Nama terakhir ini pada tahun 1988 disetujui
sebagai "Imam Musafir" yang berencana membangun poros Jakarta-Cihideung,
Talangsari. Teman-teman Imam Musafir itu, antara lain Sudarsono, Fauzi
Isnan, Sukardi, Maulana Latif, Alex, dan Joko yang kesemuanya berhubungan
kerja untuk membangun "basis perjuangan" di atas konsep "perkampungan Islam"

Warsidi di Cihideung, Talangsari, Lampung.


Di Malaysia, Abdullah Sungkar mula-mula memilih tempat persembunyian yang
jauh dari kota besar. Nyaris di pedalaman dan tidak banyak yang tahu. la
kemudian
disusul oleh 'sahabatnya' pendiri Pondok Pesantren Al-Mukmin, yaitu Abu
Bakar Ba'asyir, sama-sama menyembunyikan diri di antara petani di pedalaman
Malaysia itu.


Tidaklah gampang mencari jejak para pelarian politik yang bersembunyi di
negara asing. Di negara itu, mereka mendapat perlindungan penuh dari
pemerintah setempat. Begitu juga dengan Abdullah Sungkar dan Abu Bakar
Ba'asyir. Tetapi, melalui jasa-jasa baik A.Halim Abbas dan Helmi Al-Mascaty
dari Jamaah Al-Arqam Malaysia, kedua orang Islam yang bersembunyi itu
berhasil ditemukan penulis.

Kami berangkat dengan sebuah mobil mewah berwarna hitam, dari Kuala Lumpur
menuju ke Negeri. Sembilan. Melewati hutan lebat dan sejumlah perkampungan,
sampailah kami di sebuah gubuk di tepi jalan kecil. Menjelang magrib ketika
itu ada dua orang lelaki dengan jenggot dan kumis serta cambang yang sudah
memutih, mendorong gerobak kecil berisi sejumlah alat pertanian ada dalam
gerobak itu. Tak salah lagi, merekalah dua tokoh 'Ngruki' yang kami
cari-cari itu.


Abdullah Sungkar langsung menyampaikan kritiknya dengan menunjukkan
ayat-ayat Alquran yang siap dibukanya seketika itu juga. "Saya hanya minta
satu kepada pemerintah. Tolong berikan saya tempat, satu pulau kecil saja.
Saya akan membina pemukiman Islam dan insya Allah akan menjadi contoh
seperti apa Islam
yang benar itu," katanya. la masih belum percaya ketika dikatakan bahwa
pemerintah sudah 'berubah'. Semua tahanan ekstrem kiri dan kanan sudah
dibebaskan oleh Pemerintah Habibie. la tetap tidak percaya.

Beberapa hari dari pertemuan itu, kedua orang tersebut bergegas ke Airport.
Masing-masing dengan kopornya. Mereka menyempatkan diri berfoto ria sebelum
terbang menuju Arab Saudi.


Sejak itulah nama Abdullah Sungkar tak lagi banyak disebut orang. Pada awal
tahun 2000, Sungkar diam-diam kembali ke Indonesia. Baru beberapa bulan
tinggal di Bogor, Jawa Barat, ia menderita sakit dan meninggal dunia. Inna
Lillahi wa inna Ilaihi raji'un.

***



===============================================================
(C)opyright 1999-2002 UntirtaNet
Milis ini dikelola oleh alumni Universitas Tirtayasa Banten - Indonesia 
dan terbuka untuk semua Civitas Academica Universitas Tirtayasa Banten 
Untuk berlangganan, kirim email ke: untirtanet@xxxxxxxxxxxxx, 
dengan Subject 'Subscribe' atau lansung ke  
//www.freelists.org/cgi-bin/list?list_id=untirtanet 
Untuk kirim pesan: untirtanet@xxxxxxxxxxxxx
Please visit our Homepage: http://www.untirtanet.org

Other related posts: