[nasional_list] [ppiindia] Kebohongan-Kebohongan Di Balik Isu Jender

  • From: syabab muslim <syabab_hizb_islamiy@xxxxxxxxx>
  • To: PAN@xxxxxxxxxxxxxxx, islam_liberal@xxxxxxxxxxxxxxx, Kebangkitan_Bangsa@xxxxxxxxxxxxxxx, muhammadiyah2002@xxxxxxxxxxxxxxx, keluarga-islami@xxxxxxxxxxxxxxx, majelismuda@xxxxxxxxxxxxxxx, partai-keadilan-sejahtera@xxxxxxxxxxxxxxx, wanita-muslimah@xxxxxxxxxxxxxxx, ppiindia@xxxxxxxxxxxxxxx, Amien-Siswono@xxxxxxxxxxxxxxx, keluarga-sakinah@xxxxxxxxxxxxxxx, PKS-Watch@xxxxxxxxxxxxxxx, ISLAM_IRC@xxxxxxxxxxxxxxx, Chae <chairunisa_mahadewi@xxxxxxxxx>, bang_irfan_gd@xxxxxxxxx
  • Date: Sun, 6 Feb 2005 22:05:22 +0000 (GMT)

** Mailing List Nasional Indonesia PPI India Forum **



Kritik Al-Wa?ie Edisi 54

Kebohongan-Kebohongan

Di Balik Isu Jender

Oleh: Husnul Khotimah

 

Merebaknya gagasan feminisme di Dunia Islam tak boleh disikapi secara abai oleh 
kaum Muslim dimana pun, mengingat kehadiran feminisme telah membawa perubahan 
mendasar dalam kehidupan masyarakat dan lebih menguatkan proses sekularisasi di 
Dunia Islam. Digulirkannya Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam dan UU 
KDRT beberapa waktu lalu, berikut gagasan-gagasan kontroversial yang dibawanya, 
menjadi salah satu bukti atas hal ini, yakni bahwa isu jender telah masuk dalam 
seluruh sendi kehidupan; tidak lagi sekadar dalam wacana, tetapi sudah 
terformalisasi dalam bentuk berbagai kebijakan publik. Berkenaan dengan hal 
ini, pemerintah Indonesia bahkan telah mengeluarkan Inpres no. 9 tahun 2001 
tentang Pengarus-Utamaan Gender (PUG), yang menyatakan bahwa seluruh program 
kegiatan pemerintah harus mengikutsertakan PUG dengan tujuan untuk menjamin 
penerapan kebijakan yang berperspektif jender.

Isu jender memang telah memberikan efek bius yang kuat. Apalagi pada faktanya, 
begitu banyak persoalan perempuan yang hingga saat ini sulit diselesaikan yang 
ditengarai terkait dengan isu ini. Persoalannya, banyak argumentasi dari 
gagasan-gagasan feministik seputar jender  ini yang jika dicermati ternyata 
mengandung banyak kerancuan (ambivalensi). Hal ini wajar karena gagasan ini 
dibangun di atas asumsi-asumsi  yang rancu dan tidak sesuai dengan realitas. 

Dipandang dari sisi ideologis, gagasan ini jelas bertentangan dengan Islam. 
Selain karena tegak di atas landasan (akidah) sekularisme yang menafikan hak 
prerogatif Al-Khâliq dalam mengatur kehidupan, juga karena pemikiran-pemikiran 
cabang yang lahir darinya pun bertentangan dengan Islam. Di antara 
gagasan-gagasan tersebut adalah:





(1)  Laki-laki dan perempuan sama.

Salah satu ide dasar pemikiran feminisme adalah konsep mengenai kesetaraan 
jender; bahwa secara jender, laki-laki dan perempuan sama. Menurut mereka, 
sekalipun secara biologis laki-laki dan perempuan berbeda, perbedaan tersebut 
tidak boleh berimplikasi pada perbedaan jender, karena perbedaan jender hanya 
akan memunculkan ketidakadilan sistemik atas kaum perempuan.

Dalam terminologi feminis, jender sendiri didefinisikan sebagai perbedaan 
perilaku (behavioral differences) atau sifat yang melekat pada kaum laki-laki 
maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial dan kultural. Karena itu, 
jender juga sering disebut sebagai ?jenis kelamin sosial?. 

Dari definisi ini terlihat bahwa dalam persepsi feminisme, jender hanya 
merupakan produk budaya (nurture), bukan alami (nature), yakni sekadar ?hasil 
persepsi? suatu masyarakat?atau bahkan bisa jadi hanya mitos?atas apa yang 
disebut dengan sifat paten (kodrat) laki-laki dan sifat paten (kodrat) 
perempuan. Karena merupakan produk budaya, menurut mereka, jender dapat 
dipertukarkan dan bersifat tidak  permanen, yakni dapat berubah sejalan dengan 
perubahan paradigma berpikir yang menjadi landasan budaya masyarakat tersebut .

Berdasarkan kerangka berpikir ini, mereka kemudian menolak konsep pembagian 
peran sosial yang dikaitkan dengan perbedaan biologis. Tidak boleh, misalnya, 
hanya karena secara biologis perempuan punya rahim dan payudara, kemudian 
dipersepsikan bahwa hanya perempuan yang memiliki sifat-sifat keperempuanan 
(feminitas)?seperti sifat lembut, keibuan, dan emosional?sehingga secara 
kodrati perempuan harus menjalani fungsi-fungsi keibuan dan kerumahtanggaan. 
Tidak boleh pula, laki-laki yang dianggap lahir dengan sifat-sifat 
maskulinitasnya, lalu diarahkan untuk menjadi pemimpin atas kaum perempuan. 

Bagi mereka, persepsi-persepsi seperti ini muncul lebih disebabkan faktor 
budaya yang berpengaruh terhadap  pembentukan konsep jender itu sendiri di 
tengah-tengah masyarakat. Kebetulan, kata mereka, saat ini budaya masyarakat 
sedang didominasi kultur patriarkal yang menempatkan posisi laki-laki lebih 
superior dibandingkan perempuan. Budaya seperti ini kemudian dianggap 
bertanggungjawab melahirkan ?mitos-mitos peran jender yang merugikan kaum 
perempuan?, termasuk peran perempuan sebagai ibu yang mereka pandang ?tidak 
strategis? dan ?tidak produktif?.

Karena dianggap merugikan, mereka berobsesi untuk mengubah masyarakat yang 
patriarki ini menjadi masyarakat berkesetaraan, baik melalui perubahan secara 
kultural (seperti melalui perubahan pola pendidikan dan pengasuhan anak, 
perubahan ?persepsi? keagamaan yang dianggap bias jender, dan lain-lain) maupun 
secara struktural (melalui perubahan kebijakan). Mereka berharap, ketika suatu 
saat masyarakat bisa memandang perempuan sebagai manusia (bukan atas dasar 
kelamin), maka pembagian peran sosial (domestik vis a vis publik) akan cair 
dengan sendirinya. Artinya, semua orang akan mampu berkiprah dalam bidang 
apapun yang diinginkannya tanpa harus khawatir dianggap menyalahi kodrat.

Jika kita cermati, secara konseptual maupun praktis, ide kesetaraan seperti ini 
sangat absurd dan utopis. Ini karena  mereka seolah tak bisa menerima mengapa 
manusia harus lahir dengan membawa kodrat maskulinitas dan feminitasnya, 
sementara pada saat yang sama mereka tak mungkin mengabaikan fakta, bahwa 
manusia memang terdiri dari dua jenis yang berbeda. Lalu logika apa yang bisa 
dipakai untuk menjelaskan mengapa di dunia harus ada laki-laki dan perempuan 
dengan ?bentuk? dan ?jenis? yang berbeda, jika bukan karena keduanya memang 
memiliki peran dan fungsi yang berbeda? Bukankah ketika perempuan memiliki 
rahim dan payudara?sementara laki-laki tidak?berarti hanya perempuan yang bisa 
hamil, melahirkan, dan menyusui? Bukankah fungsi kehamilan, melahirkan, dan 
menyusui ini merupakan fungsi yang tak bisa digantikan laki-laki? Bukankah 
?aneh? jika setelah melahirkan kaum perempuan bisa melepas fungsi dan peran 
keibuannya dengan alasan perempuan pada dasarnya tidak harus menjadi ibu 
sehingga
 peran ini bisa dipertukarkan dengan laki-laki?

Dari sini saja kita sebenarnya bisa melihat adanya ketidakcermatan kaum feminis 
dalam memahami dan menyikapi realitas. Kesan emosional justru dominan tatkala 
menyikapi ?perbedaan? tersebut sebagai sebuah ketidakadilan. Padahal 
realitasnya, tidak setiap perbedaan berarti ketidakadilan. Perbedaan peran dan 
fungsi ini justru memungkinkan direalisasikannya tujuan-tujuan luhur masyarakat 
secara keseluruhan, tanpa memandang apakah dia laki-laki ataukah perempuan.

Jika dilihat dari kacamata Islam, perspektif feminisme seperti ini tentu sangat 
bertentangan. Sebagai dîn yang sempurna, Islam memiliki cara pandang yang 
sangat khas, adil, dan obyektif terhadap persoalan keberadaan laki-laki dan 
perempuan dalam masyarakat. Hal ini sesuai dengan paradigma Islam berkaitan 
dengan tujuan penciptaan manusia sebagai hamba Allah yang harus beribadah 
kepada-Nya dan tujuan penciptaan jenis laki-laki dan perempuan untuk  
melestarikan keturunan dalam kerangka pandang penghambaan ini.

Dalam konteks inilah Islam memandang bahwa posisi laki-laki dan perempuan 
adalah sama/setara, sekalipun dalam kadar tertentu mereka diperlakukan secara 
berbeda. Mereka sama karena dilihat dari sisi insaniahnya memang sama, yakni 
sama-sama manusia yang memiliki seperangkat potensi berupa akal, naluri, dan 
kebutuhan jasmani. Akan tetapi, mereka berbeda dilihat dari ?jenis?-nya dengan 
kekhasan masing-masing yang memang mengharuskan keduanya diberi aturan-aturan 
yang berbeda pula.

Adanya perbedaan ini tentu tidak bisa dipandang sebagai sebuah ketidakadilan, 
karena semua ini ditetapkan oleh Allah sebagai Pencipta manusia; semata-mata 
demi kemaslahatan, kelestarian, dan kesucian hidup manusia dengan cara saling 
melengkapi dan bekerjasama sesuai dengan aturan-Nya; bukan demi kemaslahatan 
laki-laki saja atau perempuan saja. Apalagi dalam pandangan Islam, kemuliaan 
tidak dilihat dari jenis kelamin ataupun kedudukan seseorang, melainkan diukur 
oleh derajat ketakwaannya kepada-Nya, yakni ketaatan mereka terhadap seluruh 
aturan-aturan Allah, baik yang menyangkut keberadaan mereka sebagai manusia 
maupun keberadaan mereka sebagai laki-laki atau perempuan. 

Oleh karenanya, ide kesetaraan jender yang memaksakan penyamaan peran dan 
fungsi laki-laki dan perempuan dalam kancah kehidupan sesungguhnya merupakan 
bentuk pengingkaran terhadap realitas yang ada, sekaligus merupakan 
pengingkaran terhadap kemahaadilan dan kemahasempurnaan Allah Swt. sebagai 
Pencipta dan Pengatur manusia. Jadi, tidak layak para Muslimah dan kaum Muslim 
meyakini kebohongan ide ini, apalagi mengembannya.

 

(2)  Ketidaksetaraan jender merugikan perempuan.

Dalam perspektif feminisme, adanya ketidaksetaraan (disparitas) jender dianggap 
sangat merugikan perempuan, karena ketidaksetaraan inilah yang menyebabkan 
munculnya berbagai ketidakadilan sistemik atas perempuan, seperti terjadinya 
praktik subordinasi dan marjinalisasi di berbagai bidang (politik, ekonomi, 
sosial, dan budaya), pelabelan negatif, maraknya kasus-kasus tindak kekerasan, 
dan lain-lain. Mereka melihat, bahwa selama ini kesalahan persepsi tentang 
jender yang dipengaruhi budaya patriarki ini telah begitu berpengaruh tidak 
hanya dalam membangun, tetapi juga dalam mengontrol berbagai bentuk interaksi 
antara laki-laki dan perempuan secara tidak seimbang, terutama menyangkut peran 
mereka di dalam masyarakat: laki-laki diposisikan lebih serta punya power dan  
bargaining yang tinggi di hadapan perempuan; sementara kaum perempuan terpuruk 
di posisi-posisi rendah yang tak menjanjikan, serba dilematis, serba lemah, dan 
bahkan ?terpaksa? hidup dengan tingkat ketergantungan yang
 tinggi pada laki-laki sehingga layak diperlakukan secara semena-mena dan layak 
menjadi pihak yang dikorbankan. 

Munculnya cara berpikir seperti ini sesungguhnya dipengaruhi oleh prinsip 
individualisme yang inhern dalam pemikiran demokrasi, yang menganggap bahwa  
masyarakat adalah kumpulan individu-individu yang merdeka, dengan laki-laki di 
satu sisi dan perempuan di sisi lain. Prinsip ini telah menempatkan diri, ego, 
jenis, dan kelompok sebagai sumber orientasi. Salah satu contohnya, ketika 
muncul persoalan-persoalan yang menyangkut komunitas perempuan, mereka lantas 
memandang persoalan tersebut secara parsial dan dikotomik, yakni sebagai 
persoalan internal kaum perempuan yang harus diselesaikan oleh perempuan. 
Akibatnya, pemecahan yang dimunculkan pun menjadi parsial dan tidak memberikan 
penyelesaian tuntas, karena hanya dilihat dari satu perspektif saja, yakni 
perspektif perempuan.

Secara faktual, klaim  ini terbantah  oleh kenyataan bahwa apa yang 
disebut-sebut oleh kalangan feminis sebagai ?persoalan perempuan? ternyata 
tidak hanya menjadi ?milik? kaum perempuan. Tidak sedikit kaum laki-laki yang 
juga mengalami subordinasi, marjinalisasi, tindak kekerasan, dan lain-lain. 
Bahkan di Dunia Ketiga yang mayoritas Muslim, persoalan-persoalan seperti 
kemiskinan, diskriminasi, kekerasan, kebodohan,  submission, kesehatan yang 
buruk, malnutrisi, dan sebagainya kini menjadi persoalan-persoalan krusial yang 
dihadapi masyarakat secara keseluruhan.   

Islam sendiri memandang, bahwa persoalan yang muncul pada sebagian 
individu?baik komunitas laki-laki maupun perempuan; apakah menyangkut persoalan 
ekonomi, politik, sosial, dan bahkan persoalan yang memang  menyangkut aspek 
keperempuanan (seperti masalah kehamilan, kelahiran, penyusuan, pengasuhan dan 
seterusnya)?tidak bisa dipandang sebagai persoalan laki-laki saja atau 
perempuan saja, melainkan harus dipandang sebagai persoalan manusia/masyarakat 
secara keseluruhan dengan pandangan yang holistik dan sistemik. Dengan begitu, 
solusi yang dihasilkannya pun akan menyelesaikan persoalan secara tuntas dan 
menyeluruh. Hal ini sesuai dengan realita bahwa masyarakat bukan hanya sekadar 
terbentuk dari individu saja, tetapi juga dari kesamaan pemikiran, perasaan, 
dan aturan yang diterapkan disertai dengan adanya interaksi yang terus-menerus 
di antara anggota-anggotanya yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Dalam 
perspektif yang benar inilah  syariat Islam datang  sebagai solusi/pemecah
 atas persoalan kehidupan manusia sehingga manusia?yang realitasnya terdiri 
dari jenis laki-laki dan perempuan?dapat meraih kebahagiaan hakiki sesuai 
dengan kemuliaan martabat manusia yang telah dianugerahkan Allah Swt.

 

(3)  Liberalisasi perempuan akan memajukan perempuan.

Kalangan feminis meyakini, bahwa liberalisasi/pembebasan perempuan merupakan 
pondasi untuk mencapai kemajuan, karena tatkala kaum perempuan berhasil 
memperoleh kebebasan dan independensinya, berarti mereka telah keluar dari 
status inferior yang mereka miliki selama ini, sekaligus berkesempatan secara 
ekspresif mengejar ?ketertinggalan? tanpa harus khawatir dengan 
pembatasan-pembatasan kultural dan struktural yang dianggap menghambat 
kehidupan mereka. Isu liberalisasi ini kemudian menjadi salah satu isu sentral 
bagi perjuangan mereka. Sebagai penguat bagi kebenaran konklusinya, mereka 
menjadikan ?kemajuan? perempuan Barat sebagai model.

Diakui memang, bahwa di belahan dunia manapun, liberalisasi perempuan telah 
membawa banyak perubahan; Kaum perempuan bebas mengekspresikan dirinya, bekerja 
di bidang apapun yang diinginkannya, berbuat apapun yang disukainya, tanpa 
harus merasa takut dengan berbagai tabu (termasuk konsep kodrat) yang selama 
ini dianggap mengekang mereka. Di AS, tercatat jumlah prosentase perempuan 
bekerja meningkat dari tahun ke tahun hingga lebih dari 75% pada tahun 2000, 
demikian juga di Indonesia. Meningkatnya jumlah perempuan terdidik di banding 
laki-laki dan  meningkatnya partisipasi politik formal perempuan, termasuk kian 
banyaknya perempuan yang berkiprah di bidang pemerintahan di negeri-negeri 
tersebut, dianggap sebagai ?prestasi? atas keberhasilan perjuangan pembebasan 
perempuan di manapun. 

Persoalannya, kita tidak dapat menutup mata, bahwa pada saat yang bersamaan, 
isu ini juga telah membawa berbagai dampak buruk bagi kaum perempuan dan 
masyarakat secara keseluruhan akibat kian rancunya relasi dan pembagian peran 
di antara laki-laki dan perempuan. Runtuhnya struktur keluarga, meningkatnya 
angka perceraian, fenomena un-wed dan no-mar, merebaknya free sex, meningkatnya 
kasus-kasus aborsi, dilema wanita karir, sindrom cinderella complex, 
eksploitasi perempuan, pelecehan seksual, anak-anak bermasalah, dan lain-lain 
ditengarai kuat  menjadi efek langsung dari isu ?kebebasan perempuan?. Wajar 
jika pada perkembangan selanjutnya muncul sikap penentangan dari sebagian 
masyarakat yang ?masih sadar? atas bahaya racun yang tersembunyi di balik 
tawaran manis feminisme ini, sehingga mereka balik menuduh feminisme sebagai 
gerakan anti-family, anti-children dan anti-future. Di Amerika sendiri, gerakan 
anti feminisme ini tergabung dalam beberapa organisasi seperti Gerakan Kanan 
Baru
 (The Right Movement), Feminine Anti Feminist League, dan lain-lain.

Berkenaan dengan fenomena arus balik ini, ada sebuah buku berjudul  What Our 
Mothers Didn?t Tell Us: Why Happiness Eludes The Modern Women, yang ditulis 
oleh Danielle Crittenden (1999), yang menggambarkan ?kegalauan tersembunyi?  
yang dialami  kaum perempuan Amerika di balik berbagai sukses dan ?kenyamanan? 
yang diperoleh melalui jargon kebebasan perempuan. Buku ini merupakan hasil 
penelitian penulisnya selama 10 tahun tentang fakta kehidupan perempuan modern 
yang  ternyata tidak pernah bisa meraih kebahagiaan hakiki setelah mereka 
menenggak racun-racun pemikiran feminisme yang tak lebih dari sekadar mitos 
itu. Karena itulah, mengapa Danielle justru menyerukan agar kaum perempuan 
kembali merangkul keperempuanan mereka, sekaligus berusaha menghargai kebutuhan 
manusiawi mereka, seraya mencampakkan khayalan kaum feminis yang justru telah 
mengkhianati mereka.

Di samping Danielle, masih banyak ilmuwan dan antropolog Barat yang juga 
mengecam gagasan feminisme seperti ini. Mereka menggugat ?keabsahan? dan 
keilmiahan pemikiran feministik sekaligus mempertanyakan kelayakan 
teori-teorinya untuk diterapkan dalam kehidupan. Sayangnya, semangat penolakan 
terhadap ide feminisme ini kalah gencar dibandingkan dengan janji-janji manis 
yang ditawarkannya.  

Dengan mencermati fakta-fakta tersebut, jelas bahwa liberalisasi perempuan 
hanyalah jargon kosong yang tak layak diemban, apalagi diperjuangkan. 

Karena itu, untuk memajukan kaum perempuan, bahkan umat secara keseluruhan, 
kuncinya adalah dengan meningkatkan taraf berpikir mereka dengan ideologi 
Islam.  Dengan cara ini, mereka akan memiliki landasan pemikiran (qâ?idah 
fikriyah) yang menjadi tolok ukur bagi segala bentuk pemikiran dan menjadi 
dasar terbentuknya pemikiran-pemikiran yang lain yang dapat memecahkan problem 
kehidupan, sekaligus merupakan tuntunan berpikir (qiyâdah fikriyah) yang 
menuntun manusia dalam menghadapi segala problem kehidupan tersebut setiap saat 
dengan pemecahan yang benar. Ini karena ideologi Islam tegak di atas keyakinan 
bahwa seluruh  alam ini, termasuk manusia di dalamnya, diciptakan oleh Zat Yang 
Maha Pencipta dan Maha Mengatur, yaitu Allah Swt., Karena itu, aturan-aturan 
yang disampaikan Allah Swt. melalui Rasul-Nya (syariat Islam) dipastikan akan 
menjadi pemecah bagi seluruh persoalan manusia secara sempurna dan menyeluruh. 
Dengan begitu, umat akan mampu bangkit menjadi pionir peradaban
 sebagaimana yang telah terbukti pada masa lalu tatkala Islam dijadikan sebagai 
landasan kehidupan umat dan syariatnya diterapkan.

 

(4)  Syariat Islam merendahkan kaum perempuan.

Isu ini berangkat dari pemahaman bahwa  salah satu faktor yang menyebabkan 
tetap langgengnya ketidakadilan jender adalah budaya patriarki yang di 
antaranya dilegitimasi oleh keberadaan pandangan keagamaan yang dianggap bias 
jender (sexist) dan misoginis (membenci perempuan). Dalam hal ini, Islam 
menjadi sasaran bidik utama kalangan feminis, termasuk feminis Muslim, karena 
dalam Islam  terdapat teks-teks keagamaan yang ?terkesan? mengukuhkan 
terjadinya ?rezimisasi budaya Islam laki-laki? dan sekaligus merendahkan kaum 
perempuan, seperti aturan tentang jilbab/hijab, perbedaan hak waris, poligami, 
hak talak pada suami, konsep nusyûz, perwalian, persaksian, kepemimpinan 
laki-laki dalam keluarga dan kekuasaan, dan lain-lain. 

Sebagian dari mereka memang tidak berani secara langsung menuduh bahwa ajaran 
bias jender ini merupakan watak asli ajaran Islam. Mereka menyatakan pemahaman 
masyarakat terhadap Islamlah yang salah, yang?menurut mereka?terlanjur 
tersosialisasi oleh kitab-kitab tafsir dan fikih yang tidak mustahil 
dipengaruhi oleh tradisi dan kultur yang berlaku saat penafsiran tersebut 
dilakukan. Tradisi dan kultur dimaksud adalah tradisi Arab ?masa lalu? yang 
cenderung ?laki-laki sentris? dan ?tidak menganggap penting keberadaan 
perempuan?. 

Berbeda dengan sekarang. Menurut mereka, zaman sudah menuntut kesetaraan. 
Karenanya, mereka pun menggagas keharusan adanya penafsiran-penafsiran baru 
yang ?senafas dengan tuntutan zaman?, yakni dengan melakukan reinterpretasi dan 
rekonstruksi nash-nash syariat sehingga lebih memihak pada kaum perempuan. 
Gagasan ini kemudian mereka klaim sebagai upaya pembaruan (tajdid), sekalipun 
metode dan pendekatan tajdid yang mereka kembangkan ternyata sangat berbeda 
dengan tradisi tajdid yang selama ini dikenal dalam Islam.

Ada beberapa ciri menonjol dari logika berpikir yang mereka gunakan dalam 
pembaruan mereka, antara lain: Pertama, mereka menjadikan rasionalitas sebagai  
asas ijtihad dan tafsirnya. Kedua, mereka menggunakan pendekatan ilmiah, 
termasuk aspek sosio-kultural dan hermeunetika, dalam memahami nash sehingga 
yang berlaku dari nash hanya spiritnya saja. Ketiga, mereka menjadikan fakta 
sebagai rujukan dan sumber kebenaran bagi diterima/tidaknya sebuah teks hukum. 
Keempat,  kerangka berpikir mereka dipengaruhi oleh persepsi relativistik yang 
menganggap keberadaan al-Quran dan Sunnah sebagai teks yang ?belum tentu mutlak 
benar?, karena dia hanya rekaman atau bahkan ?produk sejarah? yang  ?belum 
final dan tidak boleh final?  sehingga teks-teks tersebut ?harus terbuka bagi 
kritik?!

Jika dicermati, munculnya gagasan seperti ini sesungguhnya dilatarbelakangi 
oleh semangat liberalisasi dan sekularisasi wajah Islam yang?menurut para 
pengusungnya (di Indonesia antara lain diusung oleh JIL)?bertujuan ?membebaskan 
Islam dari ortodoksi dan menjadikan Islam sebagai agama yang kompatibel dengan 
perubahan zaman?.  Padahal, gagasan mereka tak lebih dari bentuk ekspresi 
keputusasaan dan sikap apologia atas tudingan dan serangan opini Barat. Barat 
memang berkepentingan untuk meng-counter munculnya gagasan penegakkan syariat 
Islam yang kini justru kian mencuat ke permukaan dan secara pasti mengancam 
eksistensi ideologi mereka di dunia.

Oleh karena itu, munculnya isu bahwa syariat Islam merendahkan kaum perempuan 
harus disikapi dengan benar. Jika dalih yang mereka gunakan adalah fakta bahwa 
kaum perempuan di dunia Islam berada dalam kondisi terpuruk, maka harus dilihat 
bahwa pada kenyataannya  saat ini tidak ada satu pun negeri Islam yang 
menerapkan syariat Islam sebagai aturan kehidupan yang utuh dan menyeluruh 
(kâffah).  Justru berbagai kerusakan dan ketidakadilan yang terjadi saat 
ini?termasuk di antaranya yang menimpa perempuan?adalah akibat diterapkannya 
sistem yang salah dan rusak di tengah-tengah kaum Muslimin, yakni sistem 
Kapitalisme yang tegak di atas akidah sekularisme, yang telah memberikan 
kewenangan secara mutlak kepada manusia dengan akalnya yang lemah dan terbatas 
untuk membuat berbagai aturan/sistem kehidupan.  

Adapun jika yang mereka lihat adalah adanya perbedaan hukum yang dianggap 
merugikan perempuan, maka sekali lagi harus dipahami, bahwa hal ini hanya 
terkait dengan kekhususan dalam hukum saja, yang tidak ada kaitannya dengan 
pembedaan derajat antara laki-laki dan perempuan, melainkan terkait dengan 
pemecahan atas problem kehidupan manusia yang terdiri atas laki-laki dan 
perempuan.  Bahkan jika dicermati secara obyektif maka akan terbukti bahwa 
syariat Islam justru memuliakan kaum perempuan. Kalaupun realitasnya banyak 
terjadi ketimpangan dalam penerapan hukum-hukum tersebut dalam kehidupan kaum 
Muslim saat ini, seperti  poligami yang salah kaprah, kasus-kasus kekerasan 
dalam rumahtangga dan sebagainya, maka hal tersebut tidak boleh dipandang 
sebagai dalih untuk menyatakan bahwa syariat Islam merugikan perempuan, 
melainkan harus dilihat sebagai kesalahan penerapan saja yang dalam kondisi 
tidak adanya sistem Islam, hal ini memang sangat dimungkinkan.

Akar persoalan inilah yang seharusnya dipahami oleh kaum Muslim dimana pun agar 
mereka tahu apa yang seharusnya diperjuangkan untuk mengubah kondisi mereka 
yang terpuruk menjadi bangkit, yakni  dengan berupaya mencerabut sistem rusak 
yang dipaksakan penerapannya atas mereka, kemudian mengupayakan terwujudnya 
sebuah sistem yang bisa memberikan jaminan keadilan dan kesejahteraan hakiki 
bagi semua manusia tanpa kecuali. Sistem seperti ini tidak mungkin berasal dari 
manusia yang nyata lemah dan terbatas, melainkan harus bersumber dari Zat 
Pencipta manusia, Yang Mahatahu dan Mahaadil.  Sistem dimaksud tidak lain 
adalah sistem Islam yang secara akal bisa dibuktikan kebenarannya dan secara 
empirik telah terbukti kepurnaannya.

 

Wallâhu a?lam.

 

http://www.hizbut-tahrir.or.id/modules.php?name=News&file=article&sid=396



                
---------------------------------
Do you Yahoo!?
 Yahoo! Search presents - Jib Jab's 'Second Term'

[Non-text portions of this message have been removed]






------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Help save the life of a child.  Support St. Jude Children's Research Hospital's
'Thanks & Giving.'
http://us.click.yahoo.com/mGEjbB/5WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Website resmi http://www.ppi-india.uni.cc **

Other related posts:

  • » [nasional_list] [ppiindia] Kebohongan-Kebohongan Di Balik Isu Jender